Surat Terbuka Untuk Duta Besar Pakistan di Indonesia

Jumat, 30 September 2011

Kepada Yth : Tuan Sanaullah
Duta Besar Pakistan

Jalan Mega Kuningan Barat Blok E.3.9 Kav. 5-8, Mega Kuningan Jakarta Selatan Indonesia
Telpon: +62-21-57851836-8
Fax: +62-21-57851645
Email: pakembassyjakarta@gmail.com
Website: www.mofa.gov.pk/Indonesia/default.aspx

Kami menulis ini untuk meminta perhatian anda serta pemerintah Pakistan untuk memastikan pembebasan Tuan Baba Jan dan lima tahanan politik lainnya yang sekarang ditahan di daerah Gilgit-Baltistan. Tuan Baba Jan adalah pemimpin dua organisasi yang dihormati yaitu Partai Buruh Pakistan dan Front Pemuda Progresif didaerah tersebut.

Saat demonstrasi damai pada tanggal 11 Agustus oleh penduduk Gilgit-Baltistan menuntut pembayaran tunjangan kompensasi akibat banjir dan longsor di lembah Hunza pada tanggal 4 Juli 2010, polisi menembaki demonstran, membunuh Afzal Baig (22 tahun), kemudian ayahnya Sher Ullah Baig (50 tahun) yang berusaha melindung anaknya. Kemudian hari, rakyat Aliabad dan daerah-daerah lain di Hunza bangkit dan bentrok dengan polisi. Pada tanggal 19 Agustus dalam upaya untuk membungkam protes dan menutupi pembunuhan tersebut dari publik, 36 orang ditangkap oleh polisi dan kemudian 33 orang ditangkap pada tanggal 16 September.

Setelah awalnya menghindari penangkapan Baba Jan menyerahkan diri kepada pihak berwajib. Bukan karena dia melakukan kejahatan apapun, namun dibawah ancaman penghilangan paksa jika ditangkap, menjadi korban pembunuhan tanpa pengadilan. Hakim mengirim Baba Jan ke penjara menunggu pengadilan. Namun dia diseret dari selnya oleh Inter Services Intelligence (ISI) dan disiksa selama dua hari – diikat dengan tali dan dipukuli berulang kali – dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan palsu dari dia.

Kami sadar bahwa kejadian di Gilgit-Baltistan ini telah memenuhi halaman depan media nasional Pakistan, seperti yang seharusnya terjadi: perlakuan tidak manusiawi kepada Baba Jan dan tahanan politik lainnya, yang “kejahatan” satu-satunya adalah mereka berbicara mengenai hak asasi dari sesama rakyat Pakistan, telah membuat marah semua yang menghormati demokrasi dan keadilan.

Kami di Indonesia bergabung dengan kampanye internasional untuk menuntut pembebasan segera dan tanpa syarat Baba Jan dan tahanan politik lainnya.

Kami juga bergabung dengan Asian Human Rights Commission untuk menyerukan diakhirinya represi di Gilgit-Baltistan dan menyerukan kepada pemerintah Paksitan untuk menyelediki petugas polisi dan intelijen yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM tersebut.

Kami meminta anda untuk menekan pemerintah anda agar tuntutan palsu terhadap para demonstran dicabut dan ganti rugi penuh diberikan kepada seluruh rakyat yang menderita akibat longsor pada tanggal 4 Juli 2010.

Kami menunggu tanggapan anda atas isu ini dan untuk mendapatkan jawaban.


Organisasi di Indonesia yang mendukung kampanye ini :

1. Partai Pembebasan Rakyat
Email : politic.ofthepoor@gmail.com
Web : http://kprm-prd-english.blogspot.com

2. Komite Penyelamat Organisasi – Perhimpunan Rakyat Pekerja
Email : kpo.prp@rakyatpekerja.org
Web : http://www.rakyatpekerja.org/

3. Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional
Email : kn.pembebasan@gmail.com
Web : http://pembebasan-pusat.blogspot.com/

4. Perempuan Mahardhika
Email : mahardhika.kita@gmail.com
Web : http://perempuanmahardhika.blogspot.com/

5. Persatuan Pergerakan Buruh Indonesia
Email : kp.ppbi@gmail.com
Web : http://kp-ppbi.blogspot.com/

Aksi dan Rapat Akbar Buruh Transportasi ; Supir itu Buruh dan Buruh Butuh Alat Politiknya Untuk Berkuasa

Kamis, 29 September 2011

Minggu 25 September 2011, ratusan buruh transportasi yang tergabung dalam Serikat Buruh Transportasi Perjuangan Indonesia melakukan aksi dan rapat akbar yang bagi mereka sudah merupakan sebuah tradisi reguler. Pukul 09.00 wib massa sudah berkumpul di depan sekretariat SBTPI di Jl. Jampea Raya, Koja, Jakut. Massa bergerak long-march menuju pos 8 dan pos 9 terminal peti kemas Jakarta International Container Terminal (JICT). Setiap persimpangan jalan disempatkan massa untuk melakukan mimbar bebas yang menyuarakan tuntutan-tuntutan buruh transportasi (supir) pelabuhan.

Tuntutan mendesak yang massa ajukan masih sama seperti aksi-aksi sebelumnya yaitu persoalan pungutan liar (pungli) yang menipiskan pendapatan mereka. Namun secara umum, aksi mengangkat tema “reformasi pelabuhan” yang menyangkut juga sistem kerja kontrak/outsourcing yang dari awal memang sangat massif diterapkan bagi para supir, persoalan pelayanan bongkar muat, serta persoalan privatisasi pelabuhan yang semakin meningkatkan biaya-biaya bongkar muat tanpa menambah pemasukan negara. Menurut kawan Rosyid yang juga merupakan Sekjend SBTPI, persoalan buruh transportasi memiliki kesuilitan tersendiri. Dari awal para supir belum sama sekali menyadari bahwa mereka juga merupakan bagian dari kelas buruh secara keseluruhan yang entah berada di sektor transportasi, sektor ritel/niaga, sektor manufaktur maupun sektor lainnya.

Dengan membawa baliho besar yang dibopong oleh puluhan orang, massa berjalan kembali kedepan sekretariat SBTPI pada pukul 11.30. Sesampainya disana, telah terdapat sebuah panggung yang direncanakan menjadi tempat rapat akbar dan panggung musik. Walau terik matahari menyengat, massa terlihat masih bersemangat untuk berkumpul didepan panggung .

Rapat akbar dilakukan dengan orasi politik solidaritas secara bergantian dari organisasi-organisasi rakyat yang hadir dengan sesekali diiringi oleh lagu-lagu perjuangan yang dibawakan oleh Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia .

Dalam orasi politiknya, perwakilan KPO-PRP, Mika Darmawan, menekankan tentang dua hal, yaitu tentang pentingnya kaum buruh transportasi terlibat dalam persatuan dengan buruh sektor lain serta rakyat lainnya; dan pentingnya kaum buruh untuk membangun wadah politik nya sendiri untuk berkuasa melalui revolusi Indonesia. “Tak ada jalan lain selain merubah sistem secara keseluruhan, oleh karenanya tak ada jalan lain selain berkuasa”, begitu katanya. Ditambahkan Mika, “untuknya (berkuasa), dibutuhkan latihan-latihan regular bagi kaum buruh, yaitu aksi-aksi militan dan pendidikan”. Sebelumnya, Dian Septi dari Forum Buruh Lintas Pabrik menekankan perihal penghancuran kapitalisme dengan mengedepankan metode mogok.

Rapat akbar tersebut juga dihadiri oleh Partai Pembebasan Rakyat, Federasi Perjuangan Buruh Jabodetabek, Federasi Serikat Pekerja BUMN, Kesatuan Perjuangan Organisasi Pemuda. Rapat akbar dan panggung musik selesai pukul 17.00 dengan pelajaran-pelajaran baru yang akan dibawa dikemudian hari. (kibar)

Aksi Hari Tani Nasional di Jakarta dan Yogyakarta, Kaum Tani Butuh Persatuan dengan Kaum Buruh

Tanggal 24 September adalah hari yang selalu diperingati oleh berbagai kalangan gerakan rakyat sebagai Hari Tani Nasional, dimana pada hari itu, berbagai kalangan kembali diingatkan untuk terus memompa semangat yang tak kenal lelah untuk memperjuangkan reformasi agraria. Sejatinya, hari itu adalah tepat saat dimana Soekarno, pada tahun 1960, resmi mengeluarkan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai alat penegak kedaulatan kaum tani atas sumber-sumber agraria. Oleh karena pentingnya, Soekarno kemudian juga menerbitkan kepres No. 169/1963 yang mendasari peringatan Hari Tani Nasional setiap tanggal 24 September. Namun sejak pemerintahan Soeharto, sejarah tinggallah sejarah. Tak pernah lagi pemerintahan manapun pasca orde baru yang pernah memperingati hari ini sebagai Hari Tani Nasional sebagai tanda dukungannya terhadap program kemerdekaan nasional , apalagi menjalankan program-program reformasi agraria yang terkandung dalam UUPA, tak terkecuali pemerintahan Neoliberal SBY-Boediono.

Dalam kondisi dimana semakin timpangnya kepemilikan atas tanah, maraknya konflik agraria, serta makin panjang dan terkatung-katungnya rentetan kasus kekerasan terhadap kaum tani, hari tani nasional tahun 2011 akhirnya direspon oleh berbagai kalangan dengan menggelar konsolidasi persiapan aksi peringatan. Di Jakarta konsolidasi bermuara pada dua aksi besar, yaitu pada tanggal 24 september dan 26 september.

Aksi pada tanggal 24 september, ribuan petani yang didominasi oleh organisasi Serikat Petani Indonesia dan juga dari berbagai organisasi buruh dan mahasiswa memulai aksinya didepan mesjid Istiqlal pukul 08.00 wib. Massa mulai berjalan menuju Istana Negara pukul 09.00 hingga sampai tepat di depan Istana Negara. Massa kaum tani mengajukan tuntutan program-program reformasi agraria. Sedangkan massa buruh yang terlibat terdiri dari Konfederasi KASBI dan Forum Buruh Lintas Pabrik yang bergabung di sisi kiri dan kanan barisan massa. Selain mendukung program reformasi agraria, massa KASBI juga membawa spanduk bertuliskan “Tanah dan Air untuk Kesejahteraan Rakyat

Sebuah kritik pun harus kami lakukan, bahwa telah terjadi kecelakaan konsep ataupun teknis, dimana sesaat sesampainya di Istana Negara, staf khusus kepresidenan diberi kesempatan oleh perangkat aksi untuk menaiki panggung dan menyampaikan janji-janjinya. Hal tersebut tidaklah tepat untuk memajukan perjuangan kaum tani. Hal yang senada sebenarnya juga lahir dalam ajang konsolidasi aksi untuk tanggal 26 september. Salah satu perwakilan dari tani menekankan untuk tidak membelejeti SBY-Boediono dalam kampanye aksinya, tapi lebih kepada persoalan-persoalan kaum tani semata. Pemisahan antara persoalan kaum tani dengan persoalan kebijakan neoliberal adalah sebuah kemunduran dari gerakan tani yang tak boleh dilanjutkan kedepannya. Inilah poin besar dari catatan kami terhadap aksi hari tani nasional tahun ini.

Seakan sebagai langkah untuk mengkonternya, dalam orasi politiknya, perwakilan KPO-PRP, Muhammad Iqbal, menyampaikan ketegasan yang diperlukan dalam melawan kebijakan rezim neoliberal beserta tipu-janji nya. “Tak ada yang harus dipercaya dari janji presiden maupun juru bicaranya. Hanya kekuatan tani yang bersatu dengan kaum buruhlah yang mampu memenangkan program reformasi agraria”, tandas kawan Iqbal. Selanjutnya kawan Iqbal juga mengajak kaum tani membangun alat politiknya bersama dengan kaum buruh, yang bebas dari kepentingan kaum pemilik modal dan kaum feodal.

Setelah lebih dari 2 jam berada di depan Istana, massa kemudian berjalan menuju bunderan HI. Dengan long-march yang dikawal oleh pasukan motor dari Konfederasi KASBI, massa akhirnya sampai di bunderan HI pukul 13.30. Setelah melanjutkan orasi di bunderan HI, aksipun selesai pukul 15.00, dan massa membubarkan diri di bunderan HI lalu menaiki bis yang akan mengantar mereka kembali ke daerah masing-masing di jawa barat dan banten.

Sementara itu, Hari Tani juga dirayakan oleh organisasi gerakan di Yogyakarta dengan menggelar aksi long march. Beberapa kelompok gerakan yang melakukan aksi, yaitu Aliansi Rakyat Peduli Petani (ARPP), Sekber, FMN, Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo dan FPPI. KPO PRP Yogyakarta sendiri tergabung dalam ARPP bersama beberapa organisasi lain seperti PRD, PPI, PPR, ARMP, PSB, KASBI, SMI, PPBI, FAM-J, LMND, Perempuan Mahardhika, PEMBEBASAN, RESISTA, SeTAM, LKSP dan BEM UAD.

ARPP memulai aksi sekitar pukul 09.30 WIB dari Parkiran Abu Bakar Ali, Malioboro. Massa yang berjumlah sekitar 100an orang dengan penuh semangat dan tertib memulai jalan menuju kantor DPRD Propinsi DIY. Di kantor DPRD sendiri sudah ada PPLP, Sekber dan FMN. Sesampainya di DPRD, massa ARPP kemudian melakukan orasi-orasi dan sesekali diiringi yel-yel yang berisi tuntutan. Beberapa orator memberikan gambaran tentang kondisi petani Indonesia yang semakin terpuruk, ditambah dengan banyaknya represi militer terhadap petani. Juga menyampaikan tuntutan agar pemerintah melaksanakan UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dan mencabut berbagai kebijakan yang bertentangan dengan UU tersebut.

Massa ARPP kemudian bergabung dengan PPLP, Sekber dan FMN. PPLP membawa 2 becak berspanduk merah berisi aktivis PPLP yang melakukan mogok makan. Tuntutan utama mereka adalah pembebasan Tukijo, seorang petani yang dipenjara karena melakukan aksi menolak tambang pasir di Kulon Progo. Selain itu, mereka juga menyerukan penghentian penambangan pasir di Kulon Progo. Gabungan massa ini kemudian melanjutkan perjalanan menuju Kantor Pos Besar. Massa yang jumlahnya semakin besar ini kemudian berbaris rapi menutup jalan Malioboro dan melanjutkan long march sambil meneriakan yel-yel seperti: “Tanah Untuk Rakyat!”, “Hentikan Tambang Pasir Kulon Progo!”

Massa berhenti di Depan Kantor Gubernur untuk melanjutkan orasi. Beberapa organisasi yang orasi kembali menyampaikan tuntutan antara lain; menolak RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, menolak impor hasil pertanian, meminta penyelesaian kasus lahan dengan cara damai, menuntut dihentikannya penggusuran, menuntut dihentikannya kriminalisasi terhadap petani serta menuntut tanah, modal dan teknologi untuk petani. Ketua KPO PRP Yogyakarta, Akbar Tanjung, menegaskan bahwa “Rejim SBY-Boediono jelas-jelas gagal memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi petani. Untuk itu dibutuhkan kekuatan organisasi tani yang progresi dan kekuatan rakyat pekerja. Karena rakyat pekerjalah yang harus menentukan nasibnya sendiri”.

Sekitar pukul 12.00 WIB massa kemudian melanjutkan perjalanan menuju Kantor Pos Besar dan sempat juga berhenti di depan Gedung Agung untuk melakukan orasi. Pukul 13.00 massa membubarkan diri setelah menyampaikan seluruh orasi dan membaca pernyataan sikap bergantian. (kibar, ars)

Pernyataan Sikap Bersama, Bebaskan Baba Jan dan Semua Tahanan Politik!

Pada tanggal 11 Agustus kemarin, polisi Pakistan menggunakan peluru tajam untuk membubarkan rakyat yang menuntut pembayaran tunjangan kompensasi setelah longsor yang terjadi setahun lalu di lembah Hunza, pada tanggal 4 Juli 2010. Longsor di daerah Gilgit-Baltistan tersebut menghancurkan beberapa rumah dan memutus jalan-jalan penting. Pemerintahan daerah meninggalkan masyarakat yang menjadi korban dan mengkorupsi pembayaran kompensasi yang ditujukan untuk beberapa keluarga korban.

Ketika penduduk desa berdemonstrasi pada tanggal 11 Agustus, bertepatan dengan kedatangan Menteri untuk Provinsi, polisi meresponnya dengan senjata mematikan, membunuh Afzal Baig (berumur 22 tahun), dan ayahnya, Sher Ullah Baig (berumur 50 tahun). Sebagai reaksi atas hal tersebut, rakyat di Aliabad dan daerah-daerah lain di Hunza melawan dan selama empat hari rakyat mengambil kendali atas kota tersebut. Untuk menenangkan rakyat, pihak otoritas mengklaim bahwa penyelidikan telah dilangsungkan terhadap petugas kepolisian yang bertanggung jawab atas pembunuhan dan memberikan kompensasi keuangan kepada keluarga korban. Ternyata hal ini hanya sebagai manuver untuk mempersiapkan gelombang represi yang baru. Pada tanggal 19 Agustus, 36 orang ditangkap, diantaranya termasuk anggota Partai Buruh Pakistan (LPP), enam diantaranya tetap berada dalam tahanan. Gelombang penangkapan baru mulai pada tanggal 16 September, dengan menangkap 33 orang.

Baba Jan, seorang anggota Komite Federal LPP dan pemimpin Front Pemuda Progresif, sangat terlibat dalam protes rakyat tersebut. Dia awalnya meloloskan diri dari penangkapan pada tanggal 19 Agustus dan bersembunyi. Namun dengan begitu dia berada dalam bahaya akan dibunuh (“hilang”) jika ditangkap oleh polisi. Daerah Gilgit-Baltistan terkenal atas pelanggaran HAM oleh pihak berwenang. Baba Jan kemudian memilih untuk menyerahkan diri kepada pihak berwenang, sebulan setelah bersembunyi, setelah menyelenggarakan konferensi pers sehingga semua orang dapat memahami apa yang mungkin terjadi pada dirinya. Menurut informasi yang didapatkan oleh LPP, Baba Jan dipindahkan dari selnya oleh agen rahasia Pakistan –ISI- dan disiksa selama dua hari: diikat dengan tali dan dipukuli berulang kali.

Baba Jan dan yang lainnya menjadi sasaran represi karena mereka memainkan peran penting dalam mengungkap apa yang dikenal sebagai skandal 4 Juli 2010 dan kejadian-kejadian setelahnya. Pihak berwenang sekarang menggunakan kekerasan dan represi untuk mencoba menutupi penyingkiran dan kecurangan terhadap korban longsor 4 Juli dan pembunuhan yang dilakukan oleh kepolisian.

Kami mengutuk keras pemerintahan Pakistan karena menggunakan kekerasan, penangkapan dan intimidasi sebagai metode untuk membungkam tuntutan rakyat dan protes rakyat terhadap kebijakan represifnya.

Kami menuntut :
  1. Agar Pemerintah Pakistan segera dan tanpa syarat membebaskan Baba Jan dan tahanan politik lainnya.
  2. Agar Pemerintah Pakistan memberikan ganti rugi kepada korban longsor 4 Juli dan kekerasan polisi.
  3. Agar Pemerintah Pakistan menyelidiki dan menuntut petugas kepolisian dan intelijen yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM.
Kami menyerukan semua gerakan sosialis dan progresif serta organisasi HAM di Asia Tenggara dan dunia untuk memberikan solidaritas kepada tahanan politik dan mengutuk pelanggaran HAM yang dilakukan oleh agen rahasia Pakistan. Kami sepenuhnya mendukung perjuangan gerakan rakyat di Gilgit-Baltistan.

Ditandatangani oleh:
  1. Partai Pembebasan Rakyat (Indonesia)
  2. Pusat Perjuangan Mahasiswa Untuk Pembebasan Nasional (Indonesia)
  3. Partido ng Manggagawa (Labor Party-Philippines)
  4. Persatuan Pergerakan Buruh Indonesia
  5. Parti Sosialis Malaysia
  6. Democratic Association of the Youth (Philippines)
  7. Perempuan Mahardhika
  8. International Institute for Research and Education (Manila-Philippines)
  9. Revolutionary Workers Party (Mindanao-Philippines)
  10. Nouveau Party Anticapitaliste (France)
  11. Komite Penyelamat Organisasi-Perhimpunan Rakyat Pekerja (Indonesia)
  12. Socialist Alliance (Australia)
  13. Socialist Resistance (Britain)
  14. Socialist Alternative Politic (Netherlands)
  15. Japan Revolutionary Communist League (JRCL)
  16. National Council of Internationalist Workers (NCIW) Japan
  17. Radical Socialist India
  18. Partido Lakas ng Masa (PLM) Philippines
  19. Communist Party of Bangladesh (CPB-ML)
  20. Ecosocialists Unite
  21. Unite Union, Auckland
  22. National Union of Bank Employees (Malaysia)
  23. National Foundation Nowshera Virkan (Pakistan)
  24. Campaign Against Climate Change Trade Union Group Britain
  25. SANLAKAS (Philippines)
  26. Revolutionary Socialist Party (Australia)
  27. Revolutionary Socialist League (Germany)
Personal :
1. Jaya Vindhyala, Advocate President, PUCL-AP, Andhra Pradesh, India
2. AA Mirza, World Wide News, UK
3. Sarah Parker, member of Socialist Resistance editorial board, London
4. Mike Treen, National Director, Unite Union, Auckland
5. Gulnaz Shaikh, Islamabad
6. Dr. Zahid Rana, Executive Director, National Foundation Nowshera Virkan, Pakistan
7. Dr. Klaus Engert, Ecosocialist International Network, Germany
8. Max Lane, maxlaneonline.com & Asia Institute, University of Melbourne, Australia

Jika organisasi anda ingin mendukung statemen ini mohon email ke: kpo.prp@rakyatpekerja.org

Bangun Kekuatan Kaum Tani Dengan Persatuan Bersama Buruh dan Rakyat Tertindas

Hari ini, 51 tahun yang lalu, pemerintahan Soekarno resmi mengeluarkan UU No.5 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai solusi terhadap permasalahan tanah dan sumber daya agraria yang ada di Indonesia sejak dicengkramnya Indonesia oleh Imperalisme-kolonialisme. Tak diragukan, UUPA telah menjadi tonggak terpenting dari perjuangan rakyat atas seluruh rangkaian perjuangan kemerdekaan nasional atas penjajahan. Pemerintahan Soekarno kemudian juga menetapkan hari lahirnya UUPA ini, yakni 24 september, sebagai Hari Tani Nasional yang sampai sekarang kita peringati.

Sebelum merdeka dan berdaulat sebagai sebuah negara, wilayah Indonesia/Nusantara merupakan wilayah yang diperebutkan petak demi petaknya oleh para elite/segelintir penguasa demi kekayaan pribadi, dengan mengorbankan jutaan rakyat yang mayoritas hidup sebagai pengolah tanah—kaum tani. Sejak jaman kerajaan sampai diambil-alihnya penindasan itu oleh pemerintahan VOC dan Hindia-Belanda, tanah sebagai salah satu sumber kehidupan terpenting tidak pernah benar-benar dapat dimiliki dan dikuasai sepenuhnya oleh kaum tani sebagai pengolah tanah.

Setelah ditindas lewat sistem upeti dan penyerahan wajib hasil-hasil tanah di era kerajaan, pemerintahan kolonial melengkapi penindasan dengan menerapkan system tanam paksa yang menghancurkan struktur tanah dan struktur social di Indonesia, dan kemudian UU Agraria tahun 1870 yang memberi pintu liberalisasi tanah kepada modal asing. Hasilnya saat itu adalah, rakyat Indonesia menjadi “koeli” di negeri sendiri dengan kondisi kesengsaraan yang luar biasa. Penguasaan atas tanah menjadi satu senjata terpenting penjajah untuk menaklukkan rakyat Indonesia. Inilah sebabnya mengapa persoalan tanah/agraria menjadi persoalan yang teramat sentral dari kemerdekaan nasional dan kesejahteraan rakyat.

Setelah merdeka, UUPA merupakan Undang-Undang paling penting yang mewadahi arti dan semangat kemerdekaan nasional dari penjajah, karena merupakan antitesa dari pola penguasaan tanah ala Imperialis-kolonialis dan sekaligus memiliki perspektif yang cukup tegas dalam menjunjung kedaulatan kaum tani atas sumber-sumber agraria. Namun penerapan UU Pokok-Pokok Agraria tersebut mendapatkan hambatan yang keras, terutama dari pemilik tanah besar/tuan tanah yang menghubungkan dirinya dengan tentara. Demikian upaya-upaya dari Negara dan kaum tani saat itu untuk menjalankan amanat UUPA tersebut belum mendapatkan keberhasilan, dalam arti, UUPA belum terlaksana di lapangan—hingga akhirnya kekuasaan direbut oleh Soeharto yang pro-modal. Itulah mengapa perlawanan kaum tani saat itu (sampai sekarang) sering kali dihadapkan pada bedil tentara.

Saat Rejim Soeharto berkuasa kondisi kaum tani kembali menderita. UUPA yang merupakan intisari perasan dari kemerdekaan tidak pernah dijalankan bahkan dianggap peraturan rongsokan yang diabaikan begitu saja. Tidak hanya itu, lebih jauh lagi, pemerintahan Orde Baru telah mengembalikan pola penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria kepada pemodal-pemodal asing seperti di jaman penjajahan terdahulu lewat seperangkat peraturan Hak Guna Usaha (HGU) ataupun Hak Pengelolaan Hutan (HPH) atas tanah.

Sebagai kelanjutan yang lebih massif atas penguasaan modal atas tanah, pemerintahan neoliberal pasca reformasi kembali meletakkan UUPA sebagai Undang-Undang yang di“museum”kan dengan lahirnya banyaknya peraturan undang-undang sektoral agrarian yang tidak mengacu kepada UUPA (baca: tidak mengacu pada kedaulatan kaum tani) seperti UU Sumber Daya Air , UU Pertambangan, UU Penanaman Modal, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Pesisir dan Kelautan dsb. Kebijakan-kebijakan tersebut semakin massif menindas rakyat dalam masa rejim SBY-Boediono.

Secara nyata kebijakan era Orde Baru (yang dilanjutkan secara massif di era reformasi) telah melahirkan ketimpangan yang cukup mendalam dalam penguasaan tanah di Indonesia. Persoalan ketimpangan sosial yang dicerminkan oleh ketimpangan penguasaan atas tanah dapat dilihat dari fakta bahwa hampir 60% golongan yang dikategorikan sebagai kaum tani hanya memiliki lahan seluas 0,2 sampai 1 hektar. Sedangkan 30% kaum tani adalah petani penggarap yang tidak memiliki tanah yang dapat dikelola secara rutin. Jika kita mengkaitkannya dengan logika pertambahan penduduk dan rendahnya produktivitas pertanian skala kecil akibat kapitalisasi pertanian, maka akan dapat dipastikan, semakin lama tanah akan semakin terkonsentrasi pada beberapa gelintir pemilik tanah/modal, dan semakin banyaknya petani yang tak memiliki tanah, yaitu petani penggarap.

Dengan jumlah petani yang berkisar 44% dari penduduk bekerja (sekitar 46 juta jiwa) dari 105 juta penduduk yang bekerja, maka dapat dipastikan 90% masyarakat yang tergolong petani, yaitu 41,4 juta jiwa, maksimal hanya menguasai 26,4 juta ha tanah; sedangkan 10% nya, yaitu 4,6 juta jiwa, sedikitnya menguasai 17,6 juta ha. Sungguh-sungguh ketimpangan yang luar biasa. Inilah suatu akar yang menyebabkan perpindahan penduduk besar-besaran dari desa ke kota.

Diluar dari penguasaan atas tanah, Rejim Neoliberal SBY-Boediono juga tidak pernah sama sekali berpikir akan peningkatan teknologi produksi pertanian yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian demi kedaulatan pangan yang sekaligus mengikis kesenjangan antara desa dan kota. Pemerintah justru memelihara ketergantungan yang tinggi terhadap modal-modal yang berfungsi mengeksploitasi sumber-sumber agraria tanpa menghubungkannya pada kebutuhan riil rakyat pedesaan. Terang saja dari tahun ke tahun produktivitas pertanian Indonesia selalu mengalami penurunan (hanya menyumbangkan tidak lebih dari 20% PDB Nasional), hingga tidak mampu lagi menciptakan kesejahteraan bagi rakyat pedesaan.

Dalam kondisi ketimpangan dan (sekaligus) ketidakberpihakan kebijakan yang demikian, perlawanan kaum tani dalam mendapatkan hak-hak nya atas sumber agraria khususnya tanah selalu mendapatkan serangan yang membabi-buta dari aparat Negara. Dari Januari hingga September 2011, tercatat 20 rakyat petani Indonesia tewas, 57 luka-luka karena konflik agraria akibat peluru aparat dan pihak keamanan perusahaan. Hal tersebut sama sekali tidak memperlihatkan bahwa Indonesia telah melewati suatu reformasi (1998) yang anti terhadap pembungkaman dan pemberangusan. Sungguh terbuktilah bahwa demokrasi yang digembar gemborkan oleh rezim neoliberal SBY-Boediono hanyalah omong kosong bagi kaum tani.

Berbicara tentang kaum tani tidaklah dapat dipisahkan tentang persoalan yang membelit dan membingkai keberlangsungan negara Indonesia kedepannya. Tatanan Imperialisme dan neoliberalisme akan selalu menyengsarakan kaum tani, buruh dan rakyat Indonesia. Oleh karena itu sudah saatnya kaum tani percaya pada kekuatannya sendiri dan bersatu dengan kelas buruh serta rakyat tertindas. Persatuan ini harus terus didorong hingga menjadi termanifestasikan sebagai kekuatan serta alat perjuangan politik bagi kaum tani, buruh dan rakyat Indonesia.

Dengan alat perjuangan politik tersebut maka kaum tani bersama dengan buruh dan rakyat tertindas lainnya dapat merebut kekuasaan politik dari tangan Rejim Neoliberal. Rejim Neoliberal SBY-Boediono yang telah terbukti gagal dalam memberikan kesejahteraan, perlindungan dan demokrasi bagi kaum tani, buruh dan rakyat tertindas.

Ketika kekuasaan politik berada ditangan kaum tani, buruh dan rakyat tertindas lainnya maka tanah, kesejahteraan dan demokrasi dapat digapai. Dengan kekuasaan politik itu pula maka dapat dibuat kebijakan-kebijakan yang pro kaum tani dan buruh dapat dibuat untuk menyejahterakan rakyat secara keseluruhan. Termasuk didalamnya adalah pertama, melaksanakan pembaruan agrarian sejati untuk keadilan sosial dan kedaulatan pangan, kedua, menyelesaikan konflik-konflik agraria dengan mengutamakan pemulihan hak-hak dan keadilan bagi kaum tani ketiga mengembalikan tanah-tanah rakyat yang sudah rampas oleh rejim dan pemilik modal, keempat memberikan perlindungan terhadap produk pertanian nasional, kelima meningkatkan produktivitas pertanian untuk pemenuhan kebutuhan pangan nasional dengan teknologi dan pertanian kolektif skala besar yang dikelola oleh kaum tani sendiri.

Sosialisme, Jalan Sejati Pembebasan Rakyat Pekerja!
Sosialisme, Solusi Krisis Global Kapitalisme!
Bersatu, Bangun Partai Kelas Pekerja!


Komite Penyelamat Organisasi - Perhimpunan Rakyat Pekerja
(KPO - PRP)

Jakarta, 24 September 2011

Ketua Badan Pekerja Nasional
Mahendra Kusumawardhana (085716280745)

Sekretaris Badan Pekerja Nasional
Asep Salmin