Bahkan data terakhir yang dilansir oleh Transparency International (TI), sebuah lembaga riset yang berkedudukan di Jerman, menyebutkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi - IPK (Corruption Perception Index) Indonesia masih sangat rendah, yakni dengan posisi nilai 2,8 (rentang indeks antara 0 sampai 10, dimana nilai 0 dipersepsikan sangat korup, dan nilai 10 sangat bersih). Nilai IPK Indonesia ini sama dengan Irak, negera yang hingga kini terus didera konflik berkepanjangan. Negara tetangga, Singapura berada di posisi tiga besar dengan indeks 9,2. Indonesia secara keseluruhan, berada di urutan ke-110 dari 178 Negara. Indonesia masih kalah jauh dari Rwanda, Serbia, Liberia dan Bosnia Herzegovina. Juga kalah jauh dari Tunisia, Maroko serta Mesir. Maka sangat pantas jika Indonesia hingga saat ini mendapat gelar sebagai negara gudang koruptor.
Komitmen pemberantasan korupsi, sebagaimana yang dijanjikan SBY-Boediono semasa kampanye pemilu dulu, hanya omong kosong belaka. Suara dari puluhan juta rakyat Indonesia yang memilihnya pada saat pemilu, tentu saja menjadi sia-sia. Harapan akan keseriusan pemberantasan korupsi, justru dibalas dengan beragam tontonan dagelan politik kekuasaan yang seakan menuding rakyat tidak pandai dalam membaca sikap lemah Rejim SBY-Boediono yang cenderung melindungi para koruptor. Keterlibatan sejumlah kader di kalangan Partai Demokrat yang notabene merupakan partai loyalis pendukungnya sendiri, tidak mampu dituntaskan oleh SBY. Bahkan hingga detik ini, memaksa seorang mantan Bendahara Partai Demokrat, M Nazarudin, untuk kembali dari pelariannya pun gagal dilakukan.
Partai politik lain yang sekarang duduk di DPR pun tidak jauh berbeda. Tidak ada partai politik yang benar-benar bebas tidak terlibat korupsi. Demikian pula tidak jauh berbeda dari para elite politik, hal yang sama dilakukan juga oleh para birokrat negara dan berbagai macam perusahaan besar. Situasi ini terang saja membuat mata kita terbuka, bahwa Rejim SBY-Boediono, elite-elite politik dan partai politik berkuasa telah memperlihatkan wajah aslinya, yang tidak memiliki keseriusan dan komitmen dalam pemberantasan korupsi.
Berkembang biaknya gurita korupsi di bumi Indonesia berakar dari tatanan ekonomi politik yang dibangun sejak Rejim Soeharto berkuasa, yaitu tatanan ekonomi politik yang berdasarkan atas ketergantungan ekonomi terhadap modal internasional. Elite-elite politik Indonesia terbiasa untuk menjual aset-aset bangsa dan menjadi kaki tangan dari modal internasional. Dengan begitu maka para elite politik tersebut memperkaya diri. Untuk mempertahankan kekuasaannya itu, mereka menggunakan segala cara seperti berkorupsi, manipulasi kewenangan, kolusi, mengembangkan kroniisme dan menjadi makelar-makelar proyek. Tidak pernah sekalipun rejim berkuasa berusaha mendorong produksi, melalui industrialisasi nasional, ataupun berkontribusi terhadap pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.
Yang menjadi korban dari korupsi tersebut tentulah rakyat Indonesia sendiri. Rakyat sudah kesulitan neoliberalisme, seperti pencabutan subsidi BBM, listrik, harga-harga yang terus meningkat, politik upah murah, tidak adanya kepastian masa depan karena kontrak dan outsourcing. Kemudian, uang yang diberikan oleh rakyat ke negara dalam bentuk pajak, dan hasil kerja rakyat untuk pembangunan, bahkan uang-uang yang ditabung oleh rakyat untuk masa depan, dikorupsi oleh Rejim SBY-Boediono dan elite-elite politik.
Rejim SBY-Boediono dan para elit politik kemudian menggunakan uang rakyat tersebut untuk memperkaya partainya, untuk memenangkan jabatan-jabatan tertentu, memenangkan pemilu dengan money politic atau sekedar memperkaya diri. Tujuan utamanya adalah untuk terus mempertahankan kekuasaan jahat mereka. Demikian korupsi telah menjadi bagian dari Rejim SBY-Boediono, elite politik dan partai-partai penguasa. Maka pemberantasan korupsi di Indonesia tidak mungkin terjadi dengan mengandalkan Rejim SBY-Boediono ataupun elite-elite politik yang ada sekarang.
Oleh karena itu, kami dari Komite Penyelamat Organisasi - Perhimpunan Rakyat Pekerja (KPO-PRP) menyatakan sikap dan menyerukan kepada seluruh Rakyat Indonesia, untuk :
- Terus melakukan perlawanan terhadap Rejim SBY-Boediono, yang sudah nyata memperlihatkan sikap ketidakseriusan dalam pemberantasan korupsi. Rezim SBY-Boediono telah terbukti gagal dalam memberantas korupsi, dan telah mengkhianati amanah dari jutaan rakyat Indonesia, khususnya yang telah memilihnya.
- Bahwa di tengah kegagalan Pemerintahan SBY-Boediono berserta para pembantunya (Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, dll) dalam memberantas korupsi, kita membutuhkan persatuan bersama di antara seluruh kekuatan rakyat, untuk bergerak mendata, mengumpulkan bukti dan mengadili para koruptor dengan pengadilan kita sendiri, melalui aksi-aksi massa baik di pusat-pusat pemerintahan (Istana Negara, kantor gubernur, wali kota, bupati, hecamatan hingga RW dan RT), maupun ke sarang para koruptor (rumah dinas, rumah pribadi, perusahaan dan lainnya).
- Bangun posko-posko pengaduan yang bersifat permanen di setiap daerah, sebagai tempat pengaduan alternatif, yang menggantikan lembaga-lembaga hukum yang terbukti lemah dan tumpul dalam menangani kasus korupsi.
- Hanya dengan Sosialisme, di bawah kekuasaan kaum buruh dan rakyat miskin lainnya-lah, kesejahteraan dapat kita raih dengan layak dan seadil-adilnya sesuai dengan cita-cita serta tujuan perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Sosialisme, Jalan Sejati Pembebasan Rakyat Pekerja!
Sosialisme, Solusi Krisis Global Kapitalisme!
Bersatu, Bangun Partai Kelas Pekerja!
Badan Pekerja Nasional
Komite Penyelamat Organisasi - Perhimpunan Rakyat Pekerja
(KPO - PRP)
Jakarta, 19 Juli 2011
Ketua
Mahendra Kusumawardhana (085716280745)
Sekretaris Jenderal
Asep Salmin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar