Bangun Kekuatan Kaum Tani Dengan Persatuan Bersama Buruh dan Rakyat Tertindas

Kamis, 29 September 2011

Hari ini, 51 tahun yang lalu, pemerintahan Soekarno resmi mengeluarkan UU No.5 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai solusi terhadap permasalahan tanah dan sumber daya agraria yang ada di Indonesia sejak dicengkramnya Indonesia oleh Imperalisme-kolonialisme. Tak diragukan, UUPA telah menjadi tonggak terpenting dari perjuangan rakyat atas seluruh rangkaian perjuangan kemerdekaan nasional atas penjajahan. Pemerintahan Soekarno kemudian juga menetapkan hari lahirnya UUPA ini, yakni 24 september, sebagai Hari Tani Nasional yang sampai sekarang kita peringati.

Sebelum merdeka dan berdaulat sebagai sebuah negara, wilayah Indonesia/Nusantara merupakan wilayah yang diperebutkan petak demi petaknya oleh para elite/segelintir penguasa demi kekayaan pribadi, dengan mengorbankan jutaan rakyat yang mayoritas hidup sebagai pengolah tanah—kaum tani. Sejak jaman kerajaan sampai diambil-alihnya penindasan itu oleh pemerintahan VOC dan Hindia-Belanda, tanah sebagai salah satu sumber kehidupan terpenting tidak pernah benar-benar dapat dimiliki dan dikuasai sepenuhnya oleh kaum tani sebagai pengolah tanah.

Setelah ditindas lewat sistem upeti dan penyerahan wajib hasil-hasil tanah di era kerajaan, pemerintahan kolonial melengkapi penindasan dengan menerapkan system tanam paksa yang menghancurkan struktur tanah dan struktur social di Indonesia, dan kemudian UU Agraria tahun 1870 yang memberi pintu liberalisasi tanah kepada modal asing. Hasilnya saat itu adalah, rakyat Indonesia menjadi “koeli” di negeri sendiri dengan kondisi kesengsaraan yang luar biasa. Penguasaan atas tanah menjadi satu senjata terpenting penjajah untuk menaklukkan rakyat Indonesia. Inilah sebabnya mengapa persoalan tanah/agraria menjadi persoalan yang teramat sentral dari kemerdekaan nasional dan kesejahteraan rakyat.

Setelah merdeka, UUPA merupakan Undang-Undang paling penting yang mewadahi arti dan semangat kemerdekaan nasional dari penjajah, karena merupakan antitesa dari pola penguasaan tanah ala Imperialis-kolonialis dan sekaligus memiliki perspektif yang cukup tegas dalam menjunjung kedaulatan kaum tani atas sumber-sumber agraria. Namun penerapan UU Pokok-Pokok Agraria tersebut mendapatkan hambatan yang keras, terutama dari pemilik tanah besar/tuan tanah yang menghubungkan dirinya dengan tentara. Demikian upaya-upaya dari Negara dan kaum tani saat itu untuk menjalankan amanat UUPA tersebut belum mendapatkan keberhasilan, dalam arti, UUPA belum terlaksana di lapangan—hingga akhirnya kekuasaan direbut oleh Soeharto yang pro-modal. Itulah mengapa perlawanan kaum tani saat itu (sampai sekarang) sering kali dihadapkan pada bedil tentara.

Saat Rejim Soeharto berkuasa kondisi kaum tani kembali menderita. UUPA yang merupakan intisari perasan dari kemerdekaan tidak pernah dijalankan bahkan dianggap peraturan rongsokan yang diabaikan begitu saja. Tidak hanya itu, lebih jauh lagi, pemerintahan Orde Baru telah mengembalikan pola penguasaan tanah dan sumber-sumber agraria kepada pemodal-pemodal asing seperti di jaman penjajahan terdahulu lewat seperangkat peraturan Hak Guna Usaha (HGU) ataupun Hak Pengelolaan Hutan (HPH) atas tanah.

Sebagai kelanjutan yang lebih massif atas penguasaan modal atas tanah, pemerintahan neoliberal pasca reformasi kembali meletakkan UUPA sebagai Undang-Undang yang di“museum”kan dengan lahirnya banyaknya peraturan undang-undang sektoral agrarian yang tidak mengacu kepada UUPA (baca: tidak mengacu pada kedaulatan kaum tani) seperti UU Sumber Daya Air , UU Pertambangan, UU Penanaman Modal, UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Pesisir dan Kelautan dsb. Kebijakan-kebijakan tersebut semakin massif menindas rakyat dalam masa rejim SBY-Boediono.

Secara nyata kebijakan era Orde Baru (yang dilanjutkan secara massif di era reformasi) telah melahirkan ketimpangan yang cukup mendalam dalam penguasaan tanah di Indonesia. Persoalan ketimpangan sosial yang dicerminkan oleh ketimpangan penguasaan atas tanah dapat dilihat dari fakta bahwa hampir 60% golongan yang dikategorikan sebagai kaum tani hanya memiliki lahan seluas 0,2 sampai 1 hektar. Sedangkan 30% kaum tani adalah petani penggarap yang tidak memiliki tanah yang dapat dikelola secara rutin. Jika kita mengkaitkannya dengan logika pertambahan penduduk dan rendahnya produktivitas pertanian skala kecil akibat kapitalisasi pertanian, maka akan dapat dipastikan, semakin lama tanah akan semakin terkonsentrasi pada beberapa gelintir pemilik tanah/modal, dan semakin banyaknya petani yang tak memiliki tanah, yaitu petani penggarap.

Dengan jumlah petani yang berkisar 44% dari penduduk bekerja (sekitar 46 juta jiwa) dari 105 juta penduduk yang bekerja, maka dapat dipastikan 90% masyarakat yang tergolong petani, yaitu 41,4 juta jiwa, maksimal hanya menguasai 26,4 juta ha tanah; sedangkan 10% nya, yaitu 4,6 juta jiwa, sedikitnya menguasai 17,6 juta ha. Sungguh-sungguh ketimpangan yang luar biasa. Inilah suatu akar yang menyebabkan perpindahan penduduk besar-besaran dari desa ke kota.

Diluar dari penguasaan atas tanah, Rejim Neoliberal SBY-Boediono juga tidak pernah sama sekali berpikir akan peningkatan teknologi produksi pertanian yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian demi kedaulatan pangan yang sekaligus mengikis kesenjangan antara desa dan kota. Pemerintah justru memelihara ketergantungan yang tinggi terhadap modal-modal yang berfungsi mengeksploitasi sumber-sumber agraria tanpa menghubungkannya pada kebutuhan riil rakyat pedesaan. Terang saja dari tahun ke tahun produktivitas pertanian Indonesia selalu mengalami penurunan (hanya menyumbangkan tidak lebih dari 20% PDB Nasional), hingga tidak mampu lagi menciptakan kesejahteraan bagi rakyat pedesaan.

Dalam kondisi ketimpangan dan (sekaligus) ketidakberpihakan kebijakan yang demikian, perlawanan kaum tani dalam mendapatkan hak-hak nya atas sumber agraria khususnya tanah selalu mendapatkan serangan yang membabi-buta dari aparat Negara. Dari Januari hingga September 2011, tercatat 20 rakyat petani Indonesia tewas, 57 luka-luka karena konflik agraria akibat peluru aparat dan pihak keamanan perusahaan. Hal tersebut sama sekali tidak memperlihatkan bahwa Indonesia telah melewati suatu reformasi (1998) yang anti terhadap pembungkaman dan pemberangusan. Sungguh terbuktilah bahwa demokrasi yang digembar gemborkan oleh rezim neoliberal SBY-Boediono hanyalah omong kosong bagi kaum tani.

Berbicara tentang kaum tani tidaklah dapat dipisahkan tentang persoalan yang membelit dan membingkai keberlangsungan negara Indonesia kedepannya. Tatanan Imperialisme dan neoliberalisme akan selalu menyengsarakan kaum tani, buruh dan rakyat Indonesia. Oleh karena itu sudah saatnya kaum tani percaya pada kekuatannya sendiri dan bersatu dengan kelas buruh serta rakyat tertindas. Persatuan ini harus terus didorong hingga menjadi termanifestasikan sebagai kekuatan serta alat perjuangan politik bagi kaum tani, buruh dan rakyat Indonesia.

Dengan alat perjuangan politik tersebut maka kaum tani bersama dengan buruh dan rakyat tertindas lainnya dapat merebut kekuasaan politik dari tangan Rejim Neoliberal. Rejim Neoliberal SBY-Boediono yang telah terbukti gagal dalam memberikan kesejahteraan, perlindungan dan demokrasi bagi kaum tani, buruh dan rakyat tertindas.

Ketika kekuasaan politik berada ditangan kaum tani, buruh dan rakyat tertindas lainnya maka tanah, kesejahteraan dan demokrasi dapat digapai. Dengan kekuasaan politik itu pula maka dapat dibuat kebijakan-kebijakan yang pro kaum tani dan buruh dapat dibuat untuk menyejahterakan rakyat secara keseluruhan. Termasuk didalamnya adalah pertama, melaksanakan pembaruan agrarian sejati untuk keadilan sosial dan kedaulatan pangan, kedua, menyelesaikan konflik-konflik agraria dengan mengutamakan pemulihan hak-hak dan keadilan bagi kaum tani ketiga mengembalikan tanah-tanah rakyat yang sudah rampas oleh rejim dan pemilik modal, keempat memberikan perlindungan terhadap produk pertanian nasional, kelima meningkatkan produktivitas pertanian untuk pemenuhan kebutuhan pangan nasional dengan teknologi dan pertanian kolektif skala besar yang dikelola oleh kaum tani sendiri.

Sosialisme, Jalan Sejati Pembebasan Rakyat Pekerja!
Sosialisme, Solusi Krisis Global Kapitalisme!
Bersatu, Bangun Partai Kelas Pekerja!


Komite Penyelamat Organisasi - Perhimpunan Rakyat Pekerja
(KPO - PRP)

Jakarta, 24 September 2011

Ketua Badan Pekerja Nasional
Mahendra Kusumawardhana (085716280745)

Sekretaris Badan Pekerja Nasional
Asep Salmin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar