Aksi Hari Tani Nasional di Jakarta dan Yogyakarta, Kaum Tani Butuh Persatuan dengan Kaum Buruh

Kamis, 29 September 2011

Tanggal 24 September adalah hari yang selalu diperingati oleh berbagai kalangan gerakan rakyat sebagai Hari Tani Nasional, dimana pada hari itu, berbagai kalangan kembali diingatkan untuk terus memompa semangat yang tak kenal lelah untuk memperjuangkan reformasi agraria. Sejatinya, hari itu adalah tepat saat dimana Soekarno, pada tahun 1960, resmi mengeluarkan Undang-Undang tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai alat penegak kedaulatan kaum tani atas sumber-sumber agraria. Oleh karena pentingnya, Soekarno kemudian juga menerbitkan kepres No. 169/1963 yang mendasari peringatan Hari Tani Nasional setiap tanggal 24 September. Namun sejak pemerintahan Soeharto, sejarah tinggallah sejarah. Tak pernah lagi pemerintahan manapun pasca orde baru yang pernah memperingati hari ini sebagai Hari Tani Nasional sebagai tanda dukungannya terhadap program kemerdekaan nasional , apalagi menjalankan program-program reformasi agraria yang terkandung dalam UUPA, tak terkecuali pemerintahan Neoliberal SBY-Boediono.

Dalam kondisi dimana semakin timpangnya kepemilikan atas tanah, maraknya konflik agraria, serta makin panjang dan terkatung-katungnya rentetan kasus kekerasan terhadap kaum tani, hari tani nasional tahun 2011 akhirnya direspon oleh berbagai kalangan dengan menggelar konsolidasi persiapan aksi peringatan. Di Jakarta konsolidasi bermuara pada dua aksi besar, yaitu pada tanggal 24 september dan 26 september.

Aksi pada tanggal 24 september, ribuan petani yang didominasi oleh organisasi Serikat Petani Indonesia dan juga dari berbagai organisasi buruh dan mahasiswa memulai aksinya didepan mesjid Istiqlal pukul 08.00 wib. Massa mulai berjalan menuju Istana Negara pukul 09.00 hingga sampai tepat di depan Istana Negara. Massa kaum tani mengajukan tuntutan program-program reformasi agraria. Sedangkan massa buruh yang terlibat terdiri dari Konfederasi KASBI dan Forum Buruh Lintas Pabrik yang bergabung di sisi kiri dan kanan barisan massa. Selain mendukung program reformasi agraria, massa KASBI juga membawa spanduk bertuliskan “Tanah dan Air untuk Kesejahteraan Rakyat

Sebuah kritik pun harus kami lakukan, bahwa telah terjadi kecelakaan konsep ataupun teknis, dimana sesaat sesampainya di Istana Negara, staf khusus kepresidenan diberi kesempatan oleh perangkat aksi untuk menaiki panggung dan menyampaikan janji-janjinya. Hal tersebut tidaklah tepat untuk memajukan perjuangan kaum tani. Hal yang senada sebenarnya juga lahir dalam ajang konsolidasi aksi untuk tanggal 26 september. Salah satu perwakilan dari tani menekankan untuk tidak membelejeti SBY-Boediono dalam kampanye aksinya, tapi lebih kepada persoalan-persoalan kaum tani semata. Pemisahan antara persoalan kaum tani dengan persoalan kebijakan neoliberal adalah sebuah kemunduran dari gerakan tani yang tak boleh dilanjutkan kedepannya. Inilah poin besar dari catatan kami terhadap aksi hari tani nasional tahun ini.

Seakan sebagai langkah untuk mengkonternya, dalam orasi politiknya, perwakilan KPO-PRP, Muhammad Iqbal, menyampaikan ketegasan yang diperlukan dalam melawan kebijakan rezim neoliberal beserta tipu-janji nya. “Tak ada yang harus dipercaya dari janji presiden maupun juru bicaranya. Hanya kekuatan tani yang bersatu dengan kaum buruhlah yang mampu memenangkan program reformasi agraria”, tandas kawan Iqbal. Selanjutnya kawan Iqbal juga mengajak kaum tani membangun alat politiknya bersama dengan kaum buruh, yang bebas dari kepentingan kaum pemilik modal dan kaum feodal.

Setelah lebih dari 2 jam berada di depan Istana, massa kemudian berjalan menuju bunderan HI. Dengan long-march yang dikawal oleh pasukan motor dari Konfederasi KASBI, massa akhirnya sampai di bunderan HI pukul 13.30. Setelah melanjutkan orasi di bunderan HI, aksipun selesai pukul 15.00, dan massa membubarkan diri di bunderan HI lalu menaiki bis yang akan mengantar mereka kembali ke daerah masing-masing di jawa barat dan banten.

Sementara itu, Hari Tani juga dirayakan oleh organisasi gerakan di Yogyakarta dengan menggelar aksi long march. Beberapa kelompok gerakan yang melakukan aksi, yaitu Aliansi Rakyat Peduli Petani (ARPP), Sekber, FMN, Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo dan FPPI. KPO PRP Yogyakarta sendiri tergabung dalam ARPP bersama beberapa organisasi lain seperti PRD, PPI, PPR, ARMP, PSB, KASBI, SMI, PPBI, FAM-J, LMND, Perempuan Mahardhika, PEMBEBASAN, RESISTA, SeTAM, LKSP dan BEM UAD.

ARPP memulai aksi sekitar pukul 09.30 WIB dari Parkiran Abu Bakar Ali, Malioboro. Massa yang berjumlah sekitar 100an orang dengan penuh semangat dan tertib memulai jalan menuju kantor DPRD Propinsi DIY. Di kantor DPRD sendiri sudah ada PPLP, Sekber dan FMN. Sesampainya di DPRD, massa ARPP kemudian melakukan orasi-orasi dan sesekali diiringi yel-yel yang berisi tuntutan. Beberapa orator memberikan gambaran tentang kondisi petani Indonesia yang semakin terpuruk, ditambah dengan banyaknya represi militer terhadap petani. Juga menyampaikan tuntutan agar pemerintah melaksanakan UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dan mencabut berbagai kebijakan yang bertentangan dengan UU tersebut.

Massa ARPP kemudian bergabung dengan PPLP, Sekber dan FMN. PPLP membawa 2 becak berspanduk merah berisi aktivis PPLP yang melakukan mogok makan. Tuntutan utama mereka adalah pembebasan Tukijo, seorang petani yang dipenjara karena melakukan aksi menolak tambang pasir di Kulon Progo. Selain itu, mereka juga menyerukan penghentian penambangan pasir di Kulon Progo. Gabungan massa ini kemudian melanjutkan perjalanan menuju Kantor Pos Besar. Massa yang jumlahnya semakin besar ini kemudian berbaris rapi menutup jalan Malioboro dan melanjutkan long march sambil meneriakan yel-yel seperti: “Tanah Untuk Rakyat!”, “Hentikan Tambang Pasir Kulon Progo!”

Massa berhenti di Depan Kantor Gubernur untuk melanjutkan orasi. Beberapa organisasi yang orasi kembali menyampaikan tuntutan antara lain; menolak RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan, menolak impor hasil pertanian, meminta penyelesaian kasus lahan dengan cara damai, menuntut dihentikannya penggusuran, menuntut dihentikannya kriminalisasi terhadap petani serta menuntut tanah, modal dan teknologi untuk petani. Ketua KPO PRP Yogyakarta, Akbar Tanjung, menegaskan bahwa “Rejim SBY-Boediono jelas-jelas gagal memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi petani. Untuk itu dibutuhkan kekuatan organisasi tani yang progresi dan kekuatan rakyat pekerja. Karena rakyat pekerjalah yang harus menentukan nasibnya sendiri”.

Sekitar pukul 12.00 WIB massa kemudian melanjutkan perjalanan menuju Kantor Pos Besar dan sempat juga berhenti di depan Gedung Agung untuk melakukan orasi. Pukul 13.00 massa membubarkan diri setelah menyampaikan seluruh orasi dan membaca pernyataan sikap bergantian. (kibar, ars)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar