Rezim SBY-Boediono Gagal Melindungi Tenaga Kerja Indonesia

Selasa, 21 Juni 2011

Pada Selasa (14/06/2011), SBY berkoar-koar di hadapan sidang konferensi ILO (organisasi perburuhan PBB), yang salah satunya tentang klaim bagaimana pemerintah Indonesia telah berhasil melindungi buruh migran-nya. Setelah tipu daya dan pencitraan yang biasa dilakukan, SBY dihadiahi standing applause oleh para peserta Sidang ILO tersebut. Simaklah poin-poin dari pidato SBY ini :

"Pertama, kami harus mempromosikan program pro-pertumbuhan, pro-pekerjaan, dan pro kemiskinan. Di Indonesia kami menyebutnya pertumbuhan dengan persamaan”. Poin kedua adalah menciptakan kebijakan dan strategi dengan visi yang baik, yaitu harus pro pada lingkungan. Ketiga, SBY juga mengajak agar kehormatan para pekerja harus dipromosikan dan dilindungi. Keempat, SBY membuat program kebijakan yang memberikan kesempatan bagi para pekerja agar bisa berpartisipasi di pemerintahan yang demokratis. Kelima, harus ada kerjasama yang baik untuk memastikan efek positif dari era globalisasi. Keenam, SBY meminta semua negara-negara lain agar tidak hanya meratifikasi konvensi ILO, namun segera mengimpelementasikannya. “Akhirnya, mari kita bekerjasama untuk mewujudkan kondisi yang baik bagi para pekerja di seluruh dunia. Mari kita bergandengan tangan untuk memberikan keadilan sosial."

Namun ironisnya, empat hari setelah itu, seorang buruh migran Indonesia (BMI) bernama Ruyati dihukum pancung di Arab Saudi karena membunuh majikannya. Ini bukan soal kecolongan semata, namun hukuman pancung yang diterima oleh Ruyati, sekali lagi membuktikan ketidakpedulian Rezim SBY-Boediono dalam melindungi buruh migran Indonesia. Kondisi yang berbeda justru ditunjukkan oleh Filipina, dimana 2 orang tenaga kerja asal Filipina berhasil dibebaskan dari jeratan hukuman mati. Ruyati bisa jadi tak sendiri lantaran masih ada 23 BMI lain yang “mengantri” eksekusi hukuman mati, termasuk Darsem. Khusus mengenai Darsem, kasusnya Darsem sudah lama mencuat, dimana keluarga majikan memaafkan Darsem dengan keharusan membayar tebusan (diat) sebesar Rp 4,7 miliar sampai tenggat 7 Juli 2011. Pemerintah baru akan membayar diat ini setelah muncul solidaritas luar biasa dari rakyat Indonesia.

Ruyati dan Darsem begitu menarik perhatian publik, tapi anehnya Boediono seperti tidak mengikuti berita ketika berpanjang lebar bicara mengenai perlindungan buruh migran saat membuka ASEAN Region Crime Prevention Foundation (ARCPF) International Conference ke-3, di Jakarta pada Senin (20/06/2011). Konferensi ini diadakan memang untuk membahas perlindungan buruh migran dan traficking, namun orang ke-2 republik ini sama sekali tidak menyinggung peristiwa yang menimpa Ruyati, Darsem ataupun BMI lainnya. Sebuah sikap yang tak memperlihatkan empati, bahkan cenderung mengabaikan nasib malang jutaan BMI yang teraniaya di dalam dan luar negeri.

Pengabaian Boediono di forum yang seharusnya tepat disampaikan, diikuti oleh elemen-elemen pemerintahan lainnya, yang intinya berusaha melindungi SBY dari cercaan publik. Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar misalnya, dengan degil berucap bahwa pemerintah tak bisa disalahkan karena tak bisa menjamin perilaku BMI orang per orang. Katanya, “kalau orang berbuat salah di luar negeri, masak pemerintah yang disalahkan?”. Padahal semua orang tahu, bahkan Kedubes RI di Arab Saudi mengakui tidak mengetahui eksekusi Ruyati. Logikanya, bagaimana mungkin pemerintah melakukan perlindungan terhadap BMI, kalau informasi seorang BMI telah dieksekusi saja tidak punya?

Sumbangan besar BMI untuk devisa berkebalikan dengan bagaimana Rejim SBY-Boediono melindungi buruh migran dan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Kelas buruh dan rakyat secara keseluruhan adalah yang membangun bangsa Indonesia. Sementara elite-elite politik, menteri-menteri, BNP2TKI, PJTKI dan para pendukung Rejim SBY-Boediono memanfaatkan ‘sumbangan’ rakyat ini untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka mengambil keuntungan pengiriman BMI yang pada intinya adalah outsourcing. Mereka memanfaatkan pula kejadian ini untuk mendorong kenaikan anggaran Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM, dengan topeng demi perlindungan BMI. Perlindungan yang telah berkali-kali digembar-gemborkan dan terbukti gagal. Sementara itu, pajak dan tabungan rakyat mereka rampok untuk kepentingan partai dan para elite politik berkuasa.

Alasan utama rakyat Indonesia bekerja menjadi buruh di luar negeri adalah karena kebijakan neoliberal yang diterapkan oleh Rejim SBY-Boediono. Pencabutan subsidi, fleksibilitas pasar tenaga kerja, politik upah murah, sistem kontrak dan outsourcing, privatisasi aset-aset rakyat, dan kebijakan neoliberal lainnya telah terbukti memiskinkan rakyat Indonesia. Kenaikan harga-harga, upah yang jauh dari kebutuhan hidup layak, ketiadaan lapangan pekerjaan, dan ketidakpastian kerja mendorong rakyat untuk bekerja di luar negeri dengan harapan upah tinggi dan kesejahteraan. Kebijakan Neoliberal yang semakin massif dijalankan oleh SBY ditambah dengan kuatnya budaya patriarki yang juga nyata-nyata telah membuat perempuan semakin tersingkir dan terjebak dalam kerja-kerja yang tak layak. Mayoritas perempuan, bekerja sebagai PRT dengan upah tak layak, mayoritas perempuan jugalah yang diekspor sebagai buruh migran. Tak heran jika mayoritas perempuan pula yang menjadi sasaran penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan dan hukum pancung seperti yang dialami Ruyati.

Oleh karena itu, kami dari Komite Penyelamat Organisasi-Perhimpunan Rakyat Pekerja (KPO-PRP) menyatakan sikap :
  1. Hentikan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri dengan membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia. Sebab pada prinsipnya, tidak ada satu orang pun warga Negara Indonesia yang ingin menanggung resiko bekerja diluar negeri, kecuali karena tidak tersedianya lapangan kerja yang layak di tanah dan negeri mereka sendiri.
  2. Pekerjaan yang tersedia harus diikuti dengan upah layak nasional di semua sektor tanpa tekecuali, penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourcing (termasuk PJTKI), serta jaminan perlindungan terhadap hak-hak buruh sebagai manusia bebas dan merdeka.
  3. Menyerukan agar masyarakat tak lelah untuk terus mengawasi kasus-kasus kekerasan yang dialami Buruh Migran Indonesia dan melakukan advokasi dengan caranya sendiri. Solidaritas antar sesama kaum buruh dan Rakyat miskin lainnya, adalah hal yang mutlak dan tidak bisa kita tawar-tawar lagi.
  4. Menyerukan kepada seluruh kaum buruh dan rakyat miskin Indonesia, agar membangun posko-posko dari tingkat nasional hingga daerah, sebagai pusat pengaduan dan pendataan atas pelanggaran hak-hak kita sebagai buruh dan warga negara. Sudah saatnya kita harus bergantung kepada kekuatan kita sendiri, bukan kepada elite politik dan kekuasaan yang terbukti gagal melindungi dan memberikan kesejahteraan bagi Rakyat Idonesia.
Rejim SBY-Boediono telah terbukti gagal dalam melindungi kaum buruh, khusunya saudara kita yang bekerja di luar negeri. Kegagalan ini disebabkan ketertundukan SBY-Boediono dan seluruh elite politik, termasuk DPR, pada kebijakan neoliberalisme atas perintah modal internasional. Terbebasnya rakyat Indonesia dari penindasan tersebut hanya dapat terjadi dengan persatuan rakyat dalam membangun alat perjuangan politiknya untuk membangun pemerintahan rakyat, pemerintahan yang berdiri di atas keringat dan upaya kita sendiri.

Sosialisme, Jalan Sejati Pembebasan Rakyat Pekerja!
Sosialisme, Solusi Krisis Global Kapitalisme!
Bersatu, Bangun Partai Kelas Pekerja!


Badan Pekerja Nasional
Komite Penyelamat Organisasi - Perhimpunan Rakyat Pekerja
(KPO - PRP)

Jakarta, 21 Juni 2011

Ketua,
Mahendra Kusumawardhana


Sekretaris Jenderal,
Asep Salmin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar