Wawancara dengan Max Lane : Tak Ada Pilihan Selain Merombak Dunia

Selasa, 09 Agustus 2011

Di kalangan aktivis Indonesia, siapa tak kenal Max Lane? Interaksi yang cukup lama dengan sejumlah tokoh politik dan budaya Indonesia, juga ‘akrabnya’ Max dengan aktivis kiri di akhir-akhir hayat orde baru, membuat sosok satu ini mirip-mirip legenda hidup. “Perspektif politik saya juga banyak terbentuk oleh pengalaman saya dengan orang-orang Indonesia ini,” ujar Max.

Dengan pengalamannya yang lumayan terentang panjang ini, rakyatpekerja.org mencoba bertukar gagasan mengenai asal mula ketertarikannya dengan Indonesia dan pandangan-pandanganya tentang kondisi terakhir negeri ini.

Dari sejak muda Bung Max seperti sudah tertambat dengan Indonesia, apa latar belakangnya?

Sangat kebetulan sekali, saya belajar Bahasa Indonesia di SMA dan kemudian sejarah dan politik Indonesia di University of Sydney, 1969-1972, dengan skripsi SI tentang politik Bali tahun 1960-1972.

Sebagai orang Australia, apakah memang cukup penting mempelajari Indonesia?

Saya tidak pernah mendekati masalah mempelajari Indonesia dari sudut “sebagai orang Australia”. Saya menjadi sarjana dalam bidang ini sebenarnya sangat kebetulan. Kemudian dalam 40 tahun yang sudah lewat ini sudah semakin sadar bahwa setiap negeri di dunia pantas dipelajari. Pada tahun 70-an, 80-an dan 90-an, saya semakin terjun di politik. Ini lebih sebagai pengaruh terhadap saya oleh orang-orang seperti W.S. Rendra, Pramoedya Ananta Toer dan Yoeseof Isak, ditambah dengan keharusan ambil sikap – sambil menganilisa situasi sedalam-dalamnya – tentang invasi Suharto ke Timor Leste sesudah proklamasi kemerdekaan Timor itu.

Bung sangat dekat dengan aktivis-aktivis kiri negeri ini, bisa digambarkan kedekatan Bung Max dengan mereka?

Saya pertama sekali ke Indonesia tahun 1969 dan sejak itu saya kenal dengan Indonesia lewat politik. Memang tahun 60an di seluruh dunia ialah zaman gerak juga. Ada gerakan civil rights dan Martin Luther King di Amerika; perlawanan terhadap perang Amerika di Vietnam; revolusi (hampir) di Perancis; pemberontakan komunis demokratis thdp komunis anti-demokratis di Czekoslovakia dan banyak lainnya. Jadi sejak awal saya kenal Indonesia di sebuah zaman yang intensif concern-nya dengan demokrasi, keadilan sosial, perjuangan dunia ketiga untuk pembebasan nasional dan lain-lain.

Saya, berumur 17 tahun pada tahun 1969, terpengaruh semua itu dan melihat Indonesia melalui kaca-mata itu. Akibatnya saya selalu ketarik ingin kenal dengan orang-orang yang memperjuangkan demokrasi, keadilan social dan pembebasan nasional. Sejak tahun 1969 saya merasa sangat beruntung bisa kenal dengan beberapa teman Marhaenis (1969-1972); dengan almarhum W.S. Rendra (sejak 1972); teman-teman aktivis mahasiwa 70-an (peristiwa “Malari”); dengan Pramoedya Ananta Toer, Joesef Isak dan Hasyim Rachman (Hasta Mitra) pada tahun 1980-an. Mungkin agak anehnya, tetapi selain banyak buku yang saya membaca pada tahun 60-an dan 70-an, saya kira perspektif politik saya juga banyak terbentuk oleh pengalaman saya dengan orang-orang Indonesia ini.

Adakah tujuan tertentu kebersamaan Bung dengan para aktivis Indonesia?

Pada tahun 90-an saya cukup dekat dengan teman-teman di Partai Rakyat Demokratik (PRD) - sampai tahun 2007. Pada tahun 2007 PRD pecah dengan dipecatnya banyak orang, kemudian lahir PRD yang semakin nasionalis dan masih bernama PRD dan yang lainnya, yang mempertahankan kekiriannya, yang baru saja ini mengambil nama Partai Pembebasan Rakyat (PPR). Saya masih suka simpati dan juga tukar-pikiran dengan mereka di PPR.

Jelas juga bahwa sejak sekitar 2005 ada banyak tendensi dan organisasi progressif baru, baik yang berusaha bangun organisi politik maupun yang tidak – misalnya di kebudayaan, di universitas, di sastra, di perburuhan, di dunia NGO dan di penerbitan. Buat saya meneruskan perjuangan mencapai demokrasi yang sepenuh-penuhnya, keadilan sosial dan pembebasan nasional akan membutuhkan tenaga dari semua tendensi dan organisasi ini. Idealnya, tentu saja, semua tendensi dan organisasi bagus kalau bersatu. Tetapi persatuan yang riil selalu butuh basis persatuan, yaitu kesepakatan, baik tentang tujuan maupun tentang apa yang harus dikerjakan ke depan untuk mencapai tujuan bersama.

Tujuan Bung baik sekali, tetapi sepertinya sulit terwujud karena yang terjadi justru sebaliknya….

Mencari jalan ke depan di Indonesia, maupun di manapun di dunia yang semrawut ini, memang tidak gampang. Banyak ide beredar. Banyak kepentingan bertarung. Pasti akan terjadi struggle, polemik, debat dan konflik di antara kita sendiri yang memperjuangan perubahan ini. Apa boleh buat. Kita harus usahakan sejauh mungkin debat dijalankan dengan jiwa bersatu tujuan dan cari kebenaran – tanpa melepaskan hak kita juga untuk mengkikis habis, melalui polemik, ide-ide yang kita anggap menyesatkan, sekaligus sanggup juga mengakui kebodohan-kebodohan kita sendiri kalau sudah terbukti.

Saya sendiri – sebagai orang yang nasibnya rupanya juga terikat dengan Indonesia yang juga saya sayangi ini – pasti terbuka untuk berdialog dengan semua yang bertujuan seperti itu. Karena itu, misalnya, saya sangat bergembira bisa melakukan interview ini dengan terbitan KPO-PRP.

Menurut Bung Max, adakah harapan bagi Indonesia untuk kembali berubah selepas 1988, kemudian, katakanlah, menuju revolusi?

Masalahnya bukan apakah ada harapan. Manusia di atas muka bumi ini tak ada pilihan daripada merombak dunia, memindahkan kekuasaan politik dari tangan mereka yang hanya memikirkan kekayaan daripada rakyat banyak. Berarti tak ada pilihan juga daripada cari jalan membangun dan membangkitkan rakyat banyak itu, di negeri manapun mereka berada. Tak ada pilihan. Kalau tidak umat manusia ke depan hanya akan menderitakan kombinasi lingkungan alam yang menjadi tempat berlindungnya hancur total dan juga sekaligus masyarakatnya kembali ke alam barbarian.

No choice. Harus bisa.

Oya, Bung sempat menyebut baru-baru ini saja menjadi intelektual, apa maksudnya?

Heh, heh. Mungkin pernah saya ceriterakan bahwa saya baru-baru ini – sejak tahun 2004 – mulai mencari nafkah sebagai dosen di universitas. Hampir kita semua harus cari nafkah. Mungkin itu yang anda maksud. Di lain sisi, memang di zaman itu ada urgensi untuk semua kita memperdalam kegiatan intektual kita, tentu saja terfokus pada kebutuhan memecahkan persoalan-persoalan mendesak. Jangan kita tiru situasi di dunia akademis saat ini di seluruh dunia: pada saat yang sama ratusan juta manusia sedang menderita, dunia akademisi lebih banyak main-main saja.


Max Lane, penulis buku "Unfinished Nation: Indonesia before and after Suharto", Verso (2008); “Catastrophe in Indonesia”, Seagull (2011); “Paradigma-paradigma untuk Sejarah Alternatif: Ketiadaan Analisa kelas dalam Studi-studi Sejarah Kontemporer”, (pp 421-491) dalam “Sejarah Alternatif Indonesia” by Malcolm Caldwell and Ernst Utrecht, Jogjakarta (2011), dan juga penerjemah novel-novel Pramoedya Ananta Toer dan drama dan sajak WS Rendra. Max Lane berbasis di Australia dan sudah 40 tahun aktif di gerakan sosialis dan progresif Australia.


Keterangan: Ikuti wawancara dengan Max Lane lainnya, “Apakah Sukarno Bisa Main Peran Simbolis sama dengan Bolivar?” yang termuat di terbitan KPO-PRP "Bintang Rakyat" yang terbit pada bulan ini (jxm).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar