Demokratisasi Kampus Harus Ditegakkan : Kasus Pemberangusan BEM UTY Yogyakarta

Selasa, 09 Agustus 2011

Sebuah kisah ironis datang dari Yogyakarta, kota pelajar yang sering dianggap sebagai “Kawah Candradimuka” tokoh-tokoh nasional di segala bidang. Sekelompok mahasiswa dan mahasiswi Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY) yang mengunakan hak-hak demokrasinya untuk membangun Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) diberi sanksi peringatan keras, skorsing dan dicabut status kemahasiswaannya oleh pihak rektorat.

Kasus ini bermula dari para penolakan pihak rektorat terhadap berdirinya BEM yang baru dibentuk oleh mahasiswa untuk menangani permasalahan-permasalahan kampus dan sarana aspirasi mahasiswa,. Alasannya, rektorat mengklaim BEM sebagai wadah aspirasi mahasiswa belum dibutuhkan dan sejak awal berkuliah, para mahasiswa UTY sudah menandatangani surat perjanjian yang salah satu poinnya adalah “tidak mendirikan lembaga eksekutif mahasiswa”.

Usaha untuk mendapatkan hak demokrasi mahasiswa ini berlanjut dengan aksi atas nama Aliansi Pejuang Demokrasi UTY (APDU). Namun, pada tanggal 31 Mei 2011, aksi damai yang menuntut pemberian legalitas BEM  justru mendapat tindakan kekerasan dari pihak keamanan kampus UTY dan orang-orang tak dikenal. Penyerangan ini mengakibatkan para mahasiswa mengalami luka dan memar di wajah serta badan dan beberapa orang mahasiswa juga sempat muntah-muntah karena terkena serangan cairan beracun dari tabung semprot berukuran kecil yang dibawa orang berpenutup wajah.

Arogansi kampus ini belum berakhir. Berselang empat hari setelah insiden tersebut dan bertepatan masa Ujian Akhir Semester (UAS), 4/6/2011, Rektorat UTY mengeluarkan surat sanksi kepada para mahasiswa yang mengikuti aksi, dua orang dicabut status kemahasiswaannya, satu orang diskorsing selama setahun, satu orang diskorsing selama enam bulan dan belasan orang mendapat peringatan keras agar tidak melakukan hal yang sama dengan ancaman pencabutan status kemahasiswaan. Sedangkan Presiden BEM terpilih, T Risangchayo P Bima, jauh-jauh hari terpaksa memilih untuk tidak ikut serta dalam kegiatan BEM setelah tindakan rektorat yang mengintimidasi orang tuanya yang sedang sakit.

Para mahasiswa kemudian bergerak mencari keadilan dan pengakuan hak demokrasi lewat berbagai cara. Pengaduan penganiayaan beserta bukti visum telah dilaporkan kepada pihak Polsek Umbulharjo, Yogyakarta. Tetapi karena tidak ada tindak lanjut yang jelas dari pihak kepolisian, maka para mahasiswa meminta bantuan dari LBH Yogyakarta dan masih terganjal pada pengumpulan bukti kesaksian. Banyak mahasiswa yang menolak untuk memberi kesaksian karena merasa takut akan diberi sanksi oleh pihak kampus, sedangkan warga sekitar pun enggan memberi kesaksian. “Padahal kalau polisi mau serius, seharusnya bisa cepat, karena pada saat itu ada salah satu polisi yang berada di lokasi, bahkan melerai pada saat kami dipukuli,” ujar Maksum Fahrudi mahasiswa Fakultas Ekonomi UTY angkatan 2010 yang terkena sanksi pencabutan status kemahasiswaan.

Respon dari pemerintah setempat baru datang setelah Aliansi Pejuang Demokrasi UTY (APDU) yang juga didukung oleh berbagai elemen gerakan mahasiswa di Yogyakarta mengadakan aksi di DPRD Yogyakarta. Ketua Komisi D DPRD Yogyakarta yang membidangi pendidikan bersedia menerima para mahasiswa dan memfasilitasi penyelesaian masalah yang mereka hadapi. Tak kurang tiga kali panggilan diberikan kepada pihak Rektorat UTY, namun tidak digubris. Pihak rektorat malah memilih untuk bertemu secara pribadi dengan DPRD tanpa kehadiran pihak mahasiswa.

Anehnya, pihak rektorat UTY menyatakan bahwa tidak ada larangan untuk mendirikan BEM di kampus tersebut dan sanksi diberikan karena para mahasiswa telah membuat keonaran dan melanggar perjanjian. “Mereka (pihak rektorat UTY – red)  menyatakan bahwa permasalahan DO ini tidak ada sangkut pautnya dengan permasalahan BEM, padahal kalau tidak ada sangkut pautnya dengan BEM, tidak mungkinlah kami sampai aksi. Dan tuntutannya dari aksi tersebut adalah berikan legalitas BEM,” ujar Maksum yang akrab dipanggil Rudi ini. “Tuntutan untuk mendirikan BEM sudah disetujui oleh rektorat, walau tidak tahu bagaimana nanti prakteknya, tapi hampir seluruh kawan mengalami trauma dan rasa takut akan dikeluarkan dari kampus. Banyak yang menjadi takut untuk melanjutkan BEM,” lanjutnya lagi.

Kasus ini semakin tidak jelas juntrungannya setelah DPRD melemparkan kasus ini agar dimediasi oleh KOPERTIS yang malah mengarahkan para mahasiswa untuk menghadap langsung ke birokrat kampus, alih-alih berperan aktif menyelesaikan kasus ini. “Dari awal APDU datang ke DPRD karena KOPERTIS tidak menanggapi kasus ini. Sekarang KOPERTIS yang ditunjuk oleh DPRD untuk memediasi permasalahan antara mahasiswa dan rektorat malah melepas mahasiswa untuk bertemu rektorat yang jelas-jelas sudah memberangus demokrasi di kampus UTY, bahkan membuat kawan-kawan di UTY takut untuk menindaklanjuti pembangunan BEM meski pun sudah dinyatakan boleh oleh UTY pada saat pertemuan mereka dengan DPRD,” ujar Daniel Halim, Ketua RESISTA, organisasi mahasiswa yang tergabung dalam Jaringan Gerakan Mahasiswa Kerakyatan (JGMK) dan aktif di dalam APDU

Hingga kabar ini diturunkan, para mahasiswa yang tergabung di dalam APDU masih terus menjalankan perjuangan untuk mendapatkan keadilan dan menegakkan demokrasi di UTY.

“Bila di pabrik-pabrik umum terjadi pemberangusan serikat buruh atau union busting, maka yang telah terjadi di UTY adalah pemberangusan organisasi mahasiswa, hak demokrasi mahasiswa untuk berorganisasi telah diinjak-injak oleh birokrat kampus. Ke depan, mahasiswa Indonesia membutuhkan segera kekuatan persatuan mahasiswa yang progresif dan berperspektif kerakyatan untuk melawan segala tindakan anti-demokrasi dan liberalisme di bidang pendidikan mau pun pada bidang lainnya,” tegas Daniel yang akrab disapa Pay ini. (Jov)

2 komentar:

Puteri Hujan mengatakan...

yang demo itu, di provokatori mahasiswa angkatan lama yg baru masuk kembali dan tidak tahu apa-apa ttg kampus. masalahnya juga bukan BEM saja, tp pemindahan kampus (ke kampus 3).

intinya, yg demo itu bukan yg mengerti benar ttg kampus. mereka demo krn ngga mengerti saking keseringan ngga masuk. saya tau krn yg jd provokator tertulis di angkatan saya, tp bahkan saya ngga pernah tahu siapa dia, kecuali sehabis kejadian ini.

andreas mengatakan...

sy sangat prihatin dengan kasus tersebut..tetapi sy jg bangga bg tman2 yang tlah berjuang tuk mndirikan BEM..mungkin klo usulan saya : sebaiknya kita bs mngukur diri, sbatas mana kekuatan kita tuk mlakukan manuver politik(aksi),,stau saya, rektorat UTY tu mmang mmpunyai backing yang kuat..cara yang ak efektif,,kita harus melakukan diplomasi yang handal dgn pjabat2 kampus,,kita hrs mngumpulkan kekuatan trlebih dhulu..baru kita melakukan manuver..
cari tmn2 mahasiswa yg lmyan dkt dgn pejabat kampus(pihak yayasan)..karena disanalah otak nya..

Posting Komentar