Negara Gagal Melindungi Perempuan dan Men-sejahtera-kan Rakyat!

Jumat, 09 Maret 2012

ALIANSI GERAKAN RAKYAT ANTI PENINDASAN
(AGAR Anti Penindasan)



Salam  Kesetaraan.!
Salam Pembebasan Perempuan.!

Dengan momentum Interntional Woman Day (IWD)  pada tanggal 8 Maret kaum perempuan di berbagai belahan dunia memperingati Hari Perempuan Internasional. Sejarah Hari Perempuan Internasional cukup berliku, karena sangat berat dan panjangnya perjuangan kaum  perempuan meraih persamaan dalam segala bidang dengan kaum laki-laki. Sampai kini peran perempuan masih dipandang sebelah mata. Padahal, jika dikaji lebih jauh, banyak peristiwa penting berawal dari gerakan perempuan yang membawa perubahan dunia, yang dimulai dari peretemuan perempuan sosialis Internasional di Kopenhagen tahun 1910 yang menjadi tonggak sejarah hari perempuan internasional, juga seperti yang terjadi pada tahun 1911 di Austria, Denmark, Jerman dan Swiss lebih dari sejuta perempuan turun kejalan menuntut hak ikut serta dalam pemilu, penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan dan pada tahun 1917 di Rusia dua juta tentara terbunuh dalam peperangan, perempuan Rusia turun ke jalan menyerukan “roti dan perdamain” dan pada Tahun 1975, PBB melalui resolusinya kemudian mensponsori Hari Perempuan Sedunia yang ditetapkan 8 Maret

Kritisnya kondisi perempuan di Indonesia saat ini sama artinya dengan ambruknya bangunan masyarakat dan negara. Siapa yang harus bertanggungjawab? Tentulah Rezim SBY yang saat ini berkuasa, dan membuktikan gagal mengurus krisis ekonomi-politik di negeri. Gagal pula mengurus kesejahteraan, melindungi dan mengakui perempuan sebagai tiang negara dan bangsa malah menyeret jutaan perempuan Indonesia ke dalam arus gelombang kebijakan pemulihan krisis ekonomi pasar kapitalis. Maka, dalam kesempatan peringatan Hari perempuan Internasional kali ini, Perempuan Indonesia Menggugat Rezim SBY yang menjadi budak Neoliberalisme.

Di indonesia, penindasan terhadap perempuan  dalam  budaya patriarki dibawah naungan sistem kapitalisme semakin menyudutkan hak-hak rakyat terutama kaum perempuan, dan dengan peraturan yang masih sangat diskriminatif, mengakarnya budaya patriarki yang dibangun oleh rezim neoliberal SBY-BUDIONO salah satu bukti adalah pengesahan atas UU pornografi dan pornoaksi. Negara tidak mampu memberi jaminan perlindungan bagi perempuan sehingga dari tahun ke tahun kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat, bahkan di tahun 2011, Komnas Perempuan menerima sekitar 200.000 pengaduan terkait kekerasan yang dialami oleh perempuan Indonesia. Di sektor pekerja perempuan (buruh perempuan dan PRT) mengalami diskriminasi atas upah, dimana upah perempuan berbeda dengan upah kaum laki-laki dan pekerja perempuan biasanya jauh lebih rentan terkena PHK, pelecehan dan kekerasan seksual terhadap kaum perempuan masih marak terjadi dan negara tidak mau tahu dan malah membiarkan begitu saja tanpa ada perlindungan secara hukum. Negara juga tidak memberi jaminan dan perlindungan yang memadai bagi keselamatan dan kesehatan reproduksi bagi kaum perempuan, yang salah satunya ditandai dengan masih tingginya angka kematian ibu dan bayi dalam proses persalinan yang berkisar 30% - 40 % dalam setiap 100.000 kelahiran.

Rezim neoliberal dengan segala rencana kebijakannya dalam rangka pemulihan krisis kapitalisme global, seperti pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan menaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) pada tanggal 1 April 2012 nanti merupakan bukti bahwa pemerintahan hari ini tidak lain adalah perpanjangan tangan kapitalisme internasional yang berperilaku sebagai rezim komparador. Banyaknya anggaran negara yang digunakan untuk kenaikan gaji para pejabat dan penyelenggara negara maupun mega proyek pembangunan infrastruktur dalam rangka melancarkan arus modal, tidak pernah dianggap beban bagi APBN. Ironisnya subsidi bagi rakyat miskin selalu dianggap beban bagi negara ini dan olehnya bagi penguasa borjuis, subsidi itu layat dicabut. Tentu saja salah satu akibatya adalah perempuan harus turut menanggung biaya hidup keluarganya dan mencari pekerjaan tambahan seperti menjadi buruh, pekerja rumah tangga, dan bahkan menjadi pekerja seks dan pekerjaan-pekerjaan tambahan lainnya. Dengan demikian di era yang katanya modern ini, perempuan harus menghadapi beban ganda penindasan sekaligus, yaitu di wilayah domestik dan sekaligus di wilayah publik. Krisis kapitalisme global berdampak pada sebagian besar negara-negara dunia ketiga termasuk Indonesia, dengan naiknya harga minyak dunia dan selalu saja beban pemulihan krisis ekonomi pasar itu diletakkan di pundak rakyat miskin. Dirjen Minyak dan Gas Kementerian ESDM menyatakan, bahwa 70% sumur migas di Indonesia dikuasai oleh perusahaan minyak dan gas asing hal ini tidak terlepas dari kebijakan liberalisasi Migas yang dibangun di atas fondasi kebijakan deregulasi melalui UU Migas, dan ini akan berdampak pada kaum perempuan dan rakyat miskin secara keseluruhan. Menurut PBB bahwa sekitar 1,3 milyar warga miskin dunia, 70% adalah perempuan.

Tentu saja penindasan terhadap perempuan tidaklah dimaknai bahwa perempuan sendirilah yang harus berjuang menghapus penindasan atasnya, karena persoalan perempuan adalah bagian dari persoalan massa rakyat secara keseluruhan, massa rakyat yang dimiskinkan oleh segelintir kaum pemburu dan penimpun harta. Perjuangan pembebasan perempuan dari ketertindasan harus pula dimaknai sebagai bagian tak terpisahkan dari perjuangan pembebasan massa rakyat tertindas secara keseluruhan. Meningkatkan gelombang perlawanan massa rakyat atas rezim komparador SBY-Boedi saat ini tentu saja memicu munculnya para penumpang gelap dalam gerakan, apalagi faksionalisasi di tingkat politik borjuis semakin menajam dengan munculnya isu penggulingan rezim yang dikomandoi oleh faksi politik militer. Akan tetapi, seperti pengalaman sejarah terdahulu bahwa faksi politik borjuis serta militer pun tidak pernah memberikan solusi yang efektif dan efisien bagi problem-problem mendasar dan mendesak dari massa rakyat tertindas. Mereka hanya memanfaatkan naiknya gelombang perlawanan rakyat untuk mencapai kepentingan kekuasaan. Oleh karenanya Aliansi Gerakan Rakyat Anti Penindasan (AGAR Anti Penindasan) menyerukan kepada seluruh gerakan massa rakyat yang sedang berlawan agar tetap solid menjaga independensi dari kepentingan segelintir elit politik borjuis militer dan memilih jalan perjuangan politik massa yang mandiri.

Dengan semua fakta ketertindasan perempuan dan rakyat keseluruhan di atas, maka dari itu Aliansi Gerakan Rakyat Anti Penindasan (AGAR-Anti Penindasan) menyatakan sikap:
  1. Lawan segala bentuk pelecehan dan kekerasan seksual perempuan
  2. Tolak politik upah murah
  3. Negara harus menjamin keselamatan dan kesehatan reproduksi perempuan 
  4. Berikan perlindungan pelaksanaan hak cuti haid dan hamil pada buruh perempuan
  5. Sediakan tempat penitipan anak yang berkualitas
  6. Tolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Tarif Dasar Listrik (TDL)
  7. Cabut Undang-undang dan Perda Syariah yang diskriminatif
  8. Pengadaan kurikulum yang berbasis feminis dan demokratis
  9. Tolak militerisme
  10. Kuota 50% perempuan di sektor publik

Makassar 8 Maret 2012
Aliansi Gerakan Rakyat Anti Penindasan
(AGAR Anti penindasan)

Perempauan Mahardika, SEHATI, HMJ Sosiologi UNM, KPO-PRP Makassar, PPRM Makassar, FMD-JGMK Makassar, PEMBEBASAN, MALCOM, FGPKB, GIPA, FPBFT, BEM FAI UMI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar