Berikan THR bagi Buruh!

Minggu, 30 Oktober 2011

Gejolak dan protes kaum buruh dipastikan akan meningkat menjelang hari raya jika hak-hak ekonomi buruh tidak dipenuhi. Hak-hak ekonomi kaum buruh tersebut dikenal sebagai THR atau tunjangan hari raya keagamaan. THR keagamaan diatur dalam Pemen-4/Men/1994, yang secara eksplisit mewajibkan perusahaan untuk membayar THR bagi buruh yang minimal telah bekerja selama tiga bulan.

Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnaker) telah mewanti-wanti agar semua pengusaha dan perusahaan memberikan THR bagi buruh sesuai peraturan dan diberikan tepat pada waktunya. THR yang diberikan pun harus sesuai dengan masa kerja dan kesepakatan kerja antara pengusaha dan pekerja.

Posko pengaduan THR didirikan di berbagai kantor dinas tenaga kerja dan transmigrasi, untuk menampung aduan tentang keterlambatan, penundaan dan ditiadakannya THR bagi buruh (pekerja). Kalangan serikat buruh dan LSM juga menegaskan agar THR diberikan sebelum hari raya.

THR bagi buruh selama ini sering tidak diberikan oleh perusahaan dengan berbagai alasan terutama alasan kemampuan keuangan perusahaan, seperti alasan krisis ekonomi global yang berimbas pada krisis ekonomi lokal/nasional yang membuat neraca keuangan perusahaan tidak sehat.

Neraca keuangan perusahaan yang tidak sehat akibat pungli dan biaya ekonomi tinggi birokrasi diklaim membuat anggaran untuk kesejahteraan buruh menjadi berkurang dan sering ditiadakan. THR tidak diberikan dengan alasan tidak ada dana lebih untuk memberikan kesejahteraan bagi pekerja.

Kemalasan pengusaha (perusahaan) dalam memberikan THR bagi buruh/pekerja menciptakan "bara konflik" antara beberapa elemen, di antaranya pengusaha dan pemerintah dalam blok status quo, berhadapan dengan pekerja bersama serikat buruh (pekerja)-nya.

Bara konflik tersebut membuat hubungan harmoni antara pekerja dan pengusaha dan pemerintah menjadi "retak". Keretakan hubungan yang akhirnya berimbas pada menurunnya produktifitas kerja para buruh (pekerja). menurunnya produktifitas pekerja berkonsekuensi kepada menurunnya dinamika perekonomian nasional.

Menurunnya produktifitas ekonomi nasional, membuat posisi hubungan buruh dan pengusaha menjadi semakin tidak harmoni dan terjebak dalam konflik yang permanen. Hal tersebut membuat dunia industri akan mengalami kemunduran dinamika kemajuan dan laba produktifnya.

Rendahnya kesejahteraan buruh termasuk tidak diberikannya hak dasar dan tunjangannya – termasuk THR – membuat hadirnya psikologi resistensi bagi mereka dalam hubungan industrial yang timpang dan tidak berkeadilan. Perjuangan buruh menuntut THR dan tunjangan yang lain adalah keniscayaan untuk membuat buruh memiliki posisi tawar di hadapan kekuasaan modal dan kekuasaan politik.

Tanggung jawab negara

THR bagi kaum buruh (pekerja) harus diberikan sekarang juga sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial negara dan pengusaha akan kehidupan kaum buruh yang belum sejahtera dan masih timpang.Untuk memberikan THR bagi buruh maka perlu desakan kuat dari berbagai kalangan agar pengusaha/perusahaan serius memenuhi kewajibannya.

Di Indonesia banyak buruh (pekerja) yang bekerja di sektor industri rumahan dan sektor usaha mikro, dan kebanyakan upah mereka masih di bawah standar KHL (kebutuhan hidup layak), bahkan masih banyak yang diberikan di bawah UMK. Di Kabupaten Magetan misalnya, banyak buruh (pekerja) yang bekerja tanpa kejelasan kontrak kerja. Namun demikian mereka tetap berhak mendapatkan THR sesuai aturan yang berlaku.

THR bagi buruh Indonesia penting untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan agar buruh bisa memenuhi kebutuhan terkait dengan perayaan hari raya. Hal ini lantaran kebutuhan pokok yang biasanya meningkat jelang hari raya, dan dengan tambahan penghasilan (THR), mereka tetap bisa bergembira di hari yang fitri.

Imam Yudhianto Soetopo
Koordinator Forum Aktivis Muda Indonesia (FAMI) Magetan, Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar