Memenangkan Kaum Tani Untuk Berjuang Sampai Akhir!

Jumat, 13 Januari 2012

Kamis, 12 Januari 2012, barisan aksi tani bersama elemen barisan lain (buruh, nelayan, kaum miskin kota, perempuan, dan mahasiswa pemuda), melakukan serangannya kedepan instansi-instansi pemerintahan pro imperialis di Jakarta. Tuntutan utama yang diusung masih sama dengan yang puluhan tahun lalu dikumandangkan oleh perjuangan kaum tani, yaitu Reformasi Agararia (yang) sejati. Namun kali ini, persoalan reformasi agraria menjadi lebih mendesak, dikarenakan kedaulatan kaum tani atas tanah dan lingkungan betul-betul semakin diporak-pondakan lewat rentetan kasus-kasus terbaru dari Tiaka, Mesuji, sampai Bima. Selain membawa isu/tuntutan umum tentang reformasi agraria, dikeluarkan juga tuntutan-tuntutan khusus berupa pencabutan SK menteri yang memicu konflik-konflik agraria, pembubaran perhutani, mengaudit HGU dan izin usaha pertambangan, serta desakan untuk menyusun beberapa UU yang dianggap perlu dalam melindungi hak petani, nelayan, dan masyarakat adat.  

Tak seperti biasanya, aksi yang didominasi oleh massa kaum tani ini terlihat lebih bergelora. Untuk pertama kali aksi dipusatkan di depan gedung MA, lalu berlanjut ke depan Istana negara, dan diakhiri di depan gedung DPR/MPR. Massa aksi yang tergabung dalam sekretariat bersama pemulihan hak rakyat ini berjumlah tidak kurang dari 5000 orang, dan sebagian besarnya adalah kaum tani yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Serikat Petani Pasundan (SPP) dan Serikat Petani Indonesia (SPI) yang datang dari Jawa barat dan Banten. Sejak bergerak pukul 09.00 dari Masjid Istiqlal sampai pada akhirnya ke DPR, massa telah melumpuhkan beberapa titik jalan strategis di Jakarta. Selain itu diketahui juga bahwa aksi tersebut juga berbarengan dengan aksi yang serupa di beberapa daerah seperti Lampung, Medan, sebagian Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Bali, dan Sulawesi.

Di depan istana negara, massa sempat menggoyang-goyang kawat berduri yang membatasi badan jalan dengan kawasan istana negara. Beberapa orang bahkan sempat mengekspresikan kemarahannya dengan melemparkan sendal kedalam kawasan istana. Di depan DPR/MPR, massa lebih terlihat perkasa lagi dengan memblokir Jalan Gatot Subroto dan menjebol pagar besi samping gedung. Organisasi-organisasi buruh seperti KASBI, SBTPI, GSBI, FPBJ, FSPOI yang juga tergabung dalam Sekber Buruh pun ikut meradikalisasi massa dengan mempelopori pemblokiran jalan di depan DPR, serta mendinamisir massa aksi dengan lagu-lagu perjuangan yang umumnya memang belum diketahui oleh kaum tani.

Namun demikian, dalam catatan kami, masih tetap terdapat kelemahan dalam aksi tersebut, yang sayangnya mengulangi kelemahan-kelemahan dalam aksi sebelumnya yang didominasi oleh kaum tani. Yang pertama adalah persoalan konsep aksi yang mempengaruhi beberapa isu/tuntutan/kampanye aksi. Aksi massa yang sedemikian besar seharusnya merupakan sarana bagi rakyat untuk berdaulat dan meningkatkan kapasitas politiknya untuk memaksa (bukan mengemis) sebuah kebijakan yang akan mempermudah perjuangan pembebasan tanah. Ini adalah konsekuensi dari sudah sekian panjangnya kasus perampasan tanah kaum tani terjadi lewat berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah dan juga DPR. Namun hal itu sedikit tertutupi dengan dibiarkannya para elite politik DPR (Budiman Sudjatmiko dan Akbar Faisal) mendapatkan panggung untuk menjanjikan satu pansus penyelesaian konflik agraria. Isu pun seakan digeser/dimanipulasi menjadi sekedar pembentukan pansus dan menggulung isu-isu kongkret yang telah disepakati. Untungnya sebagian massa yang didominasi oleh buruh dan mahasiswa meneriaki elite politik yang naik mobil komando tersebut dan menyuruhnya untuk turun.

Selain itu, hal kedua yang juga meresahkan adalah persoalan struktur/perangkat aksi yang sangat lemah dalam mengawal aksi. Tidak terdapat suatu rancangan acara yang tersusun dan terkontrol dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan diperbolehkannya sebagian perwakilan massa untuk menerobos naik mobil komando tanpa sebuah panggilan/kontrol  dari kordinator lapangan. Ditambah lagi tak semua organisasi yang terlibat dalam sekber pemulihan hak rakyat yang mendapatkan kesempatan untuk berorasi menyampaikan pandangannya. KPO PRP adalah salah satu organisasi yang terlibat dalam sekber pemulihan hak rakyat namun tidak mendapatkan kesempatan itu.

Atas ketidaksiapan struktur aksi tersebut, pimpinan aksi jadi terlihat kebingungan saat massa sudah menjebol pagar samping DPR. Akibat lain dari ketidaksiapan tersebut, pimpinan aksi juga berkecenderungan untuk memarahi massa aksi yang sudah mulai radikal, yang sayangnya, juga dilakukan dengan cara yang memecah kesatuan aksi, yaitu dengan membedakan kepentingan massa kaum tani dengan massa buruh dan pemuda/mahasiswa dalam aksi tersebut. Lalu pertanyaannya, apakah Reformasi Agraria adalah hanya merupakan kepentingan kaum tani? Bagi kami, jelas tidak. Reformasi agraria (bukan sekedar tanah) bagi kami akan membantu percepatan industrialisasi yang mana akan memperbanyak dan memperkuat posisi kaum buruh dalam pabrik-pabrik di kota (bahkan pengikisan jurang antara kota dan desa), juga membuka lapangan pekerjaan bagi pemuda. Singkatnya adalah peningkatan kekuatan produktif masyarakat Indonesia hari ini.

Namun sekali lagi, bagi kami, reformasi agraria dibawah kontrol agen Imperialis-neoliberal adalah omong kosong dan tak berguna bagi semua pencapaian itu. Sehingga sepatutnya, penghancuran/penggulingan kekuasaan pro Imperialis-neoliberal itulah yang merupakan satu titik temu strategis dari kepentingan seluruh rakyat atas reformasi agraria. Bukan pansus, bukan UU, atau panitia jenis apapun yang merupakan strategi pokok kaum tani, melainkan pendudukan dan pengambil-alihan seluruh lahan-lahan yang dikuasai pemodal dengan perlawanan yang maksimal oleh organisasi tani.   

Sebenarnya beberapa orasi dari KASBI dan SBTPI sudah mengajak kepada kaum tani untuk melanjutkan aksi beberapa hari lagi sampai beberapa tuntutan kongkret dan mendesak dipenuhi. Kelompok ibu-ibu yang berasal dari kelompok nelayan Banten pun mengeluhkan pimpinan aksi yang bagi mereka masih berjuang setengah-setengah karena menyuruh massa (khususnya perempuan) untuk mundur disaat mereka menginginkan untuk maju terus saat penyemprotan water canon oleh aparat.

Disinilah letak pentingnya organisasi kaum tani dalam memimpin perjuangan tani. Bukan menghambat, tapi meluruskan. Bukan memarahi, tapi mengajarkan dengan persiapan-persiapan (pendidikan, latihan, dll) yang maksimal untuk hasil yang maksimal. Sehingga, kaum tani beserta pimpinan-pimpinan organisasinya kedepan mulai membiasakan diri untuk menegakkan perjuangan agraria sampai ke titik akhir: kemenangan kaum tani, dan kesejahteraan seluruh rakyat.

Selanjutnya massa sempat diganggu hujan yang turun dengan sangat deras pada pukul 16.30 di depan gedung DPR. Sebagian besar massa tani tunggang langgang menyelamatkan diri. Namun sebagian lagi yang jumlahnya lebih sedikit memilih bertahan dengan meneruskan orasi dan lagu-lagu perjuangan. Massa aksi akhirnya bubar pada pukul 17.40 setelah mendapatkan beberapa janji (yang sudah pasti tidak dijalankan) dari DPR. (kibar)  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar