Kembalikan Hak Tanah Rakyat, Cabut SK Bupati Bima No. 188/45/357/004/2010

Rabu, 18 Januari 2012

Jumat 13 Januari 2012, pulahan orang yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Tambang Yogyakarta melakukan aksi teaterikal di Bunderan Universitas Gadjah Mada. Aksi ini merupakan keberlanjutan aksi-aksi sebelumnya yang menuntut agar SK Bupati Bima Nomor 188/45/357/004/2010 segera dicabut dan tuntutan tuk mengembalikan tanah rakyat dirampas oleh penguasa. Organissi-organisasi yang tergabung dalam FRAT memandang bahwa sumber pokok persoalan dimana terjadi perampasan tanah dan penghidupan rakyat di Bima adalah SK. Nomor 188 karena Surat Keputusan ini melegalkan adanya penambangan di Bima yang dilakukan oleh kapitalisme internasional (PT. Sumber Mineral Nusantara merupakan perusahaan Asing dari Australia).

Tragedy Bima berdarah dimana terjadi represifitas aparat kepolisian hingga menewaskan lebih dari 2 orang rakyat Bima dan puluhan korban luka-luka, imbas dari penolakan terhadap Surat Keputusan Bupati Nomor 188 yang memberikan izin penambangan. Bupati Bima yang juga merupakan “darah biru” (keturunan Kraton) tidak pernah peduli terhadap tuntutan rakyat. Berkali-kali rakyat Bima melakukan protes terhadap kebijakan tersebut namun tidak pernah dipedulikan oleh pemerintah daerah. Sampai hari ini pun, Pmerintah Daerah Bima terutama Bupati Fery Zulkarnaen tidak pernah menggubris tuntutan rakyat agar Surat Keputusan tersebut di cabut.

Sikap keras Bupati Bima yang tidak mau mencabut surat keputusan tidak membuat perlawanan rakyat Bima surut. Perjuangan yang dilakukan oleh rakyat Bima dan solidaritas rakyat di beberapa daerah termasuk di Yogyakarta sampai hari ini pun masih bergelora. Front Rakyat Anti Tambang Yogyakarta yang terdiri dari organisasi demokratik tak henti-hentinya melakukan aksi massa menuntut pencabutan Surat Keputusan Nomor 188 dan segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Bima  termasuk menuntut pertanggung jawaban SBY-Boediono, Kapolri, Gubernur dan Kapolda NTB, Bupati dan Polres Bima.

Aksi mimbar bebas yang dilakukan FRAT Yogyakarta merupakan wujud konsistensi dalam melakukan perlawanan terhadap Rezim Neolib SBY-Boediono termasuk pemerintah daerah. Rezim yang sejatinya perpanjangan modal internasional (Neoliberalisme) tak akan henti-hentinya melakukan pembantaian terhadap rakyat. Kasus yang terjadi di Bima, Mesuji, Meranti, Papua dan di tempat-tempat lainnya adalah gambaran singkat bagaimana rezim ini melakukan pembunuhan terhadap rakyat demi melindungi pemodal. Perwakilan dari KPO PRP dalam orasi politiknya di aksi teaterikal tersebut mengatakan bahwa “rezim Neolib SBY-Boedino akan terus melakukan pembunuhan terhadap rakyat karena salah satu syarat bagi berjalannya modal (kapitalisme) adalah menghancurkan semua kekuatan yang menentangnya meskipun dengan cara pembantaian dan pembunuhan. Pembunuhan rakyat di beberapa daerah seperti Mesuji, Papua, Bima dan lain-lain yang berusaha mempertahankan haknya terhadapa tanah menjadi bukti. Penindasan oleh kapitalisme dengan menggunakan rezim SBY-Boediono sebagai kakai tangan dan polisi-tentara sebagai senjata pembunuh harus dilawan oleh rakyat. Hanya dengan persatuan semua kekuatan rakyat yang akan mampu melawan kapitalisme.” Dalam setiap orasi politiknya, KPO PRP selalu menegaskan pentingnya persatuan rakyat dan membangun kekuatan politik nasional sebagai alat perjuangan bersama. Perjuangan tidak hanya didasari pada perjuangan yang ekonomis (sektoral dan normative) tetapi perjuangan politik dimana kekuasaan Negara harus direbut oleh kekuatan tertindas.

Front Rakyat Anti Tambang Yogyakarta terdiri dari KPO PRP, KEPMA BIMA, SMI, RESISTA-JGMK, PRD, PEMBEBASAN, LMND, FAM-J, PPI, IKPM DOMPU, IKPM KEPRI, ASRAMA NTB, PMII, IMPSY, PEREMPUAN MAHARDHIKA, LM NASDEM, LPN, SABUK, IKS, FKMK, IKPM-I, HMI MPO, HMI DIPO. (rewako)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar