JGMK : Kebebasan Akademik Adalah Hak Setiap Pelajar!

Rabu, 24 Agustus 2011

(Resista Yogyakarta, Gerakan Mahasiswa Pro Demokrasi Medan (Gema Prodem), Konsentrasi Mahasiswa Progresif Samarinda (Koma Progresif), Barisan Pemuda dan Mahasiswa Sumbawa (BPMP), Sentral Gerakan Mahasiswa Progresif Polman (Sergap), Front Mahasiswa Demokratik Makassar (FMD)

Rebut Kebebasan Akademik!
Tegakkan Demokratisasi Kampus!


Kampus yang seharusnya menjadi wadah mencetak mahasiswa/i intelektual berkualitas serta berkarakter kerakyatan adalah dambaan bagi semua orang, dimana segala macam aktifitas yang dibangun oleh Civitas Akademika mampu menunjang kemampuan setiap peserta didiknya bukan hanya memahami tentang teori yang di ajarkan di bangku perkuliahan namun juga diajak untuk mempraktekanya di lapangan agar mampu diterapkan dalam membantu mengembangkan serta menciptakan inovasi yang berguna dalam memajukan peradaban suatu bangsa.

Dan tentunya kemampuan mahasiswa secara akademik juga harus di barengi dengan kegiatan kemahasiswaan yang ilmiah,demokratis serta berkarakter kerakyatan demi mewujudkan iklim dunia kemahasiswaan yang dinamis. Di tengah tengah semakin masifnya arus liberalisasi dan komersialisasi dunia pendidikan yang termanifestasikan dalam berbagai paket kebijakan pemerintah mulai dari UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 serta RUU Perguruan Tinggi sebagai rancangan UU pengganti UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang mana jika RUU Perguruan Tinggi ini disahkan selain membuat biaya pendidikan menjadi mahal karena pemerintah melepaskan tanggung jawabnya pada mekanisme pasar bebas dan juga menyimpan bahaya laten salah satunya adalah pemberangusan organisasi kemahasiswaan khususnya organisasi gerakan mahasiswa.

Pasalnya, orientasi pendidikan bukan lagi menciptakan intelektual intelektual organik yang siap untuk mengabdi bagi kepentingan rakyat namun lebih diarakan untuk kebutuhan kapitalisme dalam upaya menciptakan robot robot terdidik murah siap pakai. Semangat individualisme yang terus ditanamkan di kampus menghancurkan semangat solidaritas dan kepekaan terhadap realitas sosial yang ada. Kampus kampus hanya di isi oleh mereka yang mampu secara finansial sehingga bagi mereka yang miskin kesempatan memperoleh pendidikan gratis,berkualitas serta demokratis hanya dalam angan angan, terlebih lagi bagi mereka yang berkepentingan membangun gerakan mahasiswa yang berperspektif kerakyatan.

Gerakan mahasiswa terlebih yang berkarakter kerakyatan senantiasa di berangus karena bertentangan dengan kepentingan rezim neolib SBY-Boediono dalam upaya liberalisasi semua sektor yang mengatur hajat hidup orang banyak yang salah satunya yaitu sektor Pendidikan. Kondisi inilah yang terjadi dalam dunia pendidikan kita, di tengah tengah mahalnya biaya pendidikan, sulitnya memperoleh pendidikan ilmiah, iklim akademis yang makin lama makin tidak demokratis di tambah dengan upaya pemerintah melalui aparatus aparatus negara dan kebijakanya yang senantiasa menghancurkan gerakan gerakan mahasiswa yang fokus memperjuangkan hak normatifnya.

Tindakan pemberangusan seperti ini yang telah dilakukan pihak birokrasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) terhadap kawan kawan RESISTA dalam pendirian posko/stand sosialisasi kepada mahasiswa baru di UAJY. Dengan alasan bahwa RESISTA adalah organisasi mahasiswa eksternal dan inisiasi Penyambutan mahasiswa baru 2011 yang sudah di siapkan matang matang oleh mahasiswa UAJY dimana ini menjadi agenda tahunan kemahasiswaan kepanitiaanya diambil alih oleh birokrasi kampus dengan alasan klasik bahwa agenda penyambutan mahasiswa ini di jadikan ajang ospek dan ajang melakukan kegiatan yang semena mena pada mahasiswa baru.

Ini makin jelas menampakan bahwa cara pandang pendidik kita khususnya birokrasi kampus UAJY dalam memandang organisasi mahasiswa sangatlah sempit seolah meniadakan keberadaan organisasi mahasiswa lain selain organisasi mahasiswa intra kampus, seolah kita kembali di bawa pada masa orde baru yang menerapkan kebijakan NKK/BKK yang membawa dunia kampus ke ajang depolitisasi,selanjutnya juga tampak arogansi dari petinggi kampus UAJY mulai dari tidak di berikanya ruang bagi RESISTA untuk membuka stand sosialisasi dengan berbagai alasan dan praktek praktek birokratisme yang mencerminkan betapa ruwetnya birokrasi kita serta pengambilan keputusan sepihak dalam pelaksanaan penyambutan mahasiswa baru, hal hal tersebut merupakan bentuk konkrit bahwa birokrasi kampus di Indonesia khususnya UAJY sangat arogan dan tidak demokratis, khusunya dalam upaya membangun budaya kemahasiswaan.

Maka oleh karena itu kami dari Jaringan Gerakan Mahasiswa Kerakyatan (JGMK) dengan ini menyatakan sikap :
  1. Kebebasan berorganisasi adalah hak setiap mahasiswa di kampus dan segala bentuk tindakan pemberangusan organisasi adalah pelanggaran Hak Azazi Manusia
  2. Hapus segala bentuk diskriminasi dan praktek praktek pemberangusan organisasi mahasiswa di Universitas Atma Jaya Yogyakarta
  3. Menuntut Birokrasi Kampus Universitas Atma Jaya Yogyakarta segera memberikan kebebasan berorganisasi bagi kawan kawan RESISTA dan kawan kawan organisasi lainya.
  4. Wujudkan pendidikan yang Gratis, Demokratis, Ilmiah, dan Berivisi Kerakyatan
Yogyakarta, 20 Agustus 2011

Jaringan Gerakan Mahasiswa Kerakyatan
( JGMK )

Badan Pekerja Nasional

Ketua
Daniel Pay Halim
(085729252134)

Sekretaris Jendral
Nalendro Priambodo
(085250800567)

Carrefour Indonesia Secara Brutal Melakukan Intimidasi dan Pelanggaran HAM Terhadap Pekerja

Kepada Yth :
Presiden Republik Indonesia
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia c.q. Komisi IX
Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia
Kepolisian Republik Indonesia
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
Media Massa Elektronik dan Cetak
Seluruh Masyarakat Indonesia

Dengan hormat,

Sehubungan dengan akan dilakukannya aksi mogok nasional yang akan dilakukan oleh Serikat Pekerja Carrefour Indonesia (SPCI-KASBI) dan karyawan Carrefour pada tanggal 26 hingga 28 Agustus 2011 dan adanya tanggapan dari pihak manajemen Carrefour Indonesia sebagaimana terungkap melalui berbagai media massa tentang keinginan manajemen Carrefour Indonesia untuk melakukan itikad baik dan menyelesaikan masalah secara bipartite, maka ada beberapa hal yang perlu kami jelaskan dan kabarkan mengenai fakta-fakta dan kondisi terakhir yang berkembang :
  1. Bahwa pada kenyataannya hingga hari ini tanggal 20 Agustus 2011 atau 4 hari sejak diberitahukan mengenai aksi mogok nasional oleh SPCI secara patut dan sesuai prosedur, manajemen telah melakukan tindakan represi dan intimidasi dengan mengeluarkan sanksi kepada anggota SPCI yang akan melakukan aksi mogok dengan memasang pita hitam dan merah sebagai simbol persiapan mogok. Tindakan represi dan intimidasi dengan melakukan sanksi secara massal kepada anggota SPCI –KASBI merupakan pembuktian bahwa pernyataan dari perusahaan mengenai itikad baik dan keinginan menyelesaikan masalah secara bipartite adalah kebohongan besar kepada publik.
  2. Sanksi yang dilakukan oleh manajemen ini dilakukan berdasarkan instruksi internal dari HRD Head Office PT. Carrefour Indonesia berupa surat edaran atau lotus note yang dialamatkan pada seluruh Store Manager dan jajarannya untuk memberikan sanksi kepada anggota SPCI-KASBI dengan alasan penggunaan pita yang dilarang dalam Peraturan Perusahaan. Padahal penggunaan simbol dalam menuju aksi mogok nasional adalah hal yang lumrah dan sudah diberitahukan dalam surat pemberitahuan mogok nasional serta justru merupakan bagian dari pemberitahuan kepada publik mengenai aksi mogok yang direncanakan. Penggunaan simbol ini juga sangat lumrah bila kita melihat aksi-aksi mogok yang dilakukan sebelumnya, seperti penggunaan simbol pin dalam kasus mogok karyawan Garuda Indonesia.
  3. Dalam pelaksanaannya, secara massif store manajer melakukan sanksi surat peringatan dan terus berjenjang hingga skorsing kepada hampir lebih dari 500 orang anggota SPCI-KASBI dimana pemberian sanksi ini dilakukan secara brutal dan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai gambaran kasus, pemberian sanksi Surat Peringatan I (SP 1) dilakukan dengan melakukan intimidasi dan pemotretan. Satu jam kemudian pekerja yang sama diberikan SP 2 dan dilanjutkan SP 3 pada hari yang sama. Hari berikutnya pekerja tersebut dijatuhi sanksi skorsing. Jelas praktek yang dilakukan manajemen merupakan tindakan intimidasi dan menginjak-injak ketentuan hukum yang berlaku.
  4. Bahwa pada saat bersamaan, manajemen (Head Office via HRD) mengeluarkan ancaman untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada pengurus DPP SPCI-KASBI yang dilakukan secara terbuka dan via sms. Tindakan ini jelas menyimpangi hak buruh untuk mogok dan larangan kepada pengusaha untuk menghalang-halangi dan melakukan tindakan balasan sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan (UU No. 13/2003) Pasal 144 yang berbunyi sebagai berikut ;
Terhadap mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaiman dimaksud Pasal 140, Pengusaha dilarang (a) Mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja mengganti dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan, atau (b) memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh selama dan sesudah mogok kerja.

Kemudian di Pasal 187 ayat (1) berbunyi : Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 144, dikenakan sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit 10.000.000 (sepuluh juta) dan paling banyak 100.000.000 (seratus juta) rupiah, ayat (2) tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.
  1. Bahwa tindakan manajemen Carrefour Indonesia ini menunjukkan sikap anti serikat dan praktek pemberangusan serikat yang merupakan tindak pidana berdasarkan UU No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh Pasal 28 Junto Pasal 43.
  2. Bahwa tindakan manajemen Carrefour Indonesia menunjukkan praktek perusahaan yang tidak mematuhi peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia dan telah mencoreng nama baik perusahaan itu sendiri.
Berlandaskan pada fakta dan situasi tersebut, maka kami DPP SPCI-KASBI dan Pengurus Pusat Konfederasi KASBI menyatakan sikap:
  1. Bahwa tindakan manajemen dengan melakukan intimidasi dan represi terhadap anggota SPCI-KASBI yang akan melakukan mogok nasional adalah perbuatan yang melanggar hukum dan peraturan perundangan yang berlaku.
  2. Bahwa tindakan tersebut juga merupakan tindakan pidana pemberangusan serikat buruh yang diatur dalam UU No. 21 tahun 2000 tentang Seikat Buruh.
  3. Bahwa tindakan manajemen PT. Carrefour Indonesia patut diduga merupakan tindakan pelanggaran hak asasi manusia secara sistematis.
  4. Bahwa kami menolak seluruh sanksi yang dijatuhkan dan akan menempuh proses hukum mengenai tindakan brutal manajemen PT. Carrefour Indonesia.
  5. Bahwa kami akan tetap dalam satu kesatuan sikap dan tindakan untuk melakukan mogok nasional pada tanggal 26 hingga 28 Agustus 2011 sebelum adanya upaya penyelesaian mengenai tuntutan kami sesuai dengan prosedur dan mekanisme yang berlaku.
Untuk itu kami meminta kepada pihak yang berwenang di Indonesia untuk:
  1. Kepada Presiden Republik Indonesia untuk memerintahkan seluruh jajarannya agar segera menangani dan menghentikan intimidasi dan represi sistematis yang dilakukan oleh manajemen PT. Carrefour Indonesia kepada anggota SPCI-KASBI sebagai implementasi dari perlindungan negara terhadap warga negara dan khususnya kaum buruh Indonesia.
  2. Kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk pengawasan dan pemanggilan kepada Manajemen PT. Carrefour Indonesia atas tindakannya yang anti serikat dan melanggar aturan perburuhan di Indonesia.
  3. Kepada Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk segera memanggil dan memproses manajemen PT. Carrefour Indonesia atas tindakan brutal dan pelanggaran atas ketentuan peraturan perundangan di bidang ketenagakerjaan.
  4. Kepada Kepolisian Republik Indonesia untuk segera melakukan proses penyelidikan dan penyidikan sehubungan dengan dugaan tindak pidana pemberangusan serikat sesuai dengan ketentuan UU No. 21 tahun 2000.
  5. Kepada Komnas HAM untuk segera memanggil Manajemen PT. Carrefour Indonesia atas dugaan pelanggaran hak-hak berserikat yang merupakan Hak Asasi Manusia secara sistematis.
  6. Kepada media massa cetak dan elektronik untuk memberitakan mengenai fakta dan situasi yang sedang berlangsung sebagai implementasi dari prinsip pemberitaan yang berimbang.
  7. Kepada Masyarakat Indonesia, kami memohon maaf atas ketidaknyamanan yang mungkin timbul dari permasalahan yang terjadi di PT. Carrefour Indonesia dan rencana mogok kerja pada tanggal 26 sampai 28 Agustus 2011 serta mengharapkan dukungan dari masyarakat atas sikap kami yang menuntut apa yang menjadi hak kami sebagai kaum buruh Indonesia.
Demikian pers release ini kami buat, agar masyarakat luas dapat mengetahui dan memahami apa yang sesungguhnya terjadi di PT. Carrefour Indonesia.

Jakarta, 20 Agustus 2011

Pengurus Pusat
Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia
(Konfederasi KASBI)

Ketua Umum
Nining Elitos 

Sekretaris Jenderal
Abdul Rahman

Dewan Pimpinan Pusat
Serikat Pekerja Carrefour Indonesia
(SPCI-KASBI)

Ketua Umum
Imam Setiawan

Solidaritas KPO-PRP Karawang untuk Serikat Pekerja Carrefour Indonesia (SPCI) Karawang

Selasa, 23 Agustus 2011

Negara menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat (Pasal 28, Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia)

Dengan Hormat,

Komite Penyelamat Organisasi KPO PRP Karawang adalah bagian dari perjuangan gerakan buruh di Indonesia. Segala bentuk pelarangan aktivitas serikat buruh adalah tindakan melawan konstitusi. Sudah cukup jelas bahwa negara pun memberikan jaminan dan perlindungan terhadap warga negaranya yang mengeluarkan pendapat.

Berdasarkan kronologi yang kami terima, bahwa telah terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh PT. Carrefour Indonesia, yaitu: melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak terhadap Sdr. Pakpin Sinaga (Staf Advokasi DPP SPCI), adanya rentetan surat peringatan ke-1, 2, 3 dan surat skorsing dalam waktu yang sangat cepat (tidak sesuai UU No 13/2003) terkait solidaritas pemakaian pita hitam terhadap Sdr. Pakpin Sinaga, adanya pelanggaran terhadap sistem kerja PKWT, serta adanya pelanggaran terhadap kebebasan berserikat.

Atas peristiwa PHK sepihak terhadap Sdr Pakpin Sinaga, anggota SPCI menyatakan solidaritas dengan pemakaian pita hitam, namun pihak PT. Carrefour Indonesia memberikan ancaman kepada semua anggota SPCI, termasuk anggota dan pengurus SPCI Karawang dengan ancaman akan memberikan sanksi. Tindakan yang dilakukan oleh PT. Carrefour Indonesia merupakan tindakan menghalangi-halangi kebebasan dalam berserikat.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka kami Komite Penyelamat Organisasi KPO PRP Karawang menyatakan dukungan solidaritas untuk kawan-kawan Serikat Pekerja Carrefour Indonesia (SPCI) umumnya dan SPCI Karawang pada khususnya dalam pemakaian pita sebagai bentuk solidaritas serta pelaksanaan mogok nasional yang akan diselenggarakan pada tanggal 26-28 Agustus 2011 dan mengecam tindakan PT. Carrefour Indonesia.

Sehubungan dengan hal tersebut, Komite Penyelamat Organisasi KPO PRP Karawang menyampaikan pernyataan sikap sebagai berikut :
  1. Kepada Kepala Disnaker Karawang agar segera melakukan pemanggilan kepada store manager Carrefour Karawang terhadap upaya pelarangan dalam kebebasan berserikat.
  2. Kepada Pimpinan Perusahaan untuk segera mencabut surat PHK sepihak terhadap sdr. Pakpin Sinaga serta mempekerjakan kembali dan membayar upah secara penuh.
  3. Kepada Pimpinan Perusahaan untuk segera mencabut surat skorsing terhadap anggota dan pengurus SPCI
  4. Hapuskan sistem kerja kontrak dan outsourcing
  5. Beri kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat terhadap anggota dan pengurus SPCI
Demikian pernyataan sikap dan surat dukungan solidaritas dari kami sampaikan. KPO PRP Karawang akan tetap berkomitmen untuk persatuan dan perjuangan buruh di Indonesia melawan penindasan terhadap buruh.

Karawang, 19 Agustus 2011

Komite Penyelamat Organisasi Perhimpunan Rakyat Pekerja
(KPO-PRP) Karawang

Rusmita 
Ketua

Fitriyanti
Sekretaris

Tembusan :
  1. BPN KPO
  2. Head Office
  3. Bupati Karawang
  4. Ketua Komisi D Karawang
  5. SPA FSPEK-KASBI
  6. DPP SPCI

Solidaritas dan Dukungan untuk Pemogokan Nasional Serikat Pekerja Carrefour Indonesia-Konfederasi KASBI

“…Sehari saja kawan, Kalau kita mogok kerja. Dan menyanyi dalam satu barisan. Sehari saja kawan, Kapitalis pasti kelabakan!!” (Wiji Thukul)

Terhitung mulai Jumat, 26 Agustus 2011 pukul 00:00 WIB, seluruh pekerja PT Carrefour Indonesia akan melancarkan pemogokan nasional yang dipimpin oleh Serikat Pekerja Carrefour Indonesia (SPCI)-Konfederasi KASBI. Pemogokan nasional ini buah dari proses dan perjuangan panjang SPCI-Konfederasi KASBI, yang sejak berdirinya hingga kini hadir demi kesejahteraan pekerja di PT Carrefour Indonesia. Secara legal formal bahkan telah disepakati adanya Perjanjian Kerja Bersama (PKB), yang di dalamnya memuat sistem kerja kontrak di PT Carrefour Indonesia.

Dalam proses perjuangan tersebut terhitung berbagai represi sudah dilakukan oleh PT Carrefour Indonesia terhadap SPCI-Konfederasi KASBI. Upaya tersebut dari memanipulasi pemungutan suara terkait penetapan PKB, skorsing, kriminalisasi hingga PHK terhadap aktivis-aktivis SPCI-Konfederasi KASBI. Bahkan PT Carrefour Indonesia telah menciptakan istilah baru untuk menutupi tindakan anti serikatnya yaitu Surat Keputusan Berakhirnya Hubungan Kerja atau SKBHK. Terhitung hingga kini kurang lebih 500 pekerja Carrefour yang berjuang menuntut haknya telah mengalami skorsing ataupun PHK. Semua tindakan represi yang dilakukan oleh PT Carrefour Indonesia telah kita kenal baik dengan sebutan pemberangusan serikat.

Apa yang menjadi tuntutan dari SPCI-Konfederasi KASBI sejatinya berada dalam koridor hak-hak normatif buruh yang diatur dalam undang-undang. Demikian juga Mogok Nasional SPCI-Konfederasi KASBI yang akan dilancarkan pada hari Jumat 26 Agustus 2011 sudah sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Sementara itu tindakan pemberangusan serikat yang dilakukan oleh PT Carrefour Indonesia terhadap SPCI-Konfederasi KASBI telah melanggar hukum-hukum perburuhan.

Kenapa penindasan terhadap kelas buruh masih saja terjadi tidak terlepas tatanan kapitalisme-neoliberal yang dijalankan oleh Rejim SBY-Boediono. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan bukan saja tidak memperdulikan kelas buruh dan rakyat Indonesia namun jelas-jelas menindas.

Namun tidaklah mungkin buruh berjuang sendirian secara khusus karena tingkat pengangguran yang sangat tinggi di Indonesia. Jika buruh menuntut upah atau kesejahteraan secara sendirian maka pemilik modal dapat dengan mudah mengusirnya karena banyak pengangguran yang masih membutuhkan pekerjaan bahkan dengan upah yang rendah sekalipun.

Tingkat kesejahteraan dari kelas buruh ditentukan dari perjuangan kelas antara kelas buruh dengan pemilik modal. Jika individu buruh sama sekali tidak memiliki kekuatan di hadapan pemilik modal maka jelas bahwa buruh harus berjuang secara bersama-sama untuk menuntut kesejahteraan mereka.

Setiap pemogokan akan mengingatkan kelas pemilik modal bahwa adalah kelas buruh dan bukan pemilik modal yang berkuasa. Bahwa adalah kelas buruh yang sejatinya menjalankan roda perekonomian. Setiap pemogokan mengingatkan kelas buruh bahwa posisi mereka bukannya tidak berdaya, bahwa mereka tidak sendirian. Setiap pemogokan juga akan mengingatkan bahwa kekuatan kelas buruh terletak pada persatuannya.

Untuk itu, kami dari Komite Penyelamat Organisasi Perhimpunan Rakyat Pekerja (KPO – PRP), menyatakan:
  1. Mendukung sepenuhnya Mogok Nasional Serikat Pekerja Carrefour Indonesia-Konfederasi KASBI
  2. Penindasan kapitalisme-neoliberal hanya dapat dihancurkan oleh persatuan seluruh kelas buruh. Oleh karena itu, seluruh elemen gerakan buruh dan rakyat Indonesia harus merapatkan barisan dan bergerak bersama.
  3. Perlawanan yang harus dilakukan harus terus menerus mendorong perlawan yang besar dalam bentuk pemogokan nasional, aksi kawasan industri dan aksi multisektor. Dengan berbasiskan pada isu-isu mendasar rakyat. Demikian pula mendorong terjadinya pembangunan kekuatan politik riil yang mampu menghadapi kekuatan pemilik modal yang sudah bangkrut.
Pada akhirnya selama kekuasaan politik masih terus berada di tangan para pemilik modal maka kebijakan akan selalu menindas kelas buruh dan rakyat Indonesia. Hanya dengan Sosialisme, di bawah kekuasaan politik kaum buruh dan rakyat lainnya-lah, kesejahteraan dapat kita raih dengan layak dan seadil-adilnya sesuai dengan cita-cita serta tujuan perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Sosialisme, Jalan Sejati Pembebasan Rakyat Pekerja!
Sosialisme, Solusi Krisis Global Kapitalisme!
Bersatu, Bangun Partai Kelas Pekerja!

Badan Pekerja Nasional
Komite Penyelamat Organisasi Perhimpunan Rakyat Pekerja
(KPO - PRP)

Jakarta, 23 Agustus 2011

Ketua
Mahendra Kusumawardhana (085716280745)

Sekretaris Jenderal
Asep Salmin

Koma Progresip : 66 Tahun Merdeka, Pendidikan Makin Mahal

Kamis, 18 Agustus 2011

Rabu Pagi (17/8/2011), cuaca sedang tidak bersahabat, hujan lebat menguyur bundaran Lembuswana, Samarinda Kalimantan Timur. Tetapi situasi ini tidak mengurungkan niat kawan-kawan Konsentrasi Mahasiswa Progresif (Koma Progresip) untuk “Mengadu Kepada Rakyat Indonesia”, tepat disaat peringatan ke-66 detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah cukup dekat dengan barisan mereka, barulah rakyatpekerja.org mengetahui apa yang mereka adu-kan kepada Rakyat Indonesia, 66 Tahun Merdeka, Pendidikan Makin Mahal!

Bocil, pimpinan aksi ini menyatakan, “kami sudah muak dengan rezim neolib SBY dan antek-anteknya. Sangat terang dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa pen-cerdasan kehidupan bangsa adalah kewajiban mutlak dari penyelenggara negara dan setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan. Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi menjadi ancaman baru dari praktek kebijakan neolib dari rezim SBY sekaligus menambah catatan panjang penghianatan kaum borjuasi terhadap cita-cita kemerdekaan Indonesia. Dan hari ini sengaja kami tidak mendatangi satu pun sulur-sulur dari kekuasaan di kalimantan Timur ini. Kami Sudah tidak percaya! Mendatangi orang tua (baca: rakyat) menjadi lebih penting bagi kami. Mendiskusikan dan merencanakan satu perubahan radikal bersama mereka menjadi pilihan paling ilmiah”.

Dalam aksinya, Konsentrasi Mahasiswa Progresif juga mendesak dihapuskan pungutan dana pengembangan fakultas (DPF) di Universitas Mulawarman. pungutan ini di bebankan pada peserta didik dengan dalih pengembangan dan pembiayaan operasional kampus sementara sampai saat ini selain alokasi APBN yang didapatkan, Universitas ini juga mendapatkan kucuran alokasi APBD dari 14 Kab/Kota di Kalimantan Timur. Tercatat dalam tiga tahun terakhir, dana hibah kepada perguruan tinggi yang disalurkan Pemprov Kaltim pada tahun 2009 sebesar Rp 167.550.000.000, pada 2010 sebesar Rp 132.300.000, dan 2011 sebesar Rp.140.519.845.000 (juni 2011,Kaltim Post)

Kebijakan pungutan dana pengembangan fakultas ini bukannya tanpa penolakan & perlawanan dari mahasiswa maupun dari orang tua bahkan pungutan DPF ini pernah diusut oleh kejaksaan tinggi Kalimantan Timur tetapi pengusutan kasus pelanggaran hukum DPF ini kemudian menguap di tengah jalan dengan begitu saja.

Pada tahun 2011 ini, orang tua dari mahasiswa baru harus rela membayar 300% lebih mahal dari biaya perkuliahan ditahun-tahun sebelumnya. hal ini di karenakan mahasiswa baru di wajibkan untuk membayar dana pengembangan fakultas yang besaranya berkisar antara 1,5 juta-8,5 juta/mahasiswa (setiap fakultas bervariasi) di tambah lagi dengan pungutan dana Pembinaan Akademik (DPA) yang besarnya RP. 403.000/mahasiswa serta dana pemeriksaan kesehatan sebesar Rp. 75.000. Sangat jelas bagi kami bahwa semua pungutan ini adalah manifestasi dari penerapan kebijakan neoliberalisme (baca: komersialisasi) di Universitas Mulawarman.

Oleh karena itu, Konsentrasi Mahasiswa Progresif menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk :
  1. Melakukan segala perlawanan terhadap segala bentuk komersialisasi pendidikan karena bertentangan dengan cita-cita awal pembangunan Indonesia serta menciptakan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin dalam memperoleh pendidikan.
  2. Menolak dengan tegas pengesahan Rancangan Undang-undang Perguruan Tinggi karena pendidikan ada Hak Setiap Warga Negara dan Pemerintah mutlak bertanggung jawab atas pemenuhannya.
  3. Wujudkan pendidikan gratis, ilmiah, berkualitas serta berkarakter kerakyatan.
  4. Nasionalisasi aset-aset vital dibawah kontrol rakyat. Bangun bangsa yang Mandiri dan berdaulat.
  5. Hapus Dana Pengembangan Fakultas di Universitas Mulawarman dan dana-dana siluman lainnya 
Tepat pukul 01.00 Wita, peserta aksipun membubarkan diri, yang kemudian akan merencanakan konsolidasi bersama organisasi gerakan mahasiswa lainnya, untuk merespon isu pendidikan layak bagi Rakyat Indonesia (And).

Demokratisasi Kampus Harus Ditegakkan : Kasus Pemberangusan BEM UTY Yogyakarta

Selasa, 09 Agustus 2011

Sebuah kisah ironis datang dari Yogyakarta, kota pelajar yang sering dianggap sebagai “Kawah Candradimuka” tokoh-tokoh nasional di segala bidang. Sekelompok mahasiswa dan mahasiswi Universitas Teknologi Yogyakarta (UTY) yang mengunakan hak-hak demokrasinya untuk membangun Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) diberi sanksi peringatan keras, skorsing dan dicabut status kemahasiswaannya oleh pihak rektorat.

Kasus ini bermula dari para penolakan pihak rektorat terhadap berdirinya BEM yang baru dibentuk oleh mahasiswa untuk menangani permasalahan-permasalahan kampus dan sarana aspirasi mahasiswa,. Alasannya, rektorat mengklaim BEM sebagai wadah aspirasi mahasiswa belum dibutuhkan dan sejak awal berkuliah, para mahasiswa UTY sudah menandatangani surat perjanjian yang salah satu poinnya adalah “tidak mendirikan lembaga eksekutif mahasiswa”.

Usaha untuk mendapatkan hak demokrasi mahasiswa ini berlanjut dengan aksi atas nama Aliansi Pejuang Demokrasi UTY (APDU). Namun, pada tanggal 31 Mei 2011, aksi damai yang menuntut pemberian legalitas BEM  justru mendapat tindakan kekerasan dari pihak keamanan kampus UTY dan orang-orang tak dikenal. Penyerangan ini mengakibatkan para mahasiswa mengalami luka dan memar di wajah serta badan dan beberapa orang mahasiswa juga sempat muntah-muntah karena terkena serangan cairan beracun dari tabung semprot berukuran kecil yang dibawa orang berpenutup wajah.

Arogansi kampus ini belum berakhir. Berselang empat hari setelah insiden tersebut dan bertepatan masa Ujian Akhir Semester (UAS), 4/6/2011, Rektorat UTY mengeluarkan surat sanksi kepada para mahasiswa yang mengikuti aksi, dua orang dicabut status kemahasiswaannya, satu orang diskorsing selama setahun, satu orang diskorsing selama enam bulan dan belasan orang mendapat peringatan keras agar tidak melakukan hal yang sama dengan ancaman pencabutan status kemahasiswaan. Sedangkan Presiden BEM terpilih, T Risangchayo P Bima, jauh-jauh hari terpaksa memilih untuk tidak ikut serta dalam kegiatan BEM setelah tindakan rektorat yang mengintimidasi orang tuanya yang sedang sakit.

Para mahasiswa kemudian bergerak mencari keadilan dan pengakuan hak demokrasi lewat berbagai cara. Pengaduan penganiayaan beserta bukti visum telah dilaporkan kepada pihak Polsek Umbulharjo, Yogyakarta. Tetapi karena tidak ada tindak lanjut yang jelas dari pihak kepolisian, maka para mahasiswa meminta bantuan dari LBH Yogyakarta dan masih terganjal pada pengumpulan bukti kesaksian. Banyak mahasiswa yang menolak untuk memberi kesaksian karena merasa takut akan diberi sanksi oleh pihak kampus, sedangkan warga sekitar pun enggan memberi kesaksian. “Padahal kalau polisi mau serius, seharusnya bisa cepat, karena pada saat itu ada salah satu polisi yang berada di lokasi, bahkan melerai pada saat kami dipukuli,” ujar Maksum Fahrudi mahasiswa Fakultas Ekonomi UTY angkatan 2010 yang terkena sanksi pencabutan status kemahasiswaan.

Respon dari pemerintah setempat baru datang setelah Aliansi Pejuang Demokrasi UTY (APDU) yang juga didukung oleh berbagai elemen gerakan mahasiswa di Yogyakarta mengadakan aksi di DPRD Yogyakarta. Ketua Komisi D DPRD Yogyakarta yang membidangi pendidikan bersedia menerima para mahasiswa dan memfasilitasi penyelesaian masalah yang mereka hadapi. Tak kurang tiga kali panggilan diberikan kepada pihak Rektorat UTY, namun tidak digubris. Pihak rektorat malah memilih untuk bertemu secara pribadi dengan DPRD tanpa kehadiran pihak mahasiswa.

Anehnya, pihak rektorat UTY menyatakan bahwa tidak ada larangan untuk mendirikan BEM di kampus tersebut dan sanksi diberikan karena para mahasiswa telah membuat keonaran dan melanggar perjanjian. “Mereka (pihak rektorat UTY – red)  menyatakan bahwa permasalahan DO ini tidak ada sangkut pautnya dengan permasalahan BEM, padahal kalau tidak ada sangkut pautnya dengan BEM, tidak mungkinlah kami sampai aksi. Dan tuntutannya dari aksi tersebut adalah berikan legalitas BEM,” ujar Maksum yang akrab dipanggil Rudi ini. “Tuntutan untuk mendirikan BEM sudah disetujui oleh rektorat, walau tidak tahu bagaimana nanti prakteknya, tapi hampir seluruh kawan mengalami trauma dan rasa takut akan dikeluarkan dari kampus. Banyak yang menjadi takut untuk melanjutkan BEM,” lanjutnya lagi.

Kasus ini semakin tidak jelas juntrungannya setelah DPRD melemparkan kasus ini agar dimediasi oleh KOPERTIS yang malah mengarahkan para mahasiswa untuk menghadap langsung ke birokrat kampus, alih-alih berperan aktif menyelesaikan kasus ini. “Dari awal APDU datang ke DPRD karena KOPERTIS tidak menanggapi kasus ini. Sekarang KOPERTIS yang ditunjuk oleh DPRD untuk memediasi permasalahan antara mahasiswa dan rektorat malah melepas mahasiswa untuk bertemu rektorat yang jelas-jelas sudah memberangus demokrasi di kampus UTY, bahkan membuat kawan-kawan di UTY takut untuk menindaklanjuti pembangunan BEM meski pun sudah dinyatakan boleh oleh UTY pada saat pertemuan mereka dengan DPRD,” ujar Daniel Halim, Ketua RESISTA, organisasi mahasiswa yang tergabung dalam Jaringan Gerakan Mahasiswa Kerakyatan (JGMK) dan aktif di dalam APDU

Hingga kabar ini diturunkan, para mahasiswa yang tergabung di dalam APDU masih terus menjalankan perjuangan untuk mendapatkan keadilan dan menegakkan demokrasi di UTY.

“Bila di pabrik-pabrik umum terjadi pemberangusan serikat buruh atau union busting, maka yang telah terjadi di UTY adalah pemberangusan organisasi mahasiswa, hak demokrasi mahasiswa untuk berorganisasi telah diinjak-injak oleh birokrat kampus. Ke depan, mahasiswa Indonesia membutuhkan segera kekuatan persatuan mahasiswa yang progresif dan berperspektif kerakyatan untuk melawan segala tindakan anti-demokrasi dan liberalisme di bidang pendidikan mau pun pada bidang lainnya,” tegas Daniel yang akrab disapa Pay ini. (Jov)

Wawancara dengan Max Lane : Tak Ada Pilihan Selain Merombak Dunia

Di kalangan aktivis Indonesia, siapa tak kenal Max Lane? Interaksi yang cukup lama dengan sejumlah tokoh politik dan budaya Indonesia, juga ‘akrabnya’ Max dengan aktivis kiri di akhir-akhir hayat orde baru, membuat sosok satu ini mirip-mirip legenda hidup. “Perspektif politik saya juga banyak terbentuk oleh pengalaman saya dengan orang-orang Indonesia ini,” ujar Max.

Dengan pengalamannya yang lumayan terentang panjang ini, rakyatpekerja.org mencoba bertukar gagasan mengenai asal mula ketertarikannya dengan Indonesia dan pandangan-pandanganya tentang kondisi terakhir negeri ini.

Dari sejak muda Bung Max seperti sudah tertambat dengan Indonesia, apa latar belakangnya?

Sangat kebetulan sekali, saya belajar Bahasa Indonesia di SMA dan kemudian sejarah dan politik Indonesia di University of Sydney, 1969-1972, dengan skripsi SI tentang politik Bali tahun 1960-1972.

Sebagai orang Australia, apakah memang cukup penting mempelajari Indonesia?

Saya tidak pernah mendekati masalah mempelajari Indonesia dari sudut “sebagai orang Australia”. Saya menjadi sarjana dalam bidang ini sebenarnya sangat kebetulan. Kemudian dalam 40 tahun yang sudah lewat ini sudah semakin sadar bahwa setiap negeri di dunia pantas dipelajari. Pada tahun 70-an, 80-an dan 90-an, saya semakin terjun di politik. Ini lebih sebagai pengaruh terhadap saya oleh orang-orang seperti W.S. Rendra, Pramoedya Ananta Toer dan Yoeseof Isak, ditambah dengan keharusan ambil sikap – sambil menganilisa situasi sedalam-dalamnya – tentang invasi Suharto ke Timor Leste sesudah proklamasi kemerdekaan Timor itu.

Bung sangat dekat dengan aktivis-aktivis kiri negeri ini, bisa digambarkan kedekatan Bung Max dengan mereka?

Saya pertama sekali ke Indonesia tahun 1969 dan sejak itu saya kenal dengan Indonesia lewat politik. Memang tahun 60an di seluruh dunia ialah zaman gerak juga. Ada gerakan civil rights dan Martin Luther King di Amerika; perlawanan terhadap perang Amerika di Vietnam; revolusi (hampir) di Perancis; pemberontakan komunis demokratis thdp komunis anti-demokratis di Czekoslovakia dan banyak lainnya. Jadi sejak awal saya kenal Indonesia di sebuah zaman yang intensif concern-nya dengan demokrasi, keadilan sosial, perjuangan dunia ketiga untuk pembebasan nasional dan lain-lain.

Saya, berumur 17 tahun pada tahun 1969, terpengaruh semua itu dan melihat Indonesia melalui kaca-mata itu. Akibatnya saya selalu ketarik ingin kenal dengan orang-orang yang memperjuangkan demokrasi, keadilan social dan pembebasan nasional. Sejak tahun 1969 saya merasa sangat beruntung bisa kenal dengan beberapa teman Marhaenis (1969-1972); dengan almarhum W.S. Rendra (sejak 1972); teman-teman aktivis mahasiwa 70-an (peristiwa “Malari”); dengan Pramoedya Ananta Toer, Joesef Isak dan Hasyim Rachman (Hasta Mitra) pada tahun 1980-an. Mungkin agak anehnya, tetapi selain banyak buku yang saya membaca pada tahun 60-an dan 70-an, saya kira perspektif politik saya juga banyak terbentuk oleh pengalaman saya dengan orang-orang Indonesia ini.

Adakah tujuan tertentu kebersamaan Bung dengan para aktivis Indonesia?

Pada tahun 90-an saya cukup dekat dengan teman-teman di Partai Rakyat Demokratik (PRD) - sampai tahun 2007. Pada tahun 2007 PRD pecah dengan dipecatnya banyak orang, kemudian lahir PRD yang semakin nasionalis dan masih bernama PRD dan yang lainnya, yang mempertahankan kekiriannya, yang baru saja ini mengambil nama Partai Pembebasan Rakyat (PPR). Saya masih suka simpati dan juga tukar-pikiran dengan mereka di PPR.

Jelas juga bahwa sejak sekitar 2005 ada banyak tendensi dan organisasi progressif baru, baik yang berusaha bangun organisi politik maupun yang tidak – misalnya di kebudayaan, di universitas, di sastra, di perburuhan, di dunia NGO dan di penerbitan. Buat saya meneruskan perjuangan mencapai demokrasi yang sepenuh-penuhnya, keadilan sosial dan pembebasan nasional akan membutuhkan tenaga dari semua tendensi dan organisasi ini. Idealnya, tentu saja, semua tendensi dan organisasi bagus kalau bersatu. Tetapi persatuan yang riil selalu butuh basis persatuan, yaitu kesepakatan, baik tentang tujuan maupun tentang apa yang harus dikerjakan ke depan untuk mencapai tujuan bersama.

Tujuan Bung baik sekali, tetapi sepertinya sulit terwujud karena yang terjadi justru sebaliknya….

Mencari jalan ke depan di Indonesia, maupun di manapun di dunia yang semrawut ini, memang tidak gampang. Banyak ide beredar. Banyak kepentingan bertarung. Pasti akan terjadi struggle, polemik, debat dan konflik di antara kita sendiri yang memperjuangan perubahan ini. Apa boleh buat. Kita harus usahakan sejauh mungkin debat dijalankan dengan jiwa bersatu tujuan dan cari kebenaran – tanpa melepaskan hak kita juga untuk mengkikis habis, melalui polemik, ide-ide yang kita anggap menyesatkan, sekaligus sanggup juga mengakui kebodohan-kebodohan kita sendiri kalau sudah terbukti.

Saya sendiri – sebagai orang yang nasibnya rupanya juga terikat dengan Indonesia yang juga saya sayangi ini – pasti terbuka untuk berdialog dengan semua yang bertujuan seperti itu. Karena itu, misalnya, saya sangat bergembira bisa melakukan interview ini dengan terbitan KPO-PRP.

Menurut Bung Max, adakah harapan bagi Indonesia untuk kembali berubah selepas 1988, kemudian, katakanlah, menuju revolusi?

Masalahnya bukan apakah ada harapan. Manusia di atas muka bumi ini tak ada pilihan daripada merombak dunia, memindahkan kekuasaan politik dari tangan mereka yang hanya memikirkan kekayaan daripada rakyat banyak. Berarti tak ada pilihan juga daripada cari jalan membangun dan membangkitkan rakyat banyak itu, di negeri manapun mereka berada. Tak ada pilihan. Kalau tidak umat manusia ke depan hanya akan menderitakan kombinasi lingkungan alam yang menjadi tempat berlindungnya hancur total dan juga sekaligus masyarakatnya kembali ke alam barbarian.

No choice. Harus bisa.

Oya, Bung sempat menyebut baru-baru ini saja menjadi intelektual, apa maksudnya?

Heh, heh. Mungkin pernah saya ceriterakan bahwa saya baru-baru ini – sejak tahun 2004 – mulai mencari nafkah sebagai dosen di universitas. Hampir kita semua harus cari nafkah. Mungkin itu yang anda maksud. Di lain sisi, memang di zaman itu ada urgensi untuk semua kita memperdalam kegiatan intektual kita, tentu saja terfokus pada kebutuhan memecahkan persoalan-persoalan mendesak. Jangan kita tiru situasi di dunia akademis saat ini di seluruh dunia: pada saat yang sama ratusan juta manusia sedang menderita, dunia akademisi lebih banyak main-main saja.


Max Lane, penulis buku "Unfinished Nation: Indonesia before and after Suharto", Verso (2008); “Catastrophe in Indonesia”, Seagull (2011); “Paradigma-paradigma untuk Sejarah Alternatif: Ketiadaan Analisa kelas dalam Studi-studi Sejarah Kontemporer”, (pp 421-491) dalam “Sejarah Alternatif Indonesia” by Malcolm Caldwell and Ernst Utrecht, Jogjakarta (2011), dan juga penerjemah novel-novel Pramoedya Ananta Toer dan drama dan sajak WS Rendra. Max Lane berbasis di Australia dan sudah 40 tahun aktif di gerakan sosialis dan progresif Australia.


Keterangan: Ikuti wawancara dengan Max Lane lainnya, “Apakah Sukarno Bisa Main Peran Simbolis sama dengan Bolivar?” yang termuat di terbitan KPO-PRP "Bintang Rakyat" yang terbit pada bulan ini (jxm).

Aksi SPTJI : Pekerja Difabel Wicara Juga Bisa Melawan

Selasa, 02 Agustus 2011

Kamis (28/7/2011), puluhan pekerja Toni Jack’s Indonesia melakukan aksi di tiga titik, yaitu Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI (Kemenakertrans). Aksi ini adalah rentetan panjang dari perlawanan pekerja Toni Jack’s, waralaba eks McDonalds, dalam menuntut hak-haknya yang tak kunjung dipenuhi baik oleh pengusaha maupun pengabaiannya oleh pemerintah. Aksi kali ini menjadi berbeda karena diwarnai aksi teatrikal para pekerja difabel wicara yang menggambarkan kasus nyata mereka, dimana pemilik modal begitu mudahnya mempermainkan hukum dengan melupakan hak-hak pekerjanya.

Aksi dimulai pukul 11.00 Wib dengan mendatangi kantor Kejaksaan Agung di Jakarta Selatan. Dalam aksi tersebut, selain melakukan orasi-orasi, para pekerja difabel wicara memulai aksi teatrikal pertamanya. Dalam beberapa teriakan protes, terdengar seruan dari peserta aksi lainnya, seperti, “Penjarakan Bambang Rahmadi!”, “Hancurkan Mafia Hukum!”

Diketahui bahwa mantan bos Mc Donald itu telah melakukan penggelapan uang Jamsostek dan Tunjangan Hari Raya (THR) tahun 2010 terhadap ratusan pekerja yang telah di-PHK. Namun demikian sudah dua tahun lamanya, Bambang Rahmadi tidak juga terjamah oleh hukum.

Seorang peserta aksi bahkan mengatakan, “Pemerintah hanya bisa memandang sebelah mata terhadap rakyat kecil. Kalau rakyat mengambil tiga biji kakao untuk bertahan hidup langsung diadili dan dijebloskan ke dalam penjara, tapi jika pemilik modal (yang melakukan kejahatan besar) dibiarkan saja.”

Orator lainnya, Mika Darmawan, menambahkan, “Hukum dalam rezim borjuasi/pemodal adalah bermata dua, yaitu tajam bagi rakyat kecil, tapi tumpul bagi kaum-kaum pemilik modal.”

Bahwa hanya kekuatan politik rakyat yang mandiri lah yang mampu mengubah hukum yang sedemikian itu, sehingga selalu berpihak pada kaum buruh dan rakyat pekerja lainnya,” lanjut Mika yang juga perwakilan dari KPO Perhimpunan Rakyat Pekerja

Peserta aksi kemudian bergerak ke Kejaksaan Tinggi DKI dengan konvoi kendaraan roda dua sambil tetap membawa tuntutan yang sama. Di Kejaksaan Tinggi DKI aksi teaterikal kembali dipertunjukkan. Humas Aksi, Guntur, mengatakan bahwa “kejaksaan hanya mampu mengeluarkan janji dan pernyataan-pernyataan, namun selalu gagal dalam merealisasikannya”.

Selanjutnya, massa Serikat Pekerja Toni Jacks Indonesia (SPTJI) ini bergerak ke kantor Kemenakertrans. Di tempat tersebut para pekerja menuntut pihak kementerian yang tidak acuh pada kasus tersebut. Setelah melakukan orasi secara bergantian, aksi kemudian ditutup pada pukul 17.00 Wib dengan dentuman lagu-lagu perjuangan. (Julius)