JGMK: Rezim Neoliberal dan pemilik modal harus segera bertanggung jawab atas penembakan warga di Sape, Bima-NTB!

Rabu, 28 Desember 2011

- Resista Yogyakarta,
- Gerakan Mahasiswa Pro Demokrasi (Gema Prodem) Medan,
- Konsentrasi Mahasiswa Progresif (Koma Progresif) Samarinda,
- Barisan Pemuda dan Mahasiswa Progresif (BPMP) Sumbawa,
- Sentra Gerakan Mahasiswa Progresif (Sergap) Pol-Man,
- Front Mahasiswa Demokratik (FMD) Makassar.

Rezim Neoliberal dan pemilik modal harus segera bertanggung jawab atas penembakan warga di Sape, Bima-NTB!

Salam Pembebasan!

Tentara Nasional Indonesia dan Polri makin memperlihatkan watak aslinya sebagai institusi represif Negara yang senantiasa patuh pada kepentingan Koorporasi, belum tuntas kasus pembantai di Mesuji TNI dan Polri kembali melakukan tindakan kekerasan dan pembantaian pada rakyatnya sendiri pada pada tanggal 24 Desember 2011. Mereka menembaki Rakyat yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Tambang ( FRAT ) Yang melakukan aksi damai selama 5 hari di Pelabuhan Sape. Mereka menolak hadirnya tambang emas PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN). Namun tindakan ini justru di tanggapi dengan pengerahan pasukan Brimob lengkap dengan perlengkapan anti huru hara yang justru menembaki dan mengakibatkan tewasnya 3 korban jiwa, 9 lainnya kritis.

Penolakan Warga Lambu, Kabupaten Bima terhadap PT SMN, dilatari penerbitan SK baru bernomor 188/45/357/004/2010 yang berisi pemberian izin kepada PT SMN untuk mengeksplorasi lahan di Bima seluas 24.980 hektar persegi. Hal ini memicu kekhawatiran warga bahwa aktivitas pertambangan yang dilakukan PT SMN mengganggu mata pencarian mereka. FRAT menyampaikan penolakan karena tambang emas itu akan membahayakan mata pencarian warga. Warga Lambu sebagian besar penduduknya bertani dan nelayan. Tambang itu akan membongkar tanah dan mengganggu sumber air, tentunya akan menggangu pertanian warga.

Ini bukanlah aksi pertama yang dilakukan oleh Petani Bima, warga yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Tambang (FRAT) terus menerus melakukan penolakan. Akhir Januari lalu, sekitar 1500 orang mendatangi camat untuk melakukan penolakan. Sayangnya tak mendapat tanggapan memuaskan. Bulan berikutnya, Februari 2011, ribuan warga kembali long march sepanjang 2 kilometer ke kantor camat Lambu. Pemerintah justru mengerahkan 250 personil aparat Polres Kota Bima, 60 personil gabungan intel dan Bareskrim dan 60 personil Brimob Polda NTB. Pertemuan kembali tak ada hasil. Warga yang kecewa mendorong pintu kantor kecamatan Lambu,  justru dibalas gas air mata, peluru karet, bahkan diduga peluru tajam. Ratusan preman yang diorganisir aparat kecamatan memprovokasi warga. Bentrok tak bisa dihindari. Tak berhenti di situ. Polisi melakukan pengejaran dan menangkap lima orang warga dan ditahan di Mapolresta Kota Bima.  Korban berjatuhan, M. Nasir (23) tulang kakinya diduga ditembak peluru tajam. November 2011, lebih seribu warga kembali melakukan aksi di depan DPRD Bima menuntut hal sama.

Penembakan serta pembantaian yang di pimpin langsung Kapolda NTB Brigjen Pol Arif Wachyunandi sebagai bentuk TNI dan Polri lebih mengedepankan upaya kekerasan dan penembakan terhadap berbagai kasus penyelesaian konflik rakyat yang senantiasa di hisap oleh kepentingan ekpsansi modal yang dan posisi pemerintah selalu berada dalam barisan pendukung dan pembuka jalan bagi masuknya model pembagunan kapitalistik yang menindas rakyatnya sendiri. Rekomendasi dari Komnas HAM diantaranya Bupati Bima memperbaiki sistem informasi dan sosialisasi kegiatan pertambangan mulai eksplorasi hingga eksploitasi. Juga menghentikan sementara kegiatan PT SMN, sambil menunggu kondusifitas kehidupan bermasyarakat. Kapolda NTB diminta menempuh langkah-langkah koordinatif dan komunikatif dengan seluruh unsur pemerintah dan tokoh masyarakat guna mencegah terjadinya konflik horizontal di Kabupaten Bima. Komnas HAM mendesak  menjamin kebebasan warga menyatakan pendapat atau aspirasi (demonstrasi) sesuai ketentuan perundang-undangan, dan menghindari tindakan represif menggunakan senjata dengan peluru tajam, dalam pengamanan aksi unjuk rasa.

Namun lebih dari itu, pelanggaran dalam bentuk tumpang tindih lahan pertanian yang selalu berujung dengan konflik agraria, tindakan kekerasan dan pembantaian terhadap rakyat Bima yang berujung pada tewasnya 3 orang 9 lainnya luka-luka. Arif Rahman (19th) tertembak lengan kanan tembus ke ketiak, Syaepul (17th) luka di dada dan tembus, dan satu lainnya belum diketahui namanya. Delapan lainnya yang luka-luka adalah Sahabudin (31th), Ilyas Sulaiman (25th), Ibrahim (25th), Awaludin (24th), Suhaimi (23th), Mistahudin (18,th), Hasanan (39th).

Oleh Karena itu, kami dari Jaringan Gerakan Mahasiswa kerakyatan menyatakan sikap :
1.     Rezim Neoliberal SBY-B beserta pemilik modal segera bertanggung jawab atas penembakan warga di Sape, Bima-NTB.
2.     Rezim Neoliberal SBY-B dan pemilik modal juga harus segera menghentikan dan mencabut ijin Pertambangan PT. Sumber Mineral Nusantara (SMN) dan seluruh izin Perkayuan serta Perkebunan yang tumpang tindih dengan tanah Rakyat.
3.     Wujudkan pembebasan lahan tanah bagi seluruh masyarakat Indonesia.
4.     Mendukung sepenuhnya bentuk perlawanan yang dilakukan oleh warga Sape, Bima-NTB.


Persatuan gerakan harus terus di kobarkan selama penindasan dan penghisapan masih tercipta, karena dengan persatuan gerakan rakyatlah, maka kita akan mewujudkan cita-cita yang mulia yaitu dunia tanpa penghisapan dan penindasan dibawah kepemimpinan rakyat tertindas.

Belajar, Berorganisasi Dan Berjuang!

Yogyakarta
26 Desember 2011

 Ketua                                                                                                                     

Daniel Pay Halim     

      
Sekretaris Jendral

Nalendro Priambodo       

      
Email: mahasiswa.indonesia@ymail.com
CP: +62 857 2925 2134, +62 852 5080 0567

Tidak ada komentar:

Posting Komentar