PPRI Yogyakarta Menyerukan Jaminan Sosial Untuk Rakyat Tanpa Syarat

Jumat, 15 Juli 2011

Rancangan Undang-Undang Badan Pelaksana Jaminan Sosial (RUU BPJS) akan disahkan pada bulan ini. Berbagai macam polemik pun bermunculan dari masyarakat. Penolakan terhadap RUU tersebut juga semakin bermunculan. Pada hari Rabu (13/07/2011) di Yogyakarta, Puluhan massa yang tergabung dalam Persatuan Perlawanan Rakyat Indonesia (PPRI) melakukan aksi penolakan terhadap RUU BPJS dan UU SJSN. Aksi yang dilakuakn PPRI bertepatan dengan kunjungan Presiden SBY ke Jogja sehingga menjadi momentum untuk melakukan pengdelegitimasian pemerintahan SBY.

Tuntutan utama massa aksi adalah "SBY-Boediono dan elit politik busuk Gagal Memberikan Jaminan sosial Kepada Rakyat, Jaminan Sosial Untuk Rakyat Tanpa Syarat". Selain tuntutan utama, massa aksi juga menuntut: Tolak RUU BPJS dan cabut UU SJSN, Jamkesmasisasi bagi seluruh warga Negara Indonesia, Stop pungutan terhadap rakyat untuk penyelenggaraan Jaminan Sosial, Kesehatan dan pendidikan gratis, berkualitas dan demokratis untuk rakyat Indonesia.

Massa aksi memandang bahwa RUU BPJS sebagai badan pelaksana pemenuhan jaminan social, adalah bentuk baru penghisapan yang dialami oleh rakyat pekerja terutama buruh. Menurut salah satu peserta aksi, Heru Yuanta (Koordinator KASBI Jogja), bahwa buruh akan semakin sengsara dan menderita apabila RUU BPJS ini disahkan. “Dengan upah yang masih minim dan jauh dari kebutuhan hidup layak, RUU BPJS akan semakin memberatkan buruh karena hasil kerja mereka diambil oleh pengusaha dalam bentuk iuran (premi)". Bukan hanya buruh yang kerja di pabrik dan rakyat miskin tetapi PNS, Polisi dan tentara akan kena imbas dari RUU BPJS. Ini adalah salah satu bentuk liberalisasi disektor jaminan sosial dimana Negara lepas tangan dan tanggung jawab terhadap pemenuhan jaminan social kepada rakyat. Lebih lanjut, Heru mengatakan bahwa RUU BPJS merupakan agenda dari Neoliberalisme untuk semakin menindas rakyat pekerja.

Budiman HK sebagai kordum aksi juga mengatakan hal yang senada. “RUU BPJS sebagai bukti ketidak berpihakan pemerintah terhadap rakyat. Sudah saatnya jaminan sosial menjadi tanggung jawab negara sesuai dengan UUD 1945”. Lanjutnya, “negara Indonesia sangat kaya sumber daya alamnya. Jika sumber daya alam tersebut dikelolah secara maksimal termasuk menasinalisasi aset-aset tambang yang dikuasai asing dibawah kontrol rakyat maka jaminan sosial bisa di gratiskan untuk rakyat”.

Persatuan Perlawanan Rakyat Indonesia terdiri dari organisasi kerakyatan yang ada di Jogjakarta. Elemen yang terlibat dalam aksi tersebut diantaranya KPO-PRP, Konfederasi KASBI, PRD, DKR, PPRM, SMI, PPBI, PSB, KFSBII DIY, Perempuan MAHARDHIKA, RESISTA, LMND, PEMBEBASAN, SeTAM, HMI Bulaksumur, LSKP dan PBHI (Akb)

SPCI Berlawan Hadapi Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing

Kamis, 14 Juli 2011

Jangankan untuk mendapatkan kesejahteraan, kaum buruh dalam sistem kerja kontrak dan outsourcing adalah pihak yang lemah posisi tawarnya. Ketika menunut kesejahteraan dan hak-haknya, kaum buruh dengan mudah di-PHK. Atau ketika membentuk serikat pekerja, kaum pemodal akan berusaha memberangusnya dengan mutasi, PHK dan bahkan lebih kejam, yaitu dikriminalisasi oleh pengusahanya.

Demikian petikan yang Redaksi terima dari selebaran aksi Serikat Pekerja Carrefour Indonesia (SPCI) di halaman kantor Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans), Jl Gatot Subroto Kav 51, Jakarta Pusat pada Senin (11/07/2011). Sekitar seratusan pasukan merah-merah (warna seragam SPCI) menyemarakkan halaman kantor Kemnakertrans dengan orasi bergantian para aktivis SPCI dan sejumlah organisasi lain yang ikut bersolidaritas, termasuk KPO Perhimpunan Rakyat Pekerja.

Dalam orasinya, Koordinator Lapangan Bona menyatakan seluruh kebudayaan yang dihasilkan manusia selalu menyertakan buruh sebagai pembuatnya. “Mari kita liat gedung megah Kemnakertrans ini, siapa yang membangunnya? Pakaian dan seluruh yang melekat di tubuh pegawai Kemnakertrans, siapa yang menjahit dan menyediakannya?” seru Bona.

Toh, dengan peran vital yang dimilikinya, buruh justru menjadi pihak yang paling dikorbankan dalam rantai produksi. Kesejahteraan jauh dari jangkauan buruh, pun kepastian kerja saat ini sulit diperoleh. Adalah sistem kerja kontrak dan outsourcing penyebabnya. Kerja kontrak menjadikan lamanya waktu bekerja sangat singkat yang biasanya dibarengi perlakuan kerja yang buruk, pemutusan kontrak sepihak dan sewaktu-waktu, sulit mendirikan serikat, dan tidak ada ketenangan bagi buruh kontrak menjalani pekerjaannya.

Outsourcing lebih parah lagi. Selain status buruhnya biasanya juga kontrak, outsourcing membuat buruh sulit menyampaikan tuntutan lantaran tidak dipekerjakan oleh pemberi kerja, namun oleh pihak ketiga. Praktek-praktek ini meluas di berbagai perusahaan di Indonesia, termasuk di Carrefour, sebuah ritel walaraba asal Perancis. Banyak pekerja baru yang direkrut tanpa kepastian kerja. Padahal menurut UU 13/2003, jenis pekerjaan di Carrefour jelas di luar kategori yang bisa dikontrak. SPCI pun sering mengadvokasi anggotanya di Peradilan Hubungan Industrial (PHI) dan beberapa di antaranya dinyatakan menang.

Ketua BPN KPO Perhimpunan Rakyat Pekerja, Mahendra Kusumawardana yang didaulat untut berorasi menambahkan, dibandingkan pejabat, kaum buruh lebih besar memberikan sumbangsihnya bagi negara dan bangsa. “Liat saja pejabat dan pengusaha kita, mereka hanya ongkang-ongkang kaki dan mendapat bayaran luar biasa besar. Sementara buruh yang bekerja membanting tulang setiap hari, hanya diupah sebesar UMK. Para pejabat yang gemar korupsi dan menghabiskan uang rakyat, sementara buruh bekerja dalam sistem kontrak dan outsourcing yang tidak memberikan kepastian kerja.”

Solusinya, menurut Mahe, demikian lelaki ini biasa dipanggil, hanya ketika kekuasaan berada di tangan buruh sajalah, maka kesejahteraan rakyat bisa dijamin.

Sejumlah perwakilan dari SPCI kemudian masuk dalam gedung Kemenakertrans untuk menyampaikan tuntutan. Diketahui, pihak Kemennakertrans mengeluarkan memo kepada Carrefour agar tetap mempekerjakan dua buruhnya dengan status PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tak Tertentu) yang telah memenangkan kasusnya di PHI Bandung terkait pemutusan kontrak. (Jxm)

Mahasiswa Unasman Dikeluarkan Saat Ujian Karena Alasan Administrasi

Selasa, 12 Juli 2011

Mahasiswa Universitas Al-Asyariyah Mandar (Unasman) selalu dalam sebuah persoalan. Pada tanggal 9 juli 2011 lalu, kembali terjadi sebuah peristiwa, dimana mahasiswa unasman dikeluarkan dari ruangan tempat berlangsungnya Final (ujian semester). Mereka dikeluarkan dengan alasan tidak beresnya administrasi, sehingga pihak pengawas ujian, mengeluarkan mereka dari ruangan. Tindakan ini kemudian memicu reaksi dari sejumlah mahasiswa untuk menggelar aksi solidaritas didepan kampus menunutut agar dibebaskannya para mahasiswa untuk tetap diikutkan dalam ujian, karena hal ini menjadi sebuah persoalan yang sangat krusial.

Tindakan pengeluaran kepada mahasiswa dengan alasan administrasi tersebut, sangat tidak setimpal dengan pengorbanan yang telah dilakukan oleh pihak mahasiswa. Padahal kalau kita cermati bersama, mahasiswa dengan militan dan tidak kenal lelah mempertahankan kampus ketika terjadi eksekusi oleh pihak DDI. Kampus yang mereka anggap sebagai tanah yang mereka tempati untuk menimba ilmu. Tapi pada saat pihak kampus sedang dalam kondisi yg baik, maka pihak kampus Unasman lupa dengan pengorbanan mahasiwa tersebut.

Bukan hanya itu, bahkan pihak Unasman ingin menegakkan sebuah kedisiplinan, yang pada awalnya mahasiswa anggap sebagai hal yang perlu didukung bersama. Tapi sangat lucu ketika sebuah kedisiplinan hanya berlaku bagi mahasiswa, sementara para birokrasi kampus tidak menjalankan displin. Terbukti dengan masih banyaknya dosen-dosen pengajar yg malas serta dosen yang sama sekali tidak memunuhi syarat. Bagaimana kita mau membangun sebuah sistem yang disiplin, sementara tidak dibangun dan dimulai dari lingkungan pengelola internal kampus sendiri. Ini menandakan bahwa tidak demokratisnya kampus dalam membuat kebijakan, dimana mahasiswa selalu dirugikan dalam setiap kebijakan yg dibuat oleh kampus.

Dengan melihat kasus ini, kita pasti yakin bahwa kejadian ini bukan hanya terjadi di Unasman Kabupaten Polman Sulawesi Barat, tapi juga terjadi dihampir seluruh penjuru Indonesia, dimana pihak kampus lebih memilih mengutamakan administrasi daripada memberikan hak mahasiswanya untuk mengikuti ujian. Hal inilah yang membuktikan bahwa sistem pendidikan Indonesia hari ini sangat parah dan bergerak ke arah komersialisasi yang merugikan mahasiswa. Perguruan tinggi bukan lagi tempat untuk mencetak kader-kader yang tangguh untuk mencerdaskan anak bangsa, tapi sekarang sudah beroreantasi pasar, dimana kampus sudah dijadikan sebagai pasar komoditi untuk dijadikan sebagai ajang untuk mengeruk keuntungan (Achi).

Petani Butuh Tanah, Bukan Tembakan!

(Catatan Konflik Petani dan Aparatus Kekerasan Negara)

Senin ( 27/06/2011 ) lalu, ribuan masyarakat petani dan pengungsi eks konflik Aceh bentrok dengan aparat yang terdiri dari Polisi Kehutanan dan TNI/POLRI. Bentrokan yang berawal dari konflik pertanahan ini terjadi di kawasan yang diklaim pemerintah sebagai kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). ‘Perkakas perlawanan’ masyarakat yang terdiri dari parang, balok kayu dan batu, berhadapan peluru-peluru yang melesat dari moncong senjata laras panjang aparat. Dalam bentrok yang tidak seimbang ini, lima petani terluka terkena tembakan, dan kemudian harus dilarikan ke rumah sakit.

Bentrokan sebenarnya meletus akibat tindakan arogan dan sewenang-wenang dari aparat yang secara tiba-tiba dan diam-diam merobohkan tiga unit rumah dan menumbangkan tanaman sawit milik petani. Padahal sebelumnya, petani yang sebagian besar adalah eks pengungsi dari konflik Aceh ini sudah menyediakan ruang untuk berdialog dengan Kepala Balai TNGL Aceh/Sumut. Namun anehnya, pertemuan tersebut dibatalkan sepihak, dan malah digantikan tindakan kekerasan dari aparat. Dan memang, tindakan-tindakan kekerasan serupa telah berpuluh-puluh tahun sejak rezim orde baru, seakan menjadi tradisi aparat dalam menyelesaikan konflik tanah.

Pihak TNGL dengan santainya menyebut tindakan tersebut sebagai upaya “relokasi” yang sesuai hukum. Namun dalam logika relokasi tersebut pun, jika ditelisik, pihak TNGL sebagai perwakilan pemerintah ternyata sama sekali tidak menyiapkan lokasi penampungan yang layak sebagai kompensasi dari masalah sosial-ekonomi yang akan timbul. Sehingga sebenarnya, lebih tepat disebut ‘pengusiran paksa’ ketimbang relokasi.

Konflik Tanah Rentan Kekerasan Aparat

Konflik tanah bukanlah hal baru di negeri ini. Sejak orde baru, telah terjadi ribuan kasus konflik tanah antara rakyat dan pemerintah, dengan diiringi juga oleh ribuan kasus kekerasan oleh aparat yang mengiringinya. Perihal kekerasan ini adalah buah dari kebijakan orde baru yang sejak berkuasa telah menegasikan (baca: tidak menjalankan) UU Pokok Agraria 1960 yang berpihak kepada kaum tani, dan mengalihkannya dengan kebijakan-kebijakan sektoral tanah yang bertentangan dengan kedaulatan kaum tani, seperti UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, UU Pertambangan, dan lain-lain, yang berpihak kepada modal asing. Kebijakan-kebijakan tersebut sejatinya mencerminkan orientasi negara terhadap tanah yang tidak lagi “diperuntukkan bagi siapa yang membutuhkan dan mengerjakan tanah”, melainkan bagi investasi demi kemaslahatan “kaum pemodal” berikut demi devisa negara yang terus-menerus dikorupsi.

Orde baru telah dengan licik memanfaatkan kebijakan nasionalisasi aset-aset perusahaan Hindia-Belanda (di era Soekarno) untuk mengklaim tanah-tanah yang telah susah-payah dibuka dan dikelola rakyat bertahun-tahun, lalu menjadikannya sebagai “tanah negara” lewat Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hanya karena tidak memiliki bukti kepemilikan yang sah versi BPN, rakyat yang telah membuka lahan kemudian tidak dapat lagi mengakses tanah untuk mencukupi hidupnya. Hal ini tidak lain dimaksudkan agar tanah yang sudah diklaim sebagai “tanah negara” ini dapat mempermudah masuknya investasi lewat pemberian Hak Guna Usaha (HGU) maupun Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada perusahaan-perusahaan yang berkepentingan terhadap tanah dan potensinya.

Sejak itu, tanah merupakan sumber daya yang penting, bahkan bahian utama bagi negara untuk dieksploitasi demi kepentingan segelintir pemodal, atau yang lebih besar lagi, demi (menunjukkan) ketertundukan negara kepada imperialis. Wajar kemudian (dalam negara yang demikian ini) jika tentara beserta aparat-aparat tambahannya dikerahkan untuk “mengamankan tanah”. Penundukan demi penundukan yang militeristik terhadap kaum tani pun berlangsung massif.

Terjadinya reformasi yang menggulingkan rezim orde baru ternyata tidak serta-merta menghentikan tindakan kekerasan aparat dalam menyelesaikan konflik tanah. Pendudukan kembali tanah (reclaiming) oleh rakyat, khususnya terhadap tanah-tanah yang masa HGU dan HPH-nya telah habis setelah era reformasi, tetap saja ditangani aparat dengan kekerasan. Hal ini merupakan refleksi mendalam bagi perjuangan kaum tani di era reformasi, bahwa reformasi sejatinya tidak membuka demokrasi secara hakikat/esensial, yang memungkinkan tegaknya kembali kedaulatan kaum tani atas tanah dan terjadinya distribusi tanah secara merata, berkeadilan dan mensejahterakan oleh negara (baca: reformasi agraria), namun justru memassifkan kekuasaan kaum modal itu sendiri lewat pemberian jalan lapang bagi masuknya modal asing.

Tanah dan Kedaulatan Kaum Tani

Persoalan tanah yang menyulut banyak konflik hingga hari ini bukanlah sekedar persoalan persengketaan kepemilikan semata atas tanah. Namun lebih jauh dari itu, persoalan tanah adalah persoalan yang integral dengan masalah struktural di Indonesia, yaitu ketimpangan sosial dan pemiskinan.

Persoalan ketimpangan sosial yang dicerminkan oleh ketimpangan penguasaan atas tanah dapat dilihat dari fakta bahwa hampir 60% golongan yang dikategorikan sebagai kaum tani, hanya memiliki lahan seluas 0,2 sampai 1 hektar per oranng. Sedangkan 30% kaum tani adalah petani penggarap yang tidak memiliki tanah yang dapat dikelola secara rutin. Jika kita mengkaitkannya dengan logika pertambahan penduduk dan rendahnya produktivitas pertanian skala kecil akibat kapitalisasi pertanian, maka akan dapat dipastikan, semakin lama tanah akan semakin terkonsentrasi pada beberapa gelintir pemilik tanah/modal, dan semakin banyaknya petani yang tak memiliki tanah/penggarap.

Di sisi lain, kesempatan penguasaan lahan oleh kaum tani dibatasi sampai sekitar 23% dari total daratan Indonesia yang mencapai 192 juta hektar, yaitu sekitar 44 juta hektar (yang diantaranya dipergunakan untuk persawahan, pertanian kering, dan perkebunan). Karena sisanya, yakni 68% merupakan areal hutan, dan selebihnya dipergunakan untuk kepentingan lain-lain di luar budidaya tanaman. Dengan jumlah petani yang berkisar 44% dari penduduk bekerja (sekitar 46 juta jiwa) dari 105 juta penduduk yang bekerja, maka dapat dipastikan 90% masyarakat yang tergolong petani, yaitu 41,4 juta jiwa, maksimal hanya menguasai 26,4 juta ha tanah; sedangkan 10% nya, yaitu 4,6 juta jiwa, sedikitnya menguasai 17,6 juta ha. Sungguh-sungguh ketimpangan yang luar biasa.

Ketimpangan kepemilikan tanah diperparah keberpihakan negara kepada pemodal. Hampir setengah luas tanah yang masuk dalam areal hutan, ternyata sedang berada dalam pengelolaan ratusan perusahaan yang mendapatkan HPH dan kebijakan-kebijakan sejenis yang mengizinkan pemilik modal untuk masuk dan berinvestasi di areal hutan. Di saat yang sama, ketika berbagai konflik tanah yang memposisikan rakyat berhadapan dengan pemerintah, khususnya Perhutani (BUMN kehutanan), rakyat selalu saja dikalahkan dengan alasan hukum bahwa “tanah merupakan areal hutan”.

Kembali ke konflik tani-aparat di Aceh, ribuan warga yang mendiami area yang diklaim sebagai kawasan TNGL sebagian besar adalah pengungsi korban konflik Aceh yang tidak lagi mempunyai tempat tinggal, dan sisanya adalah warga sekitar yang sudah menetap lama di sekitar area tersebut, namun tidak lagi memiliki tanah. Artinya, secara hukum prosedural tanah tersebut memang bukan tanah milik masyarakat. Namun jika hal itu dijadikan alasan untuk mengusir paksa petani, maka timbul pertanyaan, mengapa dalam UU No 41/1999 investasi dari para pemodal tambang dengan pola tertutup di hutan lindung diperbolehkan masuk? Bahkan mengapa di beberapa area TNGL beberapa jenis investasi juga dapat masuk tanpa tindakan represi dari aparat? Jelas ini merupakan keberpihakan yang kasat mata dari pemerintah kepada pemilik modal, karena memang pemerintah mendapatkan “santunan” dari investasi tersebut.

Namun sekali lagi, logika bertahan tersebut hanya berguna jika memang tanah tersebut memang merupakan kawasan TNGL. Ironisnya hal itu juga sulit dibuktikan. Putusan Pengadilan Tinggi Sumut yang menangani konflik ini menyatakan kawasan yang ditempati warga eks korban konflik Aceh tidak berhubungan dengan TNGL dan merupakan tanah negara non-hutan lindung. Tidak hanya itu, kampanye yang digembar-gemborkan pihak pengelola TNGL dan pemerintah setempat bahwa petani dan pengungsi tersebut adalah perambah dan perusak hutan lindung juga bohong belaka. Sebelum masuk ke lokasi, kawasan tersebut dalam keadaan rusak parah. Kawasan tersebut sebelumnya dikelola PT Mulya Karya Jaya yang merupakan perusahaan kayu dan disertai illegal logging hutan seluas 47.000 ha sejak tahun 1991.

Tindakan ngotot dari pemerintah dan pihak TNGL mengusir paksa masyarakat mengundang pertanyaan serius, ada apa di balik pemaksaan ini? Seperti umum diketahui bahwa kawasan hutan merupakan kawasan yang sering bertabrakan dengan kawasan potensi tambang. Sehingga apakah penyingkiran paksa ini juga berhubungan dengan modal yang akan masuk?

Persoalan tanah yang terjadi di Langkat haruslah didudukkan dalam kerangka kesejahteraan kaum tani yang mengelola tanah. Sehingga mempertahankan tanah yang sudah bertahun-tahun dihuni serta yang telah dibangun fasilitas-fasilitasnya adalah sebuah keharusan perjuangan kaum tani di Langkat hari ini.

Petani, pun pengungsi, sangat membutuhkan dan mempertahankan tanah untuk bertahan hidup. Kebutuhan hakikat akan tanah dari banyak rakyat pekerja justru tidak membuat pemerintah melakukan pemerataan kepemilikian atas tanah yang sangat timpang. Mengapa dengan begitu banyaknya kasus konflik tanah tidak membuat pemerintah dengan segera menjalankan reformasi agraria yang sejati?

Tanpa menjalankan reformasi agraria, pemerintah bukan hanya akan menghadapi masuknya rakyat kedalam hutan-hutan untuk bertahan hidup. Suatu saat rakyat juga akan melakukan pendudukan atas pusat-pusat kekuasaan, bahkan pengambil-alihan kekuasaan yang telah gagal dijalankan untuk mensejahterakan. Saat itu, kaum buruh dan kaum tani benar-benar menjalankan Revolusi Agraria!

Mika Kibar Darmawan
Anggota KPO Perhimpunan Rakyat Pekerja 

Krisis Yunani, “Rakyat Punya Kekuasaan dan Tidak Pernah Menyerah”

Slogan tersebut dikibarkan oleh PAME (Front Buruh Militan), sebuah serikat buruh di Yunani, di Acropolis, Athena pada tanggal 27 Juni 2011, menjelang pemogokan nasional selama 48 jam yang berlangsung pada tanggal 28-29 Juni 2011. Pemogokan ini merupakan rangkaian perlawanan rakyat Yunani selama bertahun-tahun yang kembali memuncak pada bulan Mei 2011 yang diawali dengan demonstrasi ribuan orang di Lapangan Syntagma. Kerangka perlawanan tersebut adalah melawan kebijakan neoliberal yang dijalankan oleh rezim George Papandreou, kebijakan yang dipaksakan oleh Uni Eropa (UE), Bank Uni Eropa dan International Monetary Fund (IMF).

Kebijakan neoliberal tersebut adalah memberikan dana sebesar 12 miliar euro kepada para pemilik bank (atau bailout) dengan mengambil uang rakyat dalam bentuk privatisasi perusahaan negara di sektor transportasi, energi, pelabuhan dan komunikasi. Selain itu, juga dengan mengurangi upah dan uang pensiun sebesar 20 persen serta menaikkan pajak. Di sektor publik, upah buruh akan dipotong 15 persen, sementara di sektor milik negara upah akan dipotong lebih tinggi, 30 persen. Bahkan, seluruh buruh di sektor publik yang berada dalam status kontrak sementara akan di-PHK. Akibatnya, kebijakan Papandreou berpotensi meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan rakyat Yunani.

Pemogokan nasional 48 jam tersebut terjadi di 65 kota yang diikuti bukan hanya buruh dalam berbagai sektor tapi juga mahasiswa, pekerja sektor publik, dokter, pemadam kebakaran, dan sebagainya. Serikat buruh utama di Yunani, yaitu ADEDY untuk sektor publik dan GSEE untuk sektor swasta telah dipaksa untuk meningkatkan aksi pemogokan, meninggalkan kebiasaan pemogokan 24 jam mereka dan melakukan pemogokan nasional selama 48 jam secara bersama-sama setelah lebih dari 30 tahun tidak terjadi. Pemogokan nasional kemudian dihadapi dengan kekerasan oleh pihak kepolisian. Selain gas air mata, senjata kimia dan granat kejutan listrik juga digunakan untuk membubarkan kumpulan massa rakyat. Bahkan, kekerasan tersebut tidak hanya ditujukan pada rakyat yang berkumpul di lapangan-lapangan terbuka. Polisi pun menyasar ke daerah-daerah di lingkungan atau perkampungan kelas buruh di sekitar pusat kota Athena.

Pemogokan Nasional 48 jam tersebut dibangun dengan seruan dari berbagai serikat buruh. Dalam seruannya dijelaskan bahwa pemogokan nasional sangat penting karena akan menunjukkan bahwa rakyat tegas dan aktif, serta tidak akan berkompromi dengan kebijakan rezim. Demikian pula bahwa kepentingan rakyat tidak akan didapatkan tanpa perjuangan rakyat sendiri. Yang menjadi sasaran dari kemarahan rakyat digambarkan dengan jelas, yaitu Rejim yang berkuasa dan Troika (Uni Eropa, Bank Uni Eropa dan IMF).

Akar dari persoalan rakyat Yunani jelas adalah krisis overproduksi dan overakumulasi, dimana kepemilikan pemilik modal atas alat produksi berkonflik dengan kebutuhan rakyat secara keseluruhan. Sebuah krisis kapitalisme yang tidak hanya menimpa Yunani, tapi juga seluruh negeri. Solusi sejatinya, harus ada perubahan dalam hubungan kerja, tenaga kerja dan ekonomi kerakyatan. Dalam konteks Yunani, bukan hanya PASOK dan para bos yang harus diusir tapi negara pemilik modal pun harus dihancurkan dan digantikan dengan negara kelas buruh. Untuk melakukan itu, kelas buruh harus memaksimalkan serikat dengan menggunakannya bukan hanya untuk melawan para bos, tapi juga melawan kapitalis dan negara pemilik modal secara keseluruhan. Guna mencapai tujuan itu, persatuan rakyat secara keseluruhan harus diwujudkan.

Namun pada 29 Juni 2011, parlemen Yunani tetap menyetujui kebijakan neoliberal rejim Papandreou. Sejumlah 155 anggota parlemen menyatakan dukungan, sementara 138 menolak kebijakan tersebut. Satu orang anggota parlemen dari Partai PASOK (partai PM Papandreou) menolak kebijakan tersebut yang berakibat dia dikeluarkan dari PASOK. Terlihat bahwa kekuatan borjuis di Yunani semakin lama semakin terdelegitimasikan, walaupun PASOK terus bersembunyi di balik slogan-slogan sosialis. Sejak tahun lalu pendukungnya di parlemen telah turun dari 160 ke 154 dari sekitar 300 anggota parlemen. Menurut jajak pendapat, 80 persen rakyat Yunani tidak menyetujui kebijakan neoliberalisme dan 45 persen mendukung pemogokan nasional seluruh rakyat Yunani.

Sejak awal aksi-aksi pada bulan Mei kemarin, rakyat Yunani mulai aktif dalam kehidupan politik dan menyadari kekuatannya sendiri. Muncul “Dewan-dewan Rakyat”, dimana ribuan rakyat berkumpul, berdiskusi dan memilih tuntutan yang akan diajukan serta langkah-langkah selanjutnya. Terdapat berbagai macam kelompok kerja yang memfokuskan diri pada isu-isu khusus, seperti kelompok politik, kelompok ekonomi dan dewan buruh serta dewan pengangguran. Begitu pula di berbagai daerah ataupun kampung-kampung, mulai muncul dewan-dewan rakyat. Di beberapa daerah, ratusan orang berkumpul di tempat publik dan mulai mengambil tindakan seperti mengorganisir demonstrasi besar, membuat perlindungan untuk rumah sakit, mengajukan tuntutan bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh rakyat.

Kelas buruh dan rakyat Yunani telah melakukan perlawanan yang luar biasa. Pemogokan nasional dan demonstrasi yang dilancarkan terus menerus, berhadapan dengan represi luar biasa oleh rejim George Papandreou.

Namun demikian, perlawanan, demonstrasi dan pemogokan nasional yang berulang-ulang di Yunani untuk saat ini belum bisa menghasilkan perubahan yang mendasar bagi rakyatnya. Tanpa hasil nyata bagi rakyat, maka perjuangan yang terus menerus akan dapat mencapai titik baliknya. Semangat dan ketahan perjuangan rakyat dapat berubah dengan cepat menjadi apatisme dan kelelahan.

Apa yang menjadi kebutuhan mendesak adalah persatuan untuk menghasilkan kepemimpinan, program dan arahan politik yang jelas. Kemunculan embrio-embrio pemerintahan rakyat sendiri, melalui dewan-dewan rakyat, harus didorong untuk terus berkonsolidasi dan memimpin perlawanan rakyat hingga tingkatan nasional. Sementara itu, pemogokan tersebut harus terus didorong hingga menjatuhkan pemerintahan pemilik modal yang berkuasa. Dewan-dewan rakyat kemudiam dapat menjadi pengganti pemerintahan pemilik modal dan menjalankan program-program yang berpihak kepada rakyat.

Ign. Mahendra K.
Ketua Badan Pekerja Nasional KPO - PRP.

Bebaskan Seluruh Tahanan Politik dan Demokrasi untuk Rakyat Malaysia!

Partai Sosialis Malaysia (PSM), Komite Penyelamat Organisasi - Perhimpunan Rakyat Pekerja (Indonesia), Socialist Alliance (Australia), Komite Politik Rakyat Miskin - Partai Rakyat Demokratik (Indonesia), All Pakistan Federation of United Trade Unions, Partido Lakas ng Masa (Philippines), Socialist Aotearoa (New Zealand), Resistance (Australia), Labour Party Pakistan, Solidarity (Australia), Revolutionary Socialist Party (Australia), Partai Rakyat Demokratik (Indonesia), Nava Sama Samaja Party (Sri Lanka), All Together (South Korea), Radical Socialist (India), Australia Asia Worker Links, Left Party (Sweden), Partido ng Manggagawa (Philippines), Herlounge (Indonesia), Empower Foundation (Thailand), Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Indonesia), Communist Party of Sweden, Partido Obrero Revolucionario (Spanin), Socialist Alternative (Australia), Union de Militantes por el Socialismo (Argentina), Socialist Worker (New Zealand), International Marxist Tendency, Toronto New Democrats (Canada), Fightback (Canada)

Dukungan Individu oleh:

Vi Pham, Project Manager of Center for Environment and Community Assets Development (Vietnam), Vipar Daomanee (Thailand)


Pada tanggal 19 Juni 2011, rakyat Malaysia menggelar sebuah kampanye bertajuk Bersih 2.0; sebuah kampanye yang menuntut Pemilu Ketigabelas di Malaysia, yang tidak lama lagi akan dilaksanakan, diselenggarakan secara bebas dan adil. Koalisi untuk Pemilu yang Bebas dan Adil (Bersih) juga telah melakukan deklarasi terbuka atas rencana pertemuan akbar (demonstrasi besar-besaran) pada tanggal 9 Juli 2011. Berkaitan dengan itu, Partai Sosialis Malaysia (PSM – the Parti Sosialis Malaysia), pada tanggal 24 Juni 2011, melakukan kampanye “Udahlah BN, Bersaralah” (Cukup BN, Mundur Sekarang). Tujuan dari kampanye PSM ini adalah untuk mengumumkan secara luas korupsi yang dilakukan oleh pemerintahan (yang berasal dari dan didukung penuh oleh) Barisan Nasional (BN) dan untuk memperhebat dukungan terhadap pelaksanaan demonstrasi Bersih 2.0.

Sejak 22 Juni 2011, lebih dari 100 orang telah ditahan hanya karena dukungan yang mereka berikan terhadap demonstrasi besar-besaran yang diserukan oleh Bersih pada tanggal 9 Juli 2011. Hingga saat ini, bahkan sebelum terjadinya demonstrasi Bersih 2.0, 81 orang telah ditangkap dan ditahan dengan sewenang-wenang oleh polisi di beberapa lokasi berbeda di seluruh wilayah Malaysia. Selain itu, 15 orang juga telah dipanggil oleh polisi terkait pernyataan sikap mereka untuk demonstrasi Bersih 2.0. Pelecehan dan intimidasi pihak kepolisian tidak hanya sampai disitu, tetapi juga terjadi, antara lain, dalam bentuk menangkap rakyat yang memakai kaos Bersih 2.0, menangkap rakyat yang membagi-bagikan selebaran Bersih 2.0, menangkap mereka yang memiliki dan membawa kaos Bersih 2.0, berkali-kali melakukan interogasi, menolak hak tahanan politik atas pengacara/bantuan hukum dan pengobatan, dan melakukan pelecehan seksual terhadap aktivis perempuan.

Pada tanggal 3 Juli 2011, 6 anggota PSM, termasuk diantaranya Dr Jeyakumar Devaraj (seorang anggota Parlemen Malaysia), ditangap kembali dengan menggunakan dasar hukum Emergency Ordinance (EO), sebuah ordonansi (peraturan hukum) yang memperbolehkan diterapkannya 60 hari penahanan tanpa persidangan, dan diterapkannya masa tahanan tambahan untuk maksimum selama 2 tahun sesuai diskresi Menteri Dalam Negeri (Home Minister). Enam orang anggota PSM yang ditahan tersebut merupakan bagian dari 30 orang anggota PSM yang ditahan pada tanggal 25 Juni 2011 untuk tuduhan “menyerukan peperangan/pertempuran/permusuhan melawan Raja”.

Bahwa dalam hal ini, kami memandang tindakan-tindakan pemerintah Malaysia sebagai pemberangusan atas hak-hak demokratis rakyat Malaysia. Tindakan pemberangusan tersebut adalah usaha untuk melindungi kekuasaan elit (politik) yang berkuasa selama bertahun-tahun di Malaysia melalui rezim UMNO-BN.

Kami mengutuk keras pemerintah Malaysia yang melakukan pelecehan, penangkapan dan intimidasi untuk membungkam gerakan oposisi melawan kebijakan pemerintah Malaysia yang anti demokratik, anti rakyat miskin dan anti kelas pekerja.

Kami menuntut :
  1. Pemerintah Malaysia, segera dan tanpa persyaratan apapun, membebaskan seluruh aktivis PSM yang ditahan.
  2. Pemerintah Malaysia menghentikan semua bentuk penindasan dan intimidasi terhadap rakyat Malaysia yang mengekspresikan hak-hak demokratisnya.
  3. Kami menyerukan seluruh gerakan sosialis dan gerakan pro-demokrasi di Asia Tenggara dan di seluruh dunia untuk membangun dan memberikan solidaritas kepada PSM dan rakyat Malaysia yang direpresi dan ditahan.
Kami, dengan ini, mendeklarasikan pula dukungan sebesar-besarnya atas kampanye dan perjuangan rakyat Malaysia atas demokrasi yang saat ini tengah berlangsung.

Mohon mengirimkan email ke kpo.prp@rakyatpekerja.org untuk menambahkan nama Anda/organisasi Anda jika Anda bermaksud mendukung pernyataan sikap solidaritas ini.

Siswa Polman Bicara Kapitalisme Pendidikan dan Solusinya

Jumat, 08 Juli 2011

Ilustrasi diskusi siswa-siswa di Polewali Mandar
Sulawesi Selatan. Diskusi ini mengangkat tema
mengenai  kapitalisme di dunia pendidikan serta
apa solusi untuk menjawabnya.
Rabu (06/07/2011) sejumlah siswa hadir dalam diskusi yang difasilitasi oleh Forum Komunikasi Siswa Progresif (FKSP) di Permandian Biru, Desa Batetangga, Kecamatan Binuang, Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat. Forum ini merupakan organisasi yang beranggotakan para siswa yang merasa prihatin terhadap kondisi pendidikan dewasa ini. FKSP menilai masalah yang dialami dunia pendidikan kita bukannya berkurang, tetapi malah tambah parah. Pemerintah mengklaim pendidikan sudah digratiskan, nyatanya masih banyak pungutan liar dan sekolah menjadi ruang baru komersialisasi. Biaya perlengkapan sekolah kian menjulang, sementara demi masuk ke sekolah yang bermutu banyak orang tua dipaksa membayar biaya masuk ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Berbagai fenomena ini tak luput dari peserta diskusi. Bahkan tanpa tedeng aling-aling, seorang siswa mengatakan rezim SBY-Boediono yang tengah berkuasa gagal menciptakan pendidikan yang berkualitas. Di sektor-sektor lain pun sama saja. Di bidang ekonomi tak ada perningkatan kesejahteraan yang dirasakan rakyat, sementara di bidang politik, kebijakan-kebijakan pemerintah selalu ditolak. “Rezim hari ini gagal menerapkan UUD 1945, terutama bagian ‘tentang mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan kesejahteran umum’," tegas siswa tersebut mengutip bagian pembukaan konstitusi kita.

Siswa lainnya menganggap pendidikan telah dikapitalisasi oleh para pemilik modal, sehingga pendidikan diarahkan untuk mencari lapangan kerja semata. Akibatnya, substansi pendidkan telah bergeser dari mencerdaskan atau memanusiakan-manusia, menjadi berorientasi pasar. “Anak didik hari ini sedang dan akan disiapkan sebagai pengabdi, bahkan kasarnya, jongos bagi kapitalisme,” tegasnya.

Ketika ditanya oleh pengarah diskusi, apa solusi dari masalah-masalah tersebut, peserta diskusi menganggap tidak mungkin akan ada perubahan terhadap kondisi pendidikan di negeri ini selama pemerintahnya masih berpihak kepada kapitalisme. Maka, harus ada sistem baru yang memiliki keberpihakkan jelas terhadap rakyat. Sistem itu tidak lain adalah sosialisme.

Menarik dicermati bahwa para siswa kita cukup jeli dan terbukti mengikuti perkembangan permasalahan sosial dan politik. Lebih jauh, meskipun perlu diuji kembali, banyak siswa yang telah mengerti kebobrokan kapitalisme yang mengakibatkan pendidikan mahal dan kesejahteraan rakyat menguap. Dengan demikian, logikanya, diperlukan sistem lain yang bertentangan dengan kapitalisme. Siswa yang cerdas bisa dengan cepat mengenali sistem tersebut, yakni sosialisme.

Siswa saja berani mengatakan solusi bagi rakyat Indonesia adalah sosialisme, lalu bagaimana dengan Anda?

Peradilan Bos PT. Istana, Kemenangan Kecil Kaum Buruh

Kamis, 07 Juli 2011

Suasana Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara mendadak riuh oleh ‘serbuan’ pendemo puluhan massa dari Konfederasi KASBI, buruh PT Istana Magnoliatama dan sejumlah aktivis KPO-PRP. Mereka melakukan aksi persis di depan pintu PN Jakut demi menuntut pemberian vonis seberat-beratnya bagi Christian Salim, pemilik PT Istana Magnoliatama yang berlokasi di Kapuk, Jakarta Utara. Kamis (07/07/2011) PN Jakut mengagendakan jawaban Jaksa Penuntut Umum terhadap eksepsi Christian Salim.

Menurut release yang disampaikan Konfederasi KASBI, perusahaan yang pada awalnya bernama CV Melody pada 1980 dan berganti nama pada 1989 tersebut, memiliki seribuan buruh dengan 540 buruh di antaranya berstatus kontrak. Pada 2006, berdiri Serikat Buruh Karya Utama (SBKU) PT Istana Magnoliatama dengan anggota 266 orang. SBKU saat itu adalah anggota Konfederasi KASBI.

Perusahaan menyikapi pendirian serikat ini dengan tindakan union busting (pemberangusan serikat) berupa mutasi para pengurusnya, pendirian serikat baru, menyatakan SBKU tidak sah, mengundurkan pembayaran gaji dan salah satu pengurus serikat tidak diberikan pekerjaan hingga tiga bulan. Puncaknya, pada 17 Juli 2007, perusahaan ditutup tanpa pembayaran sisa gaji dan pesangon untuk para pekerjanya.

Hingga kini atau empat tahun kemudian, hak-hak yang semestinya diberikan pada buruh PT Istana belum juga diberikan. Bahkan proses pemberesan kepailitan PT Istana pun saat ini belum ada titik terangnya. “Konfederasi KASBI menilai meskipun sangat lamban, proses peradilan pidana terhadap bos PT Istana merupakan langkah maju, satu kemenangan kecil bagi kaum pekerja atas pengusaha yang merampas dan menelantarkan kaum pekerjanya,” tegas Nining Elitos, Ketua Umum Konfederasi KASBI.

Ditambahkan oleh Musrianto, Departemen Hukum dan Advokasi Konfederasi KASBI yang memimpin aksi ini, “Konfederasi KASBI dan buruh PT Istana tetap menuntut Christian Salim untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, dan dia harus dihukum seberat-beratnya lantaran menelantarkan ratusan buruh dan anggota keluarganya selama bertahun-tahun.”

Aksi tidak berlangsung lama karena sidang hari ini hanya mendengarkan tanggapan JPU yang menolak eksepsi Christian Salim seminggu sebelumnya. Sidang ditunda sampai 13 Juli 2011 untuk putusan sela (jxm).