SPCI Berlawan Hadapi Sistem Kerja Kontrak dan Outsourcing

Kamis, 14 Juli 2011

Jangankan untuk mendapatkan kesejahteraan, kaum buruh dalam sistem kerja kontrak dan outsourcing adalah pihak yang lemah posisi tawarnya. Ketika menunut kesejahteraan dan hak-haknya, kaum buruh dengan mudah di-PHK. Atau ketika membentuk serikat pekerja, kaum pemodal akan berusaha memberangusnya dengan mutasi, PHK dan bahkan lebih kejam, yaitu dikriminalisasi oleh pengusahanya.

Demikian petikan yang Redaksi terima dari selebaran aksi Serikat Pekerja Carrefour Indonesia (SPCI) di halaman kantor Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans), Jl Gatot Subroto Kav 51, Jakarta Pusat pada Senin (11/07/2011). Sekitar seratusan pasukan merah-merah (warna seragam SPCI) menyemarakkan halaman kantor Kemnakertrans dengan orasi bergantian para aktivis SPCI dan sejumlah organisasi lain yang ikut bersolidaritas, termasuk KPO Perhimpunan Rakyat Pekerja.

Dalam orasinya, Koordinator Lapangan Bona menyatakan seluruh kebudayaan yang dihasilkan manusia selalu menyertakan buruh sebagai pembuatnya. “Mari kita liat gedung megah Kemnakertrans ini, siapa yang membangunnya? Pakaian dan seluruh yang melekat di tubuh pegawai Kemnakertrans, siapa yang menjahit dan menyediakannya?” seru Bona.

Toh, dengan peran vital yang dimilikinya, buruh justru menjadi pihak yang paling dikorbankan dalam rantai produksi. Kesejahteraan jauh dari jangkauan buruh, pun kepastian kerja saat ini sulit diperoleh. Adalah sistem kerja kontrak dan outsourcing penyebabnya. Kerja kontrak menjadikan lamanya waktu bekerja sangat singkat yang biasanya dibarengi perlakuan kerja yang buruk, pemutusan kontrak sepihak dan sewaktu-waktu, sulit mendirikan serikat, dan tidak ada ketenangan bagi buruh kontrak menjalani pekerjaannya.

Outsourcing lebih parah lagi. Selain status buruhnya biasanya juga kontrak, outsourcing membuat buruh sulit menyampaikan tuntutan lantaran tidak dipekerjakan oleh pemberi kerja, namun oleh pihak ketiga. Praktek-praktek ini meluas di berbagai perusahaan di Indonesia, termasuk di Carrefour, sebuah ritel walaraba asal Perancis. Banyak pekerja baru yang direkrut tanpa kepastian kerja. Padahal menurut UU 13/2003, jenis pekerjaan di Carrefour jelas di luar kategori yang bisa dikontrak. SPCI pun sering mengadvokasi anggotanya di Peradilan Hubungan Industrial (PHI) dan beberapa di antaranya dinyatakan menang.

Ketua BPN KPO Perhimpunan Rakyat Pekerja, Mahendra Kusumawardana yang didaulat untut berorasi menambahkan, dibandingkan pejabat, kaum buruh lebih besar memberikan sumbangsihnya bagi negara dan bangsa. “Liat saja pejabat dan pengusaha kita, mereka hanya ongkang-ongkang kaki dan mendapat bayaran luar biasa besar. Sementara buruh yang bekerja membanting tulang setiap hari, hanya diupah sebesar UMK. Para pejabat yang gemar korupsi dan menghabiskan uang rakyat, sementara buruh bekerja dalam sistem kontrak dan outsourcing yang tidak memberikan kepastian kerja.”

Solusinya, menurut Mahe, demikian lelaki ini biasa dipanggil, hanya ketika kekuasaan berada di tangan buruh sajalah, maka kesejahteraan rakyat bisa dijamin.

Sejumlah perwakilan dari SPCI kemudian masuk dalam gedung Kemenakertrans untuk menyampaikan tuntutan. Diketahui, pihak Kemennakertrans mengeluarkan memo kepada Carrefour agar tetap mempekerjakan dua buruhnya dengan status PKWTT (Perjanjian Kerja Waktu Tak Tertentu) yang telah memenangkan kasusnya di PHI Bandung terkait pemutusan kontrak. (Jxm)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar