Petani Butuh Tanah, Bukan Tembakan!

Selasa, 12 Juli 2011

(Catatan Konflik Petani dan Aparatus Kekerasan Negara)

Senin ( 27/06/2011 ) lalu, ribuan masyarakat petani dan pengungsi eks konflik Aceh bentrok dengan aparat yang terdiri dari Polisi Kehutanan dan TNI/POLRI. Bentrokan yang berawal dari konflik pertanahan ini terjadi di kawasan yang diklaim pemerintah sebagai kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). ‘Perkakas perlawanan’ masyarakat yang terdiri dari parang, balok kayu dan batu, berhadapan peluru-peluru yang melesat dari moncong senjata laras panjang aparat. Dalam bentrok yang tidak seimbang ini, lima petani terluka terkena tembakan, dan kemudian harus dilarikan ke rumah sakit.

Bentrokan sebenarnya meletus akibat tindakan arogan dan sewenang-wenang dari aparat yang secara tiba-tiba dan diam-diam merobohkan tiga unit rumah dan menumbangkan tanaman sawit milik petani. Padahal sebelumnya, petani yang sebagian besar adalah eks pengungsi dari konflik Aceh ini sudah menyediakan ruang untuk berdialog dengan Kepala Balai TNGL Aceh/Sumut. Namun anehnya, pertemuan tersebut dibatalkan sepihak, dan malah digantikan tindakan kekerasan dari aparat. Dan memang, tindakan-tindakan kekerasan serupa telah berpuluh-puluh tahun sejak rezim orde baru, seakan menjadi tradisi aparat dalam menyelesaikan konflik tanah.

Pihak TNGL dengan santainya menyebut tindakan tersebut sebagai upaya “relokasi” yang sesuai hukum. Namun dalam logika relokasi tersebut pun, jika ditelisik, pihak TNGL sebagai perwakilan pemerintah ternyata sama sekali tidak menyiapkan lokasi penampungan yang layak sebagai kompensasi dari masalah sosial-ekonomi yang akan timbul. Sehingga sebenarnya, lebih tepat disebut ‘pengusiran paksa’ ketimbang relokasi.

Konflik Tanah Rentan Kekerasan Aparat

Konflik tanah bukanlah hal baru di negeri ini. Sejak orde baru, telah terjadi ribuan kasus konflik tanah antara rakyat dan pemerintah, dengan diiringi juga oleh ribuan kasus kekerasan oleh aparat yang mengiringinya. Perihal kekerasan ini adalah buah dari kebijakan orde baru yang sejak berkuasa telah menegasikan (baca: tidak menjalankan) UU Pokok Agraria 1960 yang berpihak kepada kaum tani, dan mengalihkannya dengan kebijakan-kebijakan sektoral tanah yang bertentangan dengan kedaulatan kaum tani, seperti UU Penanaman Modal Asing, UU Kehutanan, UU Pertambangan, dan lain-lain, yang berpihak kepada modal asing. Kebijakan-kebijakan tersebut sejatinya mencerminkan orientasi negara terhadap tanah yang tidak lagi “diperuntukkan bagi siapa yang membutuhkan dan mengerjakan tanah”, melainkan bagi investasi demi kemaslahatan “kaum pemodal” berikut demi devisa negara yang terus-menerus dikorupsi.

Orde baru telah dengan licik memanfaatkan kebijakan nasionalisasi aset-aset perusahaan Hindia-Belanda (di era Soekarno) untuk mengklaim tanah-tanah yang telah susah-payah dibuka dan dikelola rakyat bertahun-tahun, lalu menjadikannya sebagai “tanah negara” lewat Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hanya karena tidak memiliki bukti kepemilikan yang sah versi BPN, rakyat yang telah membuka lahan kemudian tidak dapat lagi mengakses tanah untuk mencukupi hidupnya. Hal ini tidak lain dimaksudkan agar tanah yang sudah diklaim sebagai “tanah negara” ini dapat mempermudah masuknya investasi lewat pemberian Hak Guna Usaha (HGU) maupun Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada perusahaan-perusahaan yang berkepentingan terhadap tanah dan potensinya.

Sejak itu, tanah merupakan sumber daya yang penting, bahkan bahian utama bagi negara untuk dieksploitasi demi kepentingan segelintir pemodal, atau yang lebih besar lagi, demi (menunjukkan) ketertundukan negara kepada imperialis. Wajar kemudian (dalam negara yang demikian ini) jika tentara beserta aparat-aparat tambahannya dikerahkan untuk “mengamankan tanah”. Penundukan demi penundukan yang militeristik terhadap kaum tani pun berlangsung massif.

Terjadinya reformasi yang menggulingkan rezim orde baru ternyata tidak serta-merta menghentikan tindakan kekerasan aparat dalam menyelesaikan konflik tanah. Pendudukan kembali tanah (reclaiming) oleh rakyat, khususnya terhadap tanah-tanah yang masa HGU dan HPH-nya telah habis setelah era reformasi, tetap saja ditangani aparat dengan kekerasan. Hal ini merupakan refleksi mendalam bagi perjuangan kaum tani di era reformasi, bahwa reformasi sejatinya tidak membuka demokrasi secara hakikat/esensial, yang memungkinkan tegaknya kembali kedaulatan kaum tani atas tanah dan terjadinya distribusi tanah secara merata, berkeadilan dan mensejahterakan oleh negara (baca: reformasi agraria), namun justru memassifkan kekuasaan kaum modal itu sendiri lewat pemberian jalan lapang bagi masuknya modal asing.

Tanah dan Kedaulatan Kaum Tani

Persoalan tanah yang menyulut banyak konflik hingga hari ini bukanlah sekedar persoalan persengketaan kepemilikan semata atas tanah. Namun lebih jauh dari itu, persoalan tanah adalah persoalan yang integral dengan masalah struktural di Indonesia, yaitu ketimpangan sosial dan pemiskinan.

Persoalan ketimpangan sosial yang dicerminkan oleh ketimpangan penguasaan atas tanah dapat dilihat dari fakta bahwa hampir 60% golongan yang dikategorikan sebagai kaum tani, hanya memiliki lahan seluas 0,2 sampai 1 hektar per oranng. Sedangkan 30% kaum tani adalah petani penggarap yang tidak memiliki tanah yang dapat dikelola secara rutin. Jika kita mengkaitkannya dengan logika pertambahan penduduk dan rendahnya produktivitas pertanian skala kecil akibat kapitalisasi pertanian, maka akan dapat dipastikan, semakin lama tanah akan semakin terkonsentrasi pada beberapa gelintir pemilik tanah/modal, dan semakin banyaknya petani yang tak memiliki tanah/penggarap.

Di sisi lain, kesempatan penguasaan lahan oleh kaum tani dibatasi sampai sekitar 23% dari total daratan Indonesia yang mencapai 192 juta hektar, yaitu sekitar 44 juta hektar (yang diantaranya dipergunakan untuk persawahan, pertanian kering, dan perkebunan). Karena sisanya, yakni 68% merupakan areal hutan, dan selebihnya dipergunakan untuk kepentingan lain-lain di luar budidaya tanaman. Dengan jumlah petani yang berkisar 44% dari penduduk bekerja (sekitar 46 juta jiwa) dari 105 juta penduduk yang bekerja, maka dapat dipastikan 90% masyarakat yang tergolong petani, yaitu 41,4 juta jiwa, maksimal hanya menguasai 26,4 juta ha tanah; sedangkan 10% nya, yaitu 4,6 juta jiwa, sedikitnya menguasai 17,6 juta ha. Sungguh-sungguh ketimpangan yang luar biasa.

Ketimpangan kepemilikan tanah diperparah keberpihakan negara kepada pemodal. Hampir setengah luas tanah yang masuk dalam areal hutan, ternyata sedang berada dalam pengelolaan ratusan perusahaan yang mendapatkan HPH dan kebijakan-kebijakan sejenis yang mengizinkan pemilik modal untuk masuk dan berinvestasi di areal hutan. Di saat yang sama, ketika berbagai konflik tanah yang memposisikan rakyat berhadapan dengan pemerintah, khususnya Perhutani (BUMN kehutanan), rakyat selalu saja dikalahkan dengan alasan hukum bahwa “tanah merupakan areal hutan”.

Kembali ke konflik tani-aparat di Aceh, ribuan warga yang mendiami area yang diklaim sebagai kawasan TNGL sebagian besar adalah pengungsi korban konflik Aceh yang tidak lagi mempunyai tempat tinggal, dan sisanya adalah warga sekitar yang sudah menetap lama di sekitar area tersebut, namun tidak lagi memiliki tanah. Artinya, secara hukum prosedural tanah tersebut memang bukan tanah milik masyarakat. Namun jika hal itu dijadikan alasan untuk mengusir paksa petani, maka timbul pertanyaan, mengapa dalam UU No 41/1999 investasi dari para pemodal tambang dengan pola tertutup di hutan lindung diperbolehkan masuk? Bahkan mengapa di beberapa area TNGL beberapa jenis investasi juga dapat masuk tanpa tindakan represi dari aparat? Jelas ini merupakan keberpihakan yang kasat mata dari pemerintah kepada pemilik modal, karena memang pemerintah mendapatkan “santunan” dari investasi tersebut.

Namun sekali lagi, logika bertahan tersebut hanya berguna jika memang tanah tersebut memang merupakan kawasan TNGL. Ironisnya hal itu juga sulit dibuktikan. Putusan Pengadilan Tinggi Sumut yang menangani konflik ini menyatakan kawasan yang ditempati warga eks korban konflik Aceh tidak berhubungan dengan TNGL dan merupakan tanah negara non-hutan lindung. Tidak hanya itu, kampanye yang digembar-gemborkan pihak pengelola TNGL dan pemerintah setempat bahwa petani dan pengungsi tersebut adalah perambah dan perusak hutan lindung juga bohong belaka. Sebelum masuk ke lokasi, kawasan tersebut dalam keadaan rusak parah. Kawasan tersebut sebelumnya dikelola PT Mulya Karya Jaya yang merupakan perusahaan kayu dan disertai illegal logging hutan seluas 47.000 ha sejak tahun 1991.

Tindakan ngotot dari pemerintah dan pihak TNGL mengusir paksa masyarakat mengundang pertanyaan serius, ada apa di balik pemaksaan ini? Seperti umum diketahui bahwa kawasan hutan merupakan kawasan yang sering bertabrakan dengan kawasan potensi tambang. Sehingga apakah penyingkiran paksa ini juga berhubungan dengan modal yang akan masuk?

Persoalan tanah yang terjadi di Langkat haruslah didudukkan dalam kerangka kesejahteraan kaum tani yang mengelola tanah. Sehingga mempertahankan tanah yang sudah bertahun-tahun dihuni serta yang telah dibangun fasilitas-fasilitasnya adalah sebuah keharusan perjuangan kaum tani di Langkat hari ini.

Petani, pun pengungsi, sangat membutuhkan dan mempertahankan tanah untuk bertahan hidup. Kebutuhan hakikat akan tanah dari banyak rakyat pekerja justru tidak membuat pemerintah melakukan pemerataan kepemilikian atas tanah yang sangat timpang. Mengapa dengan begitu banyaknya kasus konflik tanah tidak membuat pemerintah dengan segera menjalankan reformasi agraria yang sejati?

Tanpa menjalankan reformasi agraria, pemerintah bukan hanya akan menghadapi masuknya rakyat kedalam hutan-hutan untuk bertahan hidup. Suatu saat rakyat juga akan melakukan pendudukan atas pusat-pusat kekuasaan, bahkan pengambil-alihan kekuasaan yang telah gagal dijalankan untuk mensejahterakan. Saat itu, kaum buruh dan kaum tani benar-benar menjalankan Revolusi Agraria!

Mika Kibar Darmawan
Anggota KPO Perhimpunan Rakyat Pekerja 

1 komentar:

heri susilo mengatakan...

militer indonesia itu kayak bencong yg g punya kemaluan,berani nya sama orang sebangsa nya sendiri,tapi ketika berhadapan dengan negara lain,takut nya setengah mati,contohnya saja seperti penyanderaan WNI oleh perompak aja berakhir dengan tebusan,militer malaysia masuk wilayah kita,g berani ngusir.JANGAN HANYA BISA NYA NGUSIR ORANG KECIL,KALO EMANG MILITER MEMANG BERANI,MILITER MALAYSIA AJAK PERANG SANA.

Posting Komentar