Jaminan Sosial Tanpa Syarat bagi Rakyat Indonesia

Jumat, 22 Juli 2011

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 28H ayat (1) disebutkan bahwa, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Selanjutnya dalam ayat (3) menguatkan hak dasar tersebut yang menyebutkan, “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”.

Di sinilah peran dan tanggung jawab negara melalui pemerintah, dalam menjamin terlaksananya hak dasar warga negara untuk memperoleh perlindungan dan jaminan sosial. Pada Pasal 34 UUD 1945 ditegaskan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruah rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan (ayat 2), termasuk jaminan ketersediaan fasilitas kesehatan dan fasilitas layanan umum lainnya secara layak, adil dan bermartabat (ayat 3). Akan tetapi, fakta hari ini justru menjadi dilema dan problematika akut bagi rakyat, di mana tanggung jawab jaminan dan perlindungan sosial tersebut semakin terabaikan oleh negara. Tanggung jawab tersebut justru tergadai oleh kepentingan bisnis, dengan membebankan tanggung jawab tersebut secara langsung kepada rakyat, melalui beban pembayaran iuran/premi untuk mendapatkan pelayanan sosial mencakup kesehatan, kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan lainnya.

Saat ini, DPR bersama Pemerintah, tengah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang merupakan perintah dari Undang-Undang nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, untuk segera mengesahkan suatu badan pengelola dan penyelenggara jaminan sosial (Pasal 5). Meski kemudian terjadi perbedaan pendapat antara DPR dan pemerintah dalam hal bentuk badan pelaksana jaminan sosial, namun toh pertentangan tersebut tidaklah menyentuh substansi pokok permasalahan rakyat Indonesia.

Keributan mengenai disatukan atau tidaknya empat BUMN hanya menutupi perspektif rejim dan elite-elite politik yang melihat BUMN sebagai ladang rampokan untuk memperkaya diri, memenangkan jabatan tertentu ataupun pemilu. Kampanye besar-besaran mengenai seluruh rakyat mendapatkan jaminan sosial gratis tanpa syarat menutupi kenyataan pasal-pasal dalam RUU BPJS dan UU SJSN yang memaksa kelas buruh yang upahnya sudah rendah untuk kembali dipotong untuk jaminan sosial, sama seperti yang terjadi sekarang.

Sementara dikatakan bahwa rakyat yang dikategorikan miskin akan dibiayai oleh negara. Pun demikian kategori rakyat miskin tersebut selalu coba direndahkan oleh Rejim SBY-Boediono demi membenarkan pencitraan bahwa pembangunan yang mereka lakukan telah menurunkan jumlah rakyat miskin.

Persoalan investasi menggunakan iuran rakyat dalam sektor finansial menutupi kenyataan bahwa rejim yang berkuasa tidak pernah mampu untuk mengontrol konsekwensi dari sistem pasar bebas yang mereka terapkan. Lihat saja bagaimana ketika terjadi krisis ekonomi, bukannya melindungi rakyat yang semakin miskin akibat krisis, rejim berkuasa justru menggelontorkan triliunan rupiah uang melalui BLBI ataupun bailout kepada para pemilik modal. Uang rakyat yang kemudian justru dibawa lari oleh para pemilik modal tersebut.

Kemiskinan yang merajalela, tidak adanya akses kesehatan, pendidikan yang layak, perumahan layak, upah yang mencukupi kebutuhannya, adalah akibat dari tatanan sosial ekonomi kapitalisme yang dijalankan sejak Rejim Soeharto berkuasa. Tatanan sosial ekonomi kapitalisme telah memaksa negeri Indonesia yang demikian kaya dengan sumber daya alam dan manusia menjadi negeri miskin. Sumber daya alam dirampok oleh modal internasional sementara manusia Indonesia diupah murah atau dijual ke luar negeri. Lihat saja bagaimana negara mengobral minyak bumi, batu bara dan bahan tambang lainnya kepada modal internasional.

Untuk menutupi kebobrokan sistem kapitalisme neoliberal yang dijalankan oleh Rejim SBY-Boediono maka dengan berpura-pura mereka dengan para elite partai politik meributkan jaminan sosial melalui UU SJSN maupun RUU BPJS.

Sejatinya UU SJSN maupun RUU BPJS hanya menunjukan, Pertama, yang lebih dikedepankan adalah kepentingan bisnis, daripada perwujudan hak dasar rakyat. Peraturan tersebut memaksa rakyat untuk menghimpun dana melalui iuran wajib demi mendapatkan pelayanan sosial. Ini jelas merupakan bisnis asuransi terselubung yang sedang dilakoni oleh negara melalui pemerintah dan DPR.

Kedua, UU SJSN dan RUU BPJS jelas merupakan upaya lepas tangannya negara dalam menjamin terlaksananya hak jaminan sosial bagi warga negara. Beban ini kemudian dialihkan kepada rakyat dengan dibungkus alasan partisipasi, gotong royong dan lainnya. Dengan demikian, kedua peraturan ini jelas telah membelokkan kewajiban negara untuk membiayai jaminan sosial rakyat, menjadi kewajiban rakyat untuk mendanai diri mereka sendiri melalui iuran jaminan sosial. Ini jelas merupakan bentuk praktik ketidakadilan, apalagi di tengah angka kemiskinan rakyat yang semaki tinggi.

Ketiga, UU SJSN dan RUU BPJS yang menerapkan upaya penarikan dana masyarakat melalui kewajiban pembayaran iuran, jelas merupakan bentuk sentralisasi kapital (penumpukan uang), yang hanya akan semakin memperkaya dan menggemukkan sektor finansial dan modal asing, sementara masyarakat kian dimiskinkan. Kita tahu bahwa, dana yang dikelola empat BUMN (Jamsostek, Askes, Asabri dan Taspen) sangatlah besar, yaitu sekitar Rp 190 triliun. Dan selama ini dana tersebut tidak transparan dalam pengelolaan dan penggunaannya. Ratusan bahkan jutaan rakyat, tidak tahu menahu digunakan untuk apa saja iuran yang telah mereka bayarkan.

Untuk itu, kami dari Komite Penyelamat Organisasi Perhimpunan Rakyat Pekerja (KPO – PRP), menyatakan sikap untuk :
  1. Cabut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, serta tolak penetapan Rancangan Undang-undang Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS), sebab baik undang-undang maupun rancangan undang-undang ini tidak mencerminkan semangat perwujudan hak dasar bagi seluruh rakyat Indonesia, berdasarkan amanah konstitusi negara. Di samping itu, prinsip pengelolaan jaminan sosial yang diatur dalam UU SJSN dan BPJS merupakan profit oriented dimana masyarakat dipaksa menghimpun dana melalui iuran, yang selanjutnya akan diinvestasikan ke sektor finansial.
  2. Menyerukan kepada semua elemen masyarakat (buruh, petani, nelayan, kaum miskin perkotaan), agar merapatkan barisan dan bergerak bersama menuntut pelaksanaan jaminan sosial tanpa syarat apapun. Segala regulasi atau peraturan (UU SJSN, RUU BPJS), yang pada hakekatnya justru mengebiri hak jaminan sosial rakyat, harus kita tolak.
Apa yang dibutuhkan oleh rakyat sekarang adalah tatanan ekonomi politik kerakyatan/sosialis. Di mana rakyat melalui organisasi-organisasi rakyatnya dari tingkat paling rendah hingga nasional mengontrol seluruh sumber daya alam bangsa ini. Organisasi-organisasi rakyat yang ditempa dari perjuangan sehari-hari rakyat untuk mendapatkan hak-haknya bukan partai-partai elite politik yang berjanji manis di pemilu namun korup sepanjang masa.

Rakyat bersama-sama secara demokratis harus dapat menentukan penggunaan sumber daya tersebut demi kesejahteraan rakyat sendiri. Beberapa hal mendesak yang harus dilakukan, yaitu nasionalisasi aset vital, membangun industri nasional dan penghapusan hutang, agar kemudian terdapat sumber daya untuk memberikan pendidikan dan kesehatan gratis yang berkualitas serta jaminan hari tua.

Sosialisme, Jalan Sejati Pembebasan Rakyat Pekerja!
Sosialisme, Solusi Krisis Global Kapitalisme!
Bersatu, Bangun Partai Kelas Pekerja!


Badan Pekerja Nasional
Komite Penyelamat Organisasi - Perhimpunan Rakyat Pekerja
(KPO - PRP)

Jakarta, 22 Juli 2011

Ketua
Mahendra Kusumawardhana (085716280745)

Sekretaris Jenderal
Asep Salmin

2 komentar:

supriadi sayrnoebi yakin mengatakan...

saya sangat mendukung pernyataan ini, mari bersama-sama untuk menyatakan revisi total UU-SJSN.

wong solo mengatakan...

sejak awal, uu no 3 th 1993 ttg jamsostek adalah pembohongan publik, dgn kalimat jaminan sosial tenaga kerja adalah perubahan dari asuransi tenaga kerja [astek] Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja, agar di...luruskan jaminan sosial tidak berbayar, jika berbayar adalah asuransi, seperti hal nya jamsostek berbayar maka sejatinya jamsostek itu asuransi, berkaca dari jamsostek yang memakai kata jaminan adalah perubahan dari asuransi tenaga kerja, karena dengan kalimat jaminan terjadi pembiasan, jangan sampai dengan kata jaminan yang terjadi adalah asuransi berbayar premi, itulah mengapa tni polri dengan asuransri ABRI [asabri] tidak berubah menjadi jaminan ABRI [jamasbri], karena berbayar atau premi, dasar asabri Peraturan Pemerintah Nomor : 67 Tahun 1991 tentang Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Lembaran Negara RI Tahun 1991 Nomor 87). karena tni polri punya bedil tidak mau dibohongi rezim soeharto, atau tidak mau membohongi diri sendiri, nha buruh lah yang dibohongi, astek jadi jamsostek, jelas telah terjadi ketimpangan, dengan kata jaminan ternyata akhirnya berbayar premi, contoh jamsostek, sementara dengan kata asuransi [asabri] tni polri premi disubsidi negara

Posting Komentar