Angga : Ke Depannya, Demo Petani Harus Terpimpin dan Terorganisir

Senin, 18 Juli 2011

Aktor penting dalam unjuk rasa petani tembakau di depan Istana Negara dan Gedung DPR/MPR (13/7/2011) adalah Angga Sulistia Putra, salah satu koordinator lapangan yang juga aktivis KPO Perhimpunan Rakyat Pekerja Komite Kota Cimahi, Jawa Barat. Tanpa mengenal rasa lelah, bergantian dengan orator dan korlap lainnya, Angga – demikian laki-laki kelahiran 1985 ini biasa dipanggil – terus menyemangati petani tembakau agar tetap fokus mengikuti aksi. Maklum, para petani yang kebanyakan berasal dari desa-desa di Jawa Tengah itu mesti melawan sinar matahari yang begitu menyengat siang itu. Jangan lupa, mereka terbiasa tinggal di daerah pegunungan yang sejuk.

Bagaimana rasanya memimpin ribuan massa petani berdemonstrasi? “Rasanya? Wew! Hehe. Jujur saja, aku mendapat kesan dan tantangan tersendiri untuk memimpin tani berdemonstrasi. Aku mendapatkan pengalaman luar biasa dalam menghadapi emosi massa yang cepat panas, cepat pula cair dan dingin,” ujar Angga pada rakyatpekerja.org.

Ribuan petani yang tergabung dalam Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) ini “susah-susah” demo di Jakarta demi menuntut pembatalan rencana pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Dampak Produk Tembakau bagi Kesehatan dan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau. Menurut Angga yang bekerja lepas sebagai desain grafis dan IT marketing, RUU dan RPP ini bakal sangat merugikan rakyat di berbagai sektor. Sektor pertanian tembakau, di samping industri rokok yang melibatkan ratusan ribu buruh, akan menerima kerugian di balik regulasi tersebut jika disahkan.

Nah, ternyata cukup banyak halangan yang harus dihadapi Angga saat mengomandoi aksi massa petani tembakau tersebut. “Kesulitan yang paling jelas adalah mengatur barisan massa aksi agar tidak cair dan berfokus ke mobil komando. Perangkat aksi pun jumlahnya kecil sehingga menyulitkan bantuan koordinasi di tengah massa,” kata Angga. Namun berkat pengalaman dirinya dalam aksi-aksi kecil hingga besar, berbagai kesulitan tersebut relatif bisa diatasi.

Salah satu masalah mendadak yang dihadapi di awal-awal aksi adalah pergantian mobil komando. Seluruh perangkat audio dipasang di sebuah truk besar ternyata tidak diijinkan polisi. Karena aksi ini aksi damai, digantilah truk besar sebagai mobil komando ke truk yang lebih kecil, dengan konsekuensi daya audio pun berkurang separuhnya. Lebih-lebih, pemasangan ulang perangkat audio memakan banyak waktu dan menyebabkan massa bergerak tanpa kendali. Untunglah, pemasangan tersebut akhirnya rampung dan mobil komando dapat memimpin pergerakan massa dari Masjid Istiqlal ke Istana Negara.

Meskipun akhirnya aksi petani tersebut berlangsung lancar dan tanpa insiden yang berarti, massa kaum tani tetap saja terlihat sulit diatur, tidak seperti aksi kaum buruh misalnya. Bagi lelaki alumnus Fikom Unpad Bandung ini, hal tersebut ternyata bisa dimaklumi. “Bagiku menjadi kewajaran tersendiri karena massa tani jarang melakukan aksi-aksi massa yang berkelanjutan, tidak seperti massa buruh. Memang sekalinya turun aksi, jumlah massanya biasanya besar, namun besarnya massa ditambah kesadaran keterpimpinan massa masih kurang, menyebabkan massa sulit diatur.”

Untuk mengantisipasi kejadian serupa di masa yang akan datang, Angga berharap ada treatment khusus bagi para petani. “Perlu ada pembelajaran manajemen aksi massa di basis tani dan tentu melakukan aksi-aksi massa di daerah-daerahnya agar menjadi ‘ajang latihan’ aksi massa yang terpimpin dan terorganisir. Di dalam aksi besarnya sendiri, mungkin bisa juga memakai metode-metode tertentu agar lebih dinamis dan terfokus ke depannya.”

Kira-kira apakah memang ribut-ribut RPP dan RUU anti-tembakau ini masih akan terus terjadi? “Kukira kemungkinan itu masih tetap ada. Kita lihatlah beberapa waktu ke depan bagaimana DPR dan rezim SBY menanggapi suara rakyat yang meneriakkan fakta bahwa RUU dan RPP tersebut tidak berpihak kepada rakyat,” katanya.

Dan jikalau rezim hari ini masih tetap menutup telinga dan matanya, ku yakin ini makin membuat rakyat geram dan sekaligus memperlihatkan wujud asli rezim SBY sebagai perpanjangan tangan dari penjajah gaya baru (neoliberalisme) yang hanya mementingkan arus modal dan keuntungan monopoli asing, dengan mengorbankan masa depan kehidupan rakyatnya sendiri, khususnya petani tembakau, buruh tani dan buruh pabrik rokok,” kata lelaki yang hobi naik gunung ini mengakhiri perbincangan (Jxm).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar