Perlawanan Petani Tembakau Melawan Kebijakan yang Menindas

Senin, 18 Juli 2011

Udara Jakarta benar-benar tidak biasanya pada Rabu (13/7/2011). Hawa panas demikian menyengat, dan sengatan itu mungkin makin terasa bagi rezim berkuasa lantaran ribuan petani tembakau dari berbagai daerah yang memenuhi jalan-jalan utama di seputar pusat kekuasaan. Ya, petani tembakau itu tengah berlawan menghadapi sejumlah kebijakan rezim yang bakal semakin mempersulit kehidupan mereka di masa depan.

Setelah beristirahat sejenak di Masjid Istiqlal, lebih dari 6000 petani tembakau bergerak penuh semangat. Arak-arakan ribuan petani plus pedagang asongan, aktivis serikat buruh itu praktis menutup jalan menuju Istana Negara. Setelah tiba di depan Istana yang dijaga ketat ribuan aparat kemanan beserta kawat besinya itu, pendemo berkumpul dan bergantian menyampaikan orasi. Para petani dan pendukungnya ini tergabung dalam Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) untuk menggagalkan pengesahan RUU dan RPP anti-tembakau

Adalah Rancangan Undang-undang (RUU) Dampak Produk Tembakau bagi Kesehatan dan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau yang pengesahannya sedang dilawan petani tembakau tersebut. Dua kebijakan ini diklaim dapat meruntuhkan hajat penghidupan jutaan orang yang terkait pertembakauan, seperti petani tembakau, buruh rokok hingga pedagang asongan.

Kedatangan kami ke Jakarta ini dikarenakan pemerintah lagi-lagi melakukan sikap yang keblinger dan salah kaprah merugikan rakyatnya. Rencana pembuatan kebijakan mengenai tembakau menjadi alasan dasar kami untuk berjuang kembali melawan ketidakadilan yang dilakukan pemerintah. Pasalnya regulasi tembakau ini akan membawa dampak bagi banyak kalangan masyarakat. Dari sekian dampak yang akan di tanggung oleh masyarakat atas regulalsi tembakau yang saat ini sedang dalam proses akan berujung pada keberlangsungan kepulan asap dapur masyarakat,” ujar Dina Hariyani, penanggung jawab aksi mogok makan yang menyertai aksi petani ini.

Dina menambahkan, Kabupaten Temanggung merupakan salah satu daerah penghasil tembakau, dari 20 kecamatan terdapat 14 kecamatan daerah penghasil tembakau. Luas lahan tanaman tembakau sekitar 15.000 hektare yang melibatkan 48.000 keluarga petani tembakau. “Bisa dipastikan jika regulasi tembakau tersebut disahkan, 48.000 keluarga akan dihadapkan dengan ancaman kemiskinan yang berujung pada berhentinya kepulan asap dapur keluarga petani tembakau,” katanya.

Sementara itu, peserta aksi lainnya yang juga petani tembakau dari Temanggung, Wahdi mengatakan, “Juli sampai September merupakan masa panen tembakau. Pada masa ini perekonomian masyarakat Temanggung akan bergeliat. Nah, kalau ada pembatasan, dampaknya akan dirasakan ribuan orang.”


Menurut Wahdi, rumah perajang daun tembakau minimal mempekerjakan 4 sampai 70 orang. Tembakau dari daerah lainnya seperti Garut, Jawa Barat, juga dirajang di Temanggung. ”Membatasi perokok, otomatis membuat penghasilan petani merosot,” katanya.

De-industrialisasi dan Sentimen Asing

Tekanan internasional yang bertubi-tubi dan disertai dengan dukungan keuangan dalam jumlah besar adalah salah satu penyebab mendasar pemerintah mengeluarkan UU kesehatan No 36 Tahun 2009 yang mendudukkan nikotin tembakau sebagai zat adiktif. Atas dasar alasan perspektif kesehatan “satu dimensi” ini pula, pemerintah menaikkan cukai tembakau secara berkala yang menyebabkan ribuan perusahaan kecil dan menengah yang bergerak dalam sektor industri olahan tembakau gulung tikar. Jumlah unit usaha rakyat yang bergerak di sektor industri tembakau menurun dratis, yakni jika pada tahun 2008 ada 4.793 perusahaan maka pada tahun 2009 turun menjadi sekitar 3.255 (Depkeu, 2010).

Celakanya, penyusutan jumlah industri usaha rakyat yang bergerak di sektor tembakau ini membawa konsekuensi terjadinya pengambil-alihan pangsa pasar rokok nasional oleh perusahaan rokok asing. Di Indonesia dua perusahaan rokok terbesar nasional telah dikuasai oleh perusahaan asing, Philip Morris mengambil-alih kepemilikan perusahaan Sampoerna dan British American Tobacco mengambil-alih kepemilikan perusahaan Bentoel.

Padahal, industri rokok telah membentuk dan memperkuat wajah industri nasional dalam negeri yang tumbuh di atas kekuatan kaki (baca: struktur) bangsa sendiri. Dengan penguasaan pangsa pasar domestik kretek yang mencapai 93% persen, dengan sedikit penelitian lapangan maka dapat dengan mudah ditemukan bahwa industri kretek nasional merupakan industri yang sedikit sekali menggunakan bahan baku impor.

Data dari ILO (International Labour Organization), jumlah tenaga kerja yang terlibat langsung dengan industri rokok Indonesia mencapai 10 juta orang (ILO, 2003). Sedangkan, menurut data penelitian Serad (2009), sektor-sektor yang berhubungan secara tidak langsung dengan industri rokok ini sanggup menyerap setidaknya 24,4 juta tenaga kerja. Dengan tambahan tenaga kerja paskapanen, industri rokok putih, dan juga mata rantai distribusi dan ecerannya, kita dapati serapan tenaga kerja di industri rokok ini kisarannya mencapai 30,5 juta orang, 25% dari total tenaga kerja nasional pada tahun 2009 atau sekitar 13% dari total penduduk Indonesia.

Dicurigai, baik UU Kesehatan No 36 Tahun 2009 maupun RUU dan RPP Tembakau, di mana isi draf materi regulasi tersebut sebenarnya merupakan adopsi secara menyeluruh terhadap rumusan Framework Convention on Tombacco Control (FCTC). Padahal, jika didedah secara kritis, kesejarahan kelahiran FCTC tidak terlepas dari peran ‘sindikasi internasional’ dari kelompok kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional farmasi.

Berbagai Jenis Perlawanan

Selain aksi massa yang melibatkan ribuan petani dan buruh, keseriusan perlawanan ini terlihat dari bentuk-bentuknya. Sekitar 25 petani perempuan melakukan aksi mogok makan selama lima hari, tiga hari di Temanggung dan sisanya dilakukan di Jakarta. Dari release-nya, KNPK menyatakan, “Aksi mogok makan ini memang menjadi pilihan sadar kami dan perlawanan atas ancaman regulasi anti-tembakau yang saat ini sedang dalam proses.”

Awalnya, mogok makan di Jakarta hendak dilangsungkan persis di depan Gedung DPR/MPR, Senayan. Tenda dan tikar pun telah disiapkan. Namun represi aparat kemanan yang berlebihan, membuat aksi di depan mata ‘wakil rakyat’ itu urung terjadi. Meskipun begitu, bukan berarti aksi mogok makan dihentikan. Para peserta yang terdiri dari ibu-ibu itu dilanjutkan di Komnas HAM.

Setelah lima hari bergelut dengan rasa lapar, puluhan peserta mogok makan ini kemudian bergabung dengan ribuan sejawatnya di Istana Negara.

Di dalam aksi massa di depan Istana, ada pula kesenian tradisional ‘jathilan’ yang sengaja berpentas di hadapan ribuan pasang mata petani. Puluhan laki-laki dengan berbagai atribut yang semarak menari-nari dengan trengginas. Digambarkan pula sosok ‘raksasa jahat’ yang menjadi obyek perlawanan rakyat.

Di akhir aksi di depan hidung SBY-Boediono itu, peserta aksi menanam sejumlah tanaman tembakau hidup sebagai simbolisasi betapa penting keberadaan tanaman tersebut bagi rakyat Indonesia.

Aksi kemudian dilanjutkan ke Gedung DPR di Senayan. Dan tetap saja, panas menyengat mengiringi aksi petani tembakau ini hingga berakhir (Jxm).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar