JGMK: 10 November, Saatnya Satukan Kekuatan Rakyat, Hancurkan Neoliberalisme!

Kamis, 10 November 2011

  • Resista (Yogyakarta),   
  • Gerakan Mahasiswa Pro Demokrasi (Medan),
  • Konsentrasi Mahasiswa Progresif (Samarinda),  
  • Barisan Pemuda dan Mahasiswa Progresif (Sumbawa Besar),
  • Sentra Gerakan Mahasiswa Progresif (Pol – Man),
  • Front Mahasiswa Demokratik (Makassar).

10 November, Saatnya Satukan Kekuatan Rakyat, Hancurkan Neoliberalisme!

           Indonesia bahkan dunia tak akan pernah bisa melupakan peristiwa bersejarah dimana tentara dan rakyat bahu membahu mempertahankan revolusi Indonesia dari gempuran imperialisme yang ingin kembali menjajah dan menghisap seluruh sumber daya yang terkandung dalam sebuah Negara yang selama 350 tahun berjuang untuk meraih kemerdekaannya. Sebuah peristiwa yang nantinya mampu menjadi tonggak sejarah rakyat Indonesia yang menolak tunduk pada kekuasaan Negara imperialis yang di wakali oleh Inggris dan Belanda, sejarah Indonesia mencatat bahwa awal berkobarnya perang di Surabaya ini akibat terbunuhnya Jendral AWS Mallaby, namun sejatinya ini hanyalah salah satu alasan bagi Negara imperialis untuk kembali menancapkan taringnya di bumi Indonesia yang kaya akan bahan mentah industri di Eropa.

            Ultimatum tentara Inggris agar rakyat Indonesia menyerahkan diri serta melucuti persenjataan adalah bentuk pemaksaan kehendek pada Negara yang merdeka dan dianggap sebuah tindakan yang sangat melecehkan bangsa Indonesia. Sikap tegas untuk menolak segala bentuk penaklukan atas Negara yang merdeka serta berdaulat. Terus bertempur mengangkat senjata adalah bukti konkrit bahwa kita adalah bangsa yang berdaulat dan menolak imperialisme kembali menjajah Indonesia. Walaupun Tentara Keamanan Rakyat (TRI) lahir di revolusi Agustus 1945 yang adalah cikal bakal Tentara Nasional Indonesia tapi pasca militer Indonesia jatuh ke tangan Jendral Jendral reaksioner seperti Soeharto dan Nasution maka militer kita tak ubahnya alat represi dan penjaga modal sehingga tak heran dalam setiap tindakan pelanggaran HAM dan upaya penjagaan asset pemodal yang senantiasa menindas kelas pekerja militer selalu berada di barisan terdepan menghadapi dan menghancurkan gerakan rakyat.

            Masih segar dalam ingatan kita militer Indonesia mengatasnamakan menjaga ketertiban dan keamanan NKRI melakukan serangkaian tindakan represif dan tak jarang penembakan yang berujung pada kematian makin menunjukan watak asli dari militer yang reaksioner anti gerakan rakyat dan pemahaman nasionalisme sempit, seperti di Aceh, Timor Leste dan terakhir penembakan atas buruh PT Freeport yang menuntut kenaikan gaji. 14 juta dolar/tahun adalah harga yang pantas di berikan bagi tetesan darah rakyat Papua. Dan jutaan rakyat Indonesia yang menuntut serta menginginkan penghancuran sistem yang menindas yaitu kapitalisme. Bisnis keamanan yang lebih menggiurkan daripada melindungi kepentingan ekonomi politik rakyatnya sendiri.

            Makna kepahlawanan dari peristiwa 10 November mempertahankan kemerdekaan dan lepas dari jerat imperialisme yang kini harus dibayar mahal dengan Pengkhianatan rezim neoliberalisme SBY-Boediono beserta antek anteknya di parlemen yang menjual seluruh asset negeri pada para pemilik modal sehingga menyebabkan seluruh rakyatlah yang menanggung kesengsaraan. Di sektor perburuhan bisa kita lihat maraknya PHK missal, pemberlakukan sistem kerja kontrak dan outsourching beserta upah murah. Petani yang lahanya terus di gusur baik untuk pemodal baik di bidang properti,tambang dll,tak cukup sampai disitu di sektor pendidikan pun pemerintah mulai lepas tangan dan meliberalisasikan melalui paket Rancangan UU Perguruan Tinggi yang makin membuat pendidikan mahal nan sulit di jangkau di tengah semua sektor rakyat tertindas di bunuh secara perlahan.

            Di tengah tengah gejolak perlawanan rakyat yang makin gencar menuntut kesejahtraan,perubahan sistem kapitalisme pemerintah melalui apparatus keamananya semakin represif dalam berbagai upaya penghancuran gerakan rakyat, pentungan dan moncong senjata tak segan segan diarahkan kepada rakyatnya sendiri. Jika pada peristiwa 10 November 1945 pasca Surabaya di bombardier, rasa solidaritas, persatuan dan jiwa patriotisme semakin menguat bahkan meluas ke seantero Indonesia, kondisi ini pula lah yang di alami sekarang. Rakyat, bukan hanya di Indonesia mulai perlahan lahan sadar bahwa sistem yang menindas hari ini yaitu Kapitalisme harus segera di tumbangkan dalam sebuah perjuangan yang lintas sektor. Oleh karena itu kami dari Jaringan Gerakan Mahasiswa Kerakyatan menyatakan sikap:

  1. Rezim SBY – Boediono beserta partai partai borjuasi terbukti gagal dalam menjalankan cita cita Revolusi Indonesia terutama dalam membangun Negara yang kuat serta mandiri lepas dari belenggu imperialisme
  2. Menolak segala praktek militerisme di Indonesia
  3. Rakyat Indonesia sudah saatnya bersatu membangun alat politiknya sendiri untuk menghancurkan kapitalisme
  4. Wujudkan pendidikan gratis, ilmiah, demokratis dan berwatak kerakyatan!
            Saat ini ketika kapitalisme masih bercokol di negeri ini maka yang menjadi korban langsungnya adalah rakyat pekerja, dan cita cita serta perjuangan revolusi kemerdekaan telah dikhianati oleh rezim neolib SBY-Boediono beserta partai partai borjuis yang senantiasa menghamba pada imperialis asing yang hanya bisa menghisap seluruh sumber daya di Indonesia sampai tak bersisa sedikitpun.

            Segala praktek militerisme juga tak akan bisa di hapuskan sampai rakyat Indonesia, buruh tani,mahasiswa,rakyat miskin kota mampu menyatukan dirinya dalam sebuah alat perjuangan politiknya sendiri untuk merebut kekuasaan dari tangan rezim neoliberalisme dan melakukan perlawanan terhadap gempuran imperialisme! Saatnya rakyat bersatu dan bangkit melawan!

Jaringan Gerakan Mahasiswa Kerakyatan
Samarinda, 8 November 2011

Ketua JGMK
Daniel Pay Halim

Sekretaris JGMK
Nalendro Yoyok Priambodo

Contact Person :
Email : mahasiswakerakyatanj@yahoo.com
0857 2925 2134, 0852 5080 0567

Tidak ada komentar:

Posting Komentar