Melihat “Pemogokan” Buruh Maskapai Penerbangan Qantas

Minggu, 13 November 2011

Perjuangan buruh Qantas, maskapai penerbangan Australia, yang berakhir dengan keputusan dari Fair Work Australia untuk menghentikan semua aksi industrial memberikan pelajaran kepada klas buruh kenapa kita tidak bisa mempercayai hukum yang dibuat oleh Negara para pemilik modal. Demikian mempertegas alat dan metode perjuangan klas buruh sesungguhnya.
Persoalan di Qantas mulai mengalami esklasi setelah muncul berencana untuk mendirikan perusahaan (atau cabang) baru di Asia. Bagian dari kebijakan tersebut adalah untuk memecat 1.000 orang buruh, mempekerjakan buruh baru dengan upah rendah serta tidak ada batasan terhadap jumlah pekerja outsourcing. Mempertahankan agar buruh di maskapai anak Qantas, yaitu JetStar tetap diupah rendah.
Sementara itu disisi yang lain setelah proses negosiasi yang panjang aksi-aksi industrial sederhana mulai dilakukan oleh serikat-serikat buruh yang mewakili buruh Qantas dalam kerangka menghasilkan Perjanjian Kerja Bersama baru.[1] Tuntutan mereka rata-rata adalah kenaikan upah sebesar 5 persen. Serikat-serikat yang mewakili buruh Qantas adalah Australian and International Pilots Association mewakili pilot, Australian Licensed Aircraft Engineers Association mewakili teknisi serta Transport Workers Union mewakili staff didarat.  Aksi-aksi industrial yang mereka lakukan antara lain seperti para pilot mengenakan dasi merah dan membuat pengumuman didalam pesawat atas apa yang mereka perjuangkan, sementara para staf didarat membuat ancaman akan melakukan mogok selama beberapa jam dalam hari-hari tertentu dan para teknisi menolak melakukan kerja lembur.
Perusahaan tetap kekeh menolak permintaan serikat buruh dan pertarungan memuncak ketika Alan Joyce memutuskan melakukan Lock Out pada tanggal 29 Oktober. Hal tersebut mengakibatkan pembatalan seluruh penerbangan dan ribuan penumpang yang menggunakan Qantas terlantar diberbagai bandara didunia. Pemerintah Australia kemudian turun tangan melalui Fair Work Australia[2] memutuskan semua aksi industrial harus dihentikan serta illegal jika dilakukan. Serta serikat buruh serta pengusaha Qantas kembali melakukan perundingan. Keputusan ini mungkin bagi banyak orang adalah hal yang bagus karena kemudian pemerintah memaksa agar pengusaha bernegosiasi dengan serikat buruh sehingga tidak ada kerugian bagi perusahaan, serikat buruh ataupun penumpang Qantas.
Sejak awal perjuangan buruh Qantas hingga keluar keputusan dari Fair Work Australia Kampanye kambing hitam terhadap serikat buruh di Qantas terus dilakukan. Perusahaan bersama dengan media massa dan pemerintah Australia melakukan kampanye hitam terhadap “pemogokan” yang dilakukan oleh buruh Qantas. Menteri Pariwisata, Martin Ferguson dan PM Julia Gillard mengancam akan melakukan intervensi terhadap tindakan serikat buruh dan bahkan menuduh salah satu pemimpin serikat buruh tidak nasionalis dan tidak pro Australia. Kampanye menakut-nakuti ini juga dengan menyatakan bahwa industri pariwisata Australia senilai 94 miliar AUD terganggu oleh aksi “pemogokan” buruh. Paska Lock Out Alan Joyce mengatakan bahwa dia tidak punya pilihan lain, untuk menghadapi “pemogokan” buruh karena yang dilakukan oleh serikat buruh adalah ekstrim, mengancam kebangkrutan perusahaan serta merugikan penumpang dan rakyat Australia.  
Namun sejatinya para pemilik modal hanya khawatir, keuntungan mereka mengecil ketika memenuhi tuntutan kenaikan upah. Karena disaat bersamaan dengan tuntutan para buruh, Konferensi Tahunan Pemegang Saham Qantas pada tanggal 28 Oktober memutuskan memberikan CEO Qantas, Alan Joyce kenaikan gaji sebesar 71 persen menjadi 5 juta AUD pertahun. Sementara itu Qantas juga memfinalisasi “pembelian terbesar dalam sejarah penerbangan Australia” dengan membeli 110 buah Airbus A320 baru senilai 9 miliar AUD untuk digunakan di cabang perusahaan mereka di Singapura. Sementara itu pada tahun 2010 Qantas mendapatkan keuntungan sebesarr 531 juta AUD sebelum dipotong pajak.
Keputusan Fair Work Australia sejatinya telah menghilangkan kekuatan klas buruh untuk memenangkan negosiasi yaitu aksi-aksi industrial. Dalam sistem kapitalisme yang ada sekarang baik di Australia maupun Indonesia hubungan antara buruh dan pengusaha bukanlah hubungan yang sejajar sehingga persoalan yang timbul dapat diselesaikan dengan negosiasi semata. Negosiasi yang nyatanya telah dilakukan berkali-kali sebelum “pemogokan” ataupun “lock out”. Dengan dilarangnya aksi-aksi industrial oleh Fair Work Australia maka perusahaan Qantas dapat melanjutkan rencana PHK massal, oursourcingnya dan upah rendahnya. Karena serikat buruh hanya bisa membuat keluhan, mengajukan protes tertulis, meminta pertemuan untuk negosiasi ataupun hal-hal lain yang bukan merupakan aksi industrial. Sementara perusahaan dapat dengan mudah menolak protes, keluhan ataupun permintaan serikat buruh dan melanjutkan kebijakannya begitu saja.  
Kapitalisme adalah sistem dimana kekuasaan politik berada ditangan para pemilik modal. Hal tersebut tercermin dalam produk hukum ada, kebijakan apapun yang dikeluarkan oleh pemerintah hingga keberpihakan Negara dan kesadaran umum yang ada. Demikian juga hukum dan kebijakan perburuhan yang ada di Australia dibuat untuk melindungi para pemilik modal. Dimana salah satunya pernah diterapkan apa yang disebut dengan Work Choice sebelum Fair Work Australia.  Dalam Work Choice tersebut diatur bahwa jika didalam satu perusahaan telah ada perjanjian kerja oleh satu orang buruh saja maka serikat buruh tidak dapat masuk kedalam perusahaan tersebut, tidak dapat membuat Perjanjian Kerja Bersama ataupun melakukan pengorganisiran. Sekarang diterapkan sistem yang disebut dengan Fair Work Australia dimana aksi-aksi industrial sebagai senjata klas buruh begitu dibatasi.
Sementara itu pemilik modal mendapatkan keuntungan dari menekan upah buruh serendah mungkin. Ini yang dilakukan oleh pengusaha Qantas dengan rencana pemindahan perusahaannya ke Asia karena alasan utama tersedianya buruh-buruh yang murah diberbagai Negara di Asia. Bukankah hal ini yang juga sering dialami oleh klas buruh di Indonesia? Pengusaha yang ingin membayar buruhnya murah dengan berbagai cara, termasuk dengan sistem kerja kontrak dan outsourcing.
Dengan demikian negosiasi antara pemilik modal dengan buruh tidak pernah dalam posisi yang sejajar. Seorang buruh sendirian hanya akan menjadi mainan bagi para pemilik modal. Kekuatan buruh akan menjadi lebih besar dengan berada didalam serikat buruh. Pun begitu serikut buruh tanpa dipersejatai dengan aksi-aksi industrial hanya akan menjadi “mitra” atau permainan dari para pengusaha. Yang bergerak dari satu negosiasi ke negosiasi lainnya tanpa memiliki kekuatan untuk menuntut hak-haknya.
Pemogokan buruh maskapai penerbangan dalam beberapa bulan ini telah terjadi di Indonesia dan Philipina juga. Buruh di Garuda Indonesia Airways juga melakukan mogok pada tanggal 28 Juli 2011 untuk menuntut kenaikan upah. Kemudian setelah perundingan tidak menghasilkan kesepakatan, Asosiasi Pilot Garuda mengancam akan melakukan pemogokan pada bulan September lalu. Sementara itu Philippine Airlines pada tanggal 30 September tiba-tiba mem-PHK 2.600 buruhnya mengoutsourcing mereka. Para buruh harus melamar ulang pekerjaan mereka kepada perusahaan baru yang mengatur layanan airport (check in, pengisian bahan bakar dan pengurusan bagasi), catering serta pusat layanan telpon. Setiap hari ribuan buruh yang tergabung dalam Philippine Airlines Employees Association (PALEA) melakukan piket didepan bandara internasional Manila dan Cebu. Mereka bahkan sempat melakukan aksi solidaritas untuk buruh Qantas yang menghadapi masalah serupa.
Perjuangan buruh-buruh di maskapai penerbangan bisa menjadi lebih kuat dengan adanya solidaritas antar klas buruh terlepas dari Negara mana dia berasal. Demikian persoalan kesejahteraan hanya bisa diselesaikan dengan program nasionalisasi perusahaan penerbangan dibawah kontrol buruh. Sehingga kemudian ketimbang memberikan kenaikan gaji hingga 5 juta AUD pertahun kepada seorang CEO seperti Alan Joyce. Uang tersebut dapat digunakan untuk menyejahterakan buruh maskapai penerbangan tersebut dan meningkatkan kualitas pelayanannya untuk rakyat. (Mahendra K)



[1]  Aksi Industrial di Australia hanya bisa dilakukan menjelang pembuatan Perjanjian Kerja Bersama yang biasanya dilakukan dalam periode tiga tahun sekali. Aksi industrial apapun diluar itu atau bukan dalam kerangka Perjanjian Kerja Bersama adalah illegal. Jangankan demonstrasi bahkan pembagian selebaran mengenai persoalan perburuhan yang ada adalah illegal dalam masa itu. Aksi Industrial yang digolongkan illegal oleh Pemerintah dapat berakibat pada serikat buruh ataupun individu buruh diberikan sanksi denda ratusan ribu dollar Australia. Semua persoalan perburuhan yang muncul bukan dalam kerangka Perjanjian Kerja Bersama harus diselesaikan melalui pengadilan yang memakan waktu lama dan biaya besar karena harus menggunakan pengacara.
[2] Semacam Pengadilan Hubungan Industrial di Australia 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar