KPO PRP Yogyakarta Dukung Perjuangan LGBT

Senin, 21 November 2011

Minggu 20 November 2011, suasana pagi di perempatan Kantor Pos Besar Yogyakarta menjadi makin semarak. Di bawah teriknya matahari, puluhan massa yang terdiri dari komunitas waria, pekerja seks, lesbian, gay, biseksual dan aktivis berkumpul di Titik Nol untuk memperingati Hari Transgender Internasional. Peringatan Hari Transgender di Yogyakarta ini mengambil tema “Waria Juga Manusia, Tidak Melupakan dan memberi Ruang”. Mereka membuat lingkaran, sambil membawa bunga warna-warni serta poster-poster, dan kemudian memulai orasi-orasi.

Ines, seorang waria perwakilan dari Yotha (Youth Association) memulai orasi, dengan penuh semangat dia menyatakan bahwa sampai hari ini waria di Indonesia dan Yogyakarta masih mendapatkan diskriminasi. Waria masih dianggap sebagai mahluk yang berbeda, padahal waria adalah manusia sama seperti yang lain. Orasi dilanjutkan oleh Mariani, seorang waria yang saat ini mengelola Pondok Pesantren Waria di Yogyakarta. Diawali dengan meneriakkan “Hidup Waria”, Mariani kembali menegaskan bahwa waria adalah manusia yang harus dihargai hak-haknya. Berbagai kekerasan yang selama ini terjadi harus dihentikan.

Massa makin bersemangat ketika Shinta, perwakilan waria dari Kotagede yang juga merupakan Koordinator Aksi juga memberikan orasinya dan juga menyanyikan yel-yel Hidup Waria. Shinta kembali mengingatkan bahwa waria adalah warga Negara yang memiliki hak yang sama dengan manusia yang lain. Salah satu yang dituntut oleh Mariani adalah adanya Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang bergender waria. Karena KTP merupakan hak identitas dasar yang selama ini dibutuhkan waria. Ketiadaan KTP waria saat ini menyebabkan akses waria terhadap layanan kesehatan menjadi terhambat karena KTP dibutuhkan dalam setiap mengakses layanan.

Selanjutnya, orasi dilanjutkan oleh Arsih, sekaligus menyampaikan solidaritas dan dukungan KPO PRP Yogyakarta untuk perjuangan komunitas waria dan LGBT. Dalam orasinya, Arsih mengawali massa untuk mengingat kembali penyerangan terhadap komunitas LGBT di Yogyakarta yang terjadi pada tahun 2000 lalu di Kaliurang. Penyerangan yang dilakukan oleh kelompok agama ini merupakan bukti bahwa waria dan LGBT utamanya masih menjadi sasaran kekerasan. Bahkan di tahun-tahun setelahnya kekerasan semacam ini juga masih terjadi dan seolah dibiarkan oleh Negara. “Saat di Negara lain waria dan LGBT mendapat tempat di publik dan di parlemen, waria dan LGBT di Indonesia justru dibunuhi dan diperangi. Yang harus dilakukan sekarang adalah komunitas waria dan LGBT harus membangun organisasi-organisasi komunitasnya dan bekerja sama dengan organisasi gerakan yang lain. Kuncinya adalah persatuan dengan gerakan lain”, begitu salah satu isu orasi dari Arsih.

Selesai orasi, massa kemudian membagi diri menuju titik-titik perempatan dan membagi bunga kepada pengendara jalan. Selain itu, massa juga membentangkan spanduk dan meminta dukungan masyarakat di sekitar Malioboro untuk membubuhkan tandatangan di spanduk sebagai bentuk dukungan terhadap perjuangan hak waria. (Ars)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar