Politik Tabu ala SBY (Menyoal Larangan Berpolitik bagi Petani dan Nelayan)

Kamis, 03 November 2011

Dalam sebuah kesempatan dialog melalui video conference dengan peserta Pertemuan Nasional (Penas) Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) di Istana Negara, Presiden SBY meminta para petani dan nelayan untuk tidak masuk kedalam ranah politik praktis. "Saya senang sekali karena KTNA tidak terlibat politik praktis, tidak terkotak-kotak. Kalau petani dikotak-kotakkan ke politik sana, politik sini, partai A partai B, menurut saya kok malah mengganggu", kata SBY dalam sambutannya kepada para peserta Penas KTNA di Gedung Pencak Silat Kompleks Stadion Aji Imbut, Tenggarong, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Ini jelas merupakan ungkapan yang secara langsung membunuh hak demokrasi rakyat, yang dijamin di dalam konstitusi dasar Negara kita, khususnya Pasal 28D Ayat (3) yang menyatakan bahwa, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan”. Tidak seorangpun yang boleh menghalang-halangi petani dan nelayan dalam menuntut hak dan kehidupannya yang lebih baik, melalui perjuangan politik. Melarang petani dan nelayan berpolitik, sama saja dengan menjauhkan mereka dari upaya kemandirian perjuangan dan tuntutan kesejahteraan, sebagaimana cita-cita kaum tani dan nelayan.

Politik Gaya Orde Baru

Setidaknya ada tiga alasan pokok mengapa pernyataan SBY yang melarang petani dan nelayan berpolitik ini, dianggap sebagai sikap yang anti demokrasi :

Pertama, pernyataan ini menunjukkan watak SBY yang diskriminatif, khusunya bagi kaum tani dan nelayan. Setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama di dalam pemerintahan, tanpa terkecuali. Begitupun dengan kaum tani dan nelayan, yang ditengah upaya mendapatkan kesejahteraannya, tentu saja membutuhkan perjuangan secara politik dalam mewujudkannya. Politik bukanlah milik satu golongan tertentu saja, namun menjadi hak dan bahkan kewajiban bagi setiap orang. Melarang suatu kelompok atau individu tertentu untuk tidak terjun kedalam politik praktis, sama halnya dengan meminggirkan hak-hak dasar warga negara.

Kedua, pernyataan SBY tersebut sangat melecehkan kaum tani dan nelayan. Dimana larangan untuk berpolitik, sama saja dengan menganggap kaum tani dan nelayan sebagai manusia terbelakang yang tidak berhak untuk terjun dalam ranah politik praktis. Situasi seperti ini mengingatkan kita dimasa Rezim otoriter Orde Baru Soeharto, yang melakukan pembatasan terhadap hak politik rakyat, bahkan dengan menghalalkan segala cara. Padahal sesungguhnya, politik adalah sarana pokok bagi rakyat, baik bagi kaum buruh, petani, nelayan, kaum miskin perkotaan, dan rakyat miskin lainnya, untuk memperjuangkan hak-hak dasarnya yang selama ini diinjak-injak oleh kepentingan modal dan kekuasaan.

Ketiga, pernyataan SBY ini, sangat tidak mendidik, disaat pendidikan politik sangat diharapkan untuk membangun karakter dan kemandirian bangsa Indonesia yang sedang terancam kekuasan imperialisme modal asing. Salah satu tujuan penting dari politik adalah mewujudkan partisipasi luas agar setiap kepala rakyat Indonesia mampu terlibat dalam setiap proses pengambilan keputusan Negara. Untuk itu, menghalang-halangi hak berpolitik rakyat, berarti mendorong mundur hak-hak mereka dalam menentukan nasib dan masa depan Bangsa, dan dirinya sendiri.

Apa yang dilakukan oleh SBY teresbut, terang saja mengingatkan kita dengan periodesasi kekuasaan Orde Baru Soeharto. Cerminan kekuasaan otoriter yang membatasi, bahkan mencabut hak politik rakyat Indonesia dari akarnya. Selama 32 tahun, rakyat Indonesia dibiarkan dalam ketakutan. Siapapun yang berani mengambil sikap dan posisi untuk membangun wadah politik diluar dari lingkar kekuasaan status quois ketika itu, maka harus berhadapan dengan penangkapan, penyiksaan, bahkan kehilangan nyawa atas nama stabilitas keamanan. Padahal sesungguhnya tindakan tersebut, tidak lebih dari upaya kekuasaan untuk membentengi dirinya akar dapat melanggengkan kekuasaanya semata.

Sejatinya, hak untuk berpolitik adalah nilai dasar yang harus kita perjuangkan bersama. Tidak ada satu orang-pun yang boleh menghalanginya, bahkan oleh seorang presiden sekalipun, yang notabene tidak lahir dan besar dari rahim rakyat Indonesia. Kesejahteraan dan masa depan hidup rakyat, baik kaum buruh, petani, nelayan, kaum miskin perkotaaan, dan rakyat lainnya, tidaklah bergantung kepada SBY dan elit politik lainnya. Namun akan ditentukan oleh diri kita sendiri melalui persatuan dan kebersamaan yang dibangun. Kemerdekaan dan kebebasaan kita, tidaklah jatuh dari langit atau dihadiahkan begitu saja. Namun harus kita perjuangkan secara politik melalui alat politik kita sendiri dan keringat kita sendiri.

Organisasi Sebagai Sekolah


Secara prinsip, baik petani, nelayan, buruh dan sektor rakyat lainnya, tentu saja harus mampu mengorganisir diri demi memperjuangkan hak-hak kehidupan mereka sendiri. Untuk itulah mengapa kita sangat membutuhkan organisasi. Tidak hanya sebagai alat ataupun senjata kita bersama dalam berjuang mewujudkan kesejahteraan. Namun organisasi juga sekaligus sebagai sekolah, tempat kita menempa dan mendidik pengetahuan kita. Organisasi pada dasarnya digunakan sebagai tempat atau wadah dimana orang-orang berkumpul, bekerjasama secara rasional dan sistematis, terencana, terorganisasi, terpimpin dan terkendali, dalam memanfaatkan sumber daya, sarana-parasarana, data, dan lain sebagainya yang digunakan secara efektif untuk mencapai tujuan organisasi. Organisasi merupakan media untuk belajar mengetahui hak dan kewajiban kita, yang secara bersamaan mendorong dan melatih seseorang dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapinya secara bersama-sama. Dalam organisasilah, kebersamaan serta persamaan senasib diuji. Kebersamaan yang tentu saja akan melahirkan kekuatan yang besar, yang tentu saja akan mampu memberikan daya juang yang besar pula.

Namun demikian, organisasi harus dirawat dan dijalankan sebaik-baiknya. Tidak hanya digunakan ketika kita sedang terdesak dengan persoalan kehidupa sehari-hari kita semata. Namun organisasi harus kita tempa agar semakin kuat. Ibaratkan payung yang tidak hanya digunakan sedang hujan atau terik panas matahari. Namun juga harus dirawat dan diperlakukan sebaik mungkin agar tetap awet dan tahan lama. Begitupun dengan organisasi, dimana tidak hanya kita gunakan dalam melancarkan tuntutan. Namun juga senantiasa harus kita rawat dengan baik melalui segala bentuk aktivitas, baik diskusi, pendidikan, iuran, hingga aksi-aksi massa yang disiplin dan terpimpin. Kita harus belajar melepaskan ketergantungan dari siapa saja, dan memulai untuk membangun kemandirian kita melalui organisasi kita sendiri. Dengan demikian, maka persoalan-persoalan serta tuntutan hak-hak dasar kita, akan mampu diperjuangkan dengan kekuatan dan organisasi kita sendiri.

Dari sejarah perjuangan petani di Indonesia, tergambar jelas bagaimana arti penting sebuah organisasi dalam menghantarkan kesejahteraan. Gerakan petani di periode awal kemerdekaan Indonesia misalnya. Para petani yang tergabung baik dalam Barisan Tani Indonesia, Rukun Tani Indonesia (RTI), Sarekat Kaum Tani Indonesia (SAKTI), Serikat Tani Islam Indonesia (STII) dll, begitu kuat melancarkan tuntutan kesejahteraan petani, khususnya menyangkut hak kepemilikan tanah. Bahkah BTI sendiri di awal tahun 1960-an, berhasil mengkampanyekan program “land reform”, berdasarkan implementasi dari Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960. Land reform sebagai sebuah program, jelas merupakan bentuk kongrkrit perjuangan petani di zaman itu. Program yang mewakili kehendak dan kepentingan petani atas persolan mendasar mengenai tanah dan kepemilikan, dimana disaat bersamaan juga mampu menunjukkan musuh sejati kaum tani Indonesia, yakni para tuan tanah dan pemilik modal. BTI sebagai organisasi, dapat dikatakan cukup mampu mengangkat derajat perjuangan pertani melalui organisasi. Namun situasi menjadi berubah pasca pembataian gerakan Rakyat oleh kekuatan Orde Baru Soeharto, dipertengahan tahun 60-an. Manipulasi kesadaran kaum tani-pun dimulai dengan secara perlahan-lahan membatasi aktivitas kaum tani dalam dunia politik. Walhasil, rezim Orde baru ketika itu, hanya membolehkan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), sebagai wadah tunggal petani. Siapapun yang mencoba membangun organisasi diluar HKTI, dituding sebagai bentuk pembangkangan terhadap kekuasaan Soeharto.

Menuju Perjuangan Politik


Di penghujung tahun 1980-an, gerakan tani mulai bangkit kembali setelah bertahun-tahun dibungkam oleh kekuasaan Orde Baru Soeharto. Beragam konflik vertikal, baik antara petani vs pemerintah maupun petani vs militer, satu persatu mulai bermunculan dimana-mana, bahkan hingga saat ini. Namun harus diakui, bahwa gerakan petani masih sangat sempit berdasarkan kedaerahan masing-masing. Disamping itu, gerakan petani juga masih terkurung hanya sebatas tuntutan normatif mengenai persoalan tanah dan teknologi. Gerakan tani belum mampu megolah kekuatannya sendiri menjadi kekuatan politik besar yang dapat mempengaruhi kebijakan negara. Sudah saatnya kaum tani bersama sektor rakyat lainnya, membangun kualitas perlawanan dan perjuangan politik yang lebih maju.

Sikap SBY yang menyerukan larangan berpolitik bagi petani dan nelayan, tentu saja tidak boleh kita diamkan begitu saja. Sebab mendiamkan hal tersebut, sama halnya dengan membenarkan tindakan yang telah mengangkangi hak dan kebebasan berpolitik rakyat. Untuk itu, menjadi patut bagi siapa saja untuk melancarkan reaksi perlawanan, dengan cara : Pertama, Menolak dengan tegas pernyataan SBY yang melarang kaum tani dan nelayan untuk berpolitik praktis. Pernyataan tersebut adalah bukti nyata bahwa rezim SBY-Boediono telah memasung demokrasi dengan menghalang-halangi rakyat untuk berjuang secara politik dalam mewujudkan kesejahteraan dan masa depan yang lebih baik. Kedua, Rakyat Indonesia tanpa terkecuali, “harus berpolitik”, sebab politik adalah sarana perjuangan kita. Politik bukanlah hal yang harus kita takuti, pun tidak boleh kita hindari. Dengan bepolitik, maka jalan rakyat Indonesia dalam meraih kebebasan dan kemerdekaanya, sangat terbuka lebar. Ketiga, Rakyat Indonesia, baik kaum buruh, petani, nelayan, kaum miskin perkotaaan, dan rakyat miskin lainnya, untuk belajar secara mandiri dalam membangun alat politiknya sendiri, partainya sendiri, yang lahir dan besar dari rahim penderitaan rakyat sendiri. Bukan kepada elit politik dan partai politik borjuis hari ini, yang hanya menjadikan kita sebagai mesin suara disetiap pemilu. Keempat, Sudah saatnya kita melatih diri dan belajar untuk merebut kekuasaan Negara dari pusat hingga daerah, baik Presiden, Gubernur, Walikota, Bupati hingga Kepala Desa. Sebab hanya jika kita merebut dan mengambil kekuasaan Negaralah, maka segala keputusan yang diambil oleh Negara akan memihak kepada kepentingan kita sendiri. Sudah saatnya rakyat bergerak dengan cara dan kekuatannya sendiri, tanpa bergantung kepada elit politik dan kekuasaan yang ada hari ini. Tidak kepada SBY-Boediona, ataupun kepada elit politik DPR yang berada disenayan. Cukup sudah kita tertipu dan menggantungkan harapan kita kepada mereka, dan saatnya membangun kekuatan politik kita sendiri, partai kita sendiri, dan pemerintahan kita sendiri. Berpolitik adalah jalan menuju kemenangan dalam merebut kesejahteraan dan kebebasan kita, dengan keringat dan perjuangan kita sendiri. Sebab, sebagaimana kata Pramoedya Ananta Toer, “bahwa masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa dimana ia bisa menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri”.

Castro
Anggota KPO-PRP Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar