Mahasiswa Indonesia, Bersatulah! Rebut Pendidikan Gratis, Ilmiah, Demokratis dan Berwatak Kerakyatan!

Jumat, 18 November 2011

Jaringan Gerakan Mahasiswa Kerakyatan


Resista (Yogyakarta),Gerakan Mahasiswa Pro Demokrasi (Medan),Kosentrasi Mahasiswa Progresif (Samarinda), Barisan Pemuda dan Mahasiswa Progresif (Sumbawa Besar),Sentra Mahasiswa Progresif (Pol-Man),Front Mahasiswa Demokratik (Makkasar)

Email: mahasiswakerakyatanj@yahoo.com
CP: +62 857 2925 2134, +62 852 5080 0567

Mahasiswa Indonesia, Bersatulah! Rebut Pendidikan Gratis, Ilmiah, Demokratis, dan Berwatak Kerakyatan!


Pendidikan pada dasarnya adalah mencerdasakan kehidupan anak bangsa. Realitas pendidikan saat ini berada dalam genggaman pemilik modal/Kapitalisme. Terbukti saat ini pendidikan menjadi ajang komoditas (barang dagang) bagi kapitalisme itu sendiri, yaitu dengan adanya komersialisasi pendidikan. Sehingga pendidikan tidak lagi dapat dirasakan oleh semua Manusia karena begitu mahal harganya. Sistem yang dipakai Kapitalisme saat ini adalah sistem Neoliberalisme, berbagai sektor seperti industri, kesehatan, pertambangan, mineral, pertanahan, Bahan Bakar Minyak (BBM), listrik, air minum, transportasi, telekomunkasi, dan khususnya pendidikan menjadi sasaran empuk Kapitalisme dengan cara membuka pasar bebas yang mudah dikelolah demi mencapai modal dan keuntungan yang setinggi – tingginya, semua sektor yang dikusai saat ini hampir seluruhnya diprivatisasi oleh Kapitalisme terutama bagi Negara – negara dunia ketiga. Sehingga setiap rakyat yang ingin mengeyam pendidikan tersebut sangatlah jauh dari harapan.
Badan Pusat Statistik Indonesia (BPS) menyebutkan jumlah anak yang rentan putus sekolah masih sekitar 4,5 juta jiwa yang membuat rasio partisipasi pendidikan penduduk Indonesia baru sebesar 68,4% dan tingkat pendidikan Indonesia rata-rata hanya sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sekitar 75-80% pelajar setingkat Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Akhir (SMA) putus sekolah. Sekitar 60% pelajar setingkat SMU tak mampu melanjutkan ke bangku perguruan tinggi. Sekitar 14,6 juta (12,1%) penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas ditemui buta huruf. Human Development Index (HDI)/Indeks Pembangunan Manusia juga menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-111. Kemudian kemampuan seperti membaca, laporan yang dikeluarkan UNDP pada Human Development Report 2005, Indonesia menduduki peringkat 110 dari 177 negara di dunia. Bahkan yang lebih ironisnya peringkat tersebut justru semakin menurun dari tahun-tahun sebelumnya. Tahun 1997 HDI Indonesia berada pada peringkat 99. Lalu menjadi peringkat 102 pada tahun 2002, dan kemudian merosot kembali menjadi peringkat 111 pada tahun 2004.

Rancangan Undang – Undang Perguruan Tinggi 2011
Demokrasi di Negara ini hanya dimaknai ketika menjelang Pemilu. Segala rancangan Undang – Undang yang telah dikeluarkan dan disah kan oleh pemerintah khususnya sektor pendidikan sama sekali tidak menjawab persoalan demi persoalan yang ada. RUU PT adalah contoh konkrit dari kebalikan wajah Undang – Undang Badan Hukum Pendidikan yang ada. 82 pasal dan 10 BAB dalam RUU Perguruan Tinggi tidak lepas dari upaya pemerintah untuk melakukan Privitisasi dan komersialisasi dunia pendidikan yang menyebabkan harga pendidikan akan terus semakin melonjak tinggi. Kampus – kampus akan dijadikan industri bagi para pemilik modal untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya, sementara kampus melahirkan sarjana – sarjana instan atau robot – robot yang siap dikendalikan oleh para pemilik  modal. Perpres Nomor 66 dan 77 yang merupakan turunan dari UU Penanaman Modal Asing menyatakan bahwa penanaman modal asing diperbolehkan hingga sebesar 40% bagi sektor pendidikan. Maka yang terjadi adalah, konsep nirlaba yang terdapat di RUU PT tidak lebih sebagai skenario pemerintah agar kelihatan Demokratis dan melindungi pendidikan Nasional. Selain itu, instrumen hukum undang – undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan RPP tentang Pendidikan Dasar & Menengah, dimana kesemua produk hukum tersebut merupakan paksaan yang harus dibuat untuk memuluskan jalannya kepentingan neoliberal saat ini. Pada prinsipnya terbukti Pemerintah tidak patuh terhadap paraturan UUD’45 yang mengharuskan rakyatnya mengenyam pendidikan yang diselenggarakan oleh Negara, seperti pada pasal 31 Ayat (2), yang menyatakan "Setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Kemudian ditegaskan lagi pada : Ayat (4), "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional".
Akibat diberlakukannya BHMN tahun 1999 diperkirakan kenaikan biaya kuliah mencapai 300 hingga 400 persen. Sebagai salah satu contoh, di Universitas Indonesia (UI), uang pangkal—Admission Fee (untuk peserta seleksi SPMB) sebesar Rp. 5 Juta s/d Rp. 25 juta, sedangkan untuk Program Prestasi Minat Mandiri (PPMM) Rp. 25 Juta s/d Rp. 75 Juta. Biaya pendidikan tersebut baru hanya secuil kenyataan dari bobroknya pemerintahan Indonesia yang berada di jalur ekonomi neoliberal saat ini. Janji yang diberikan pemerintah tentang alokasi APBN untuk anggaran pendidikan minimal 20 persen tak kunjung ditepati. Pada tahun 2007 terdapat kesepakatan antara Pemerintah dan DPR tentang dana anggaran untuk sektor pendidikan hanya sebesar Rp. 51,3 trilyun (hanya 10,3 persen dari total APBN), angka itu sedikit naik dari tahun 2006 yang sebesar Rp. 36,7 trilyun (9,1 persen dari total APBN). Sepanjang tahun 2006 s/d 2009 alokasi anggaran pendidikan sebesar 210 trilyun, dimana angka tersebut jauh lebih sedikit dibanding beban pembayaran utang luar negri yang mencapai 25,10 % .
Adapun badan birokrasi bernama Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) hingga hari ini tidak mampu menyelesaikan persoalan pendidikan yang ada. Namun, tidak lain juga sebagai kaki tangan dari kapitalisasi pendidikan saat ini, terbukti dengan adanya kualitas pendidikan yang masih jauh dari kemampuan masyarakat Indonesia serta mahalnya biaya pendidikan.
Ditutupnya Ruang Demokratisasi Kampus
Layaknya serikat Buruh pada suatu pabrik, pemberangusan serikat sering terjadi oleh Manajer suatu perusahaan, begitu juga pada Mahasiswa/i saat ini. Ini terbukti ketika lahirnya Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan koordinasi Kampus (NKK/BKK) yang menelurkan Sistem Kredit Semester (SKS), Absensi 75%, Drop Out dan Skorsing sepihak, dan kebijakan – kebijakan lainnya yang dikeluarkan oleh pejabat kampus. Organisasi – organisasi Mahasiswa yang bersifat massif melakukan perlawanan terhadap kebijakan pejabat kampus, kini diberantas total bahkan dengan mudahnya di keluarkan dari dalam kampus (Drop Out), Skorsing, bahkan refresifitas akademik maupun fisik. Kebijakan kampus yang sering dikeluarkan tidak pernah melibatkan Mahasiswa/i secara langsung yang notabane nya adalah penduduk/mayoritas dan menjalankan suatu aturan dalam suatu gedung civitas akademik.
Kurikulum Berbasis Persaingan
Munculnya kurikulum berbasis kompetensi yang diciptakan Negara hingga hari ini, adalah sebagai salah satu penciptaan karakter individu manusia yang siap bersaing, individual, dan apatis. Tidak kemudian memunculkan rasa kepemilikan bersama. Tingkat kecerdasan dan kepintaran seseorang diukur hanya dengan mengikuti prosesi yang disebut dengan Ujian. Teori dikelas juga sangat jarang ditemui yang sesuai dengan kondisi sosial Masyarakat hari ini. Sekolah dan Universitas tidak pernah mengajarkan bagaimana seharusnya seorang pelajar bisa belajar bersama, mendapatkan prestasi baik bersama, dan mengaplikasikan ilmunya bersama – sama dengan masyarakat sesuai kondisi objektif, sehingga tidak muncul kesenjangan akademik, individual, dan bersaing antar pelajar serta melahirkan solidaritas diantara mereka dan melahirkan karakter – karakter Pelajar berwatak kerakyatan.
Oleh karena itu, kami dari jaringan Gerakan Mahasiswa Kerakyatan menyatakan sikap :
  1. Lawan komersialisasi pendidikan
  2. Tolak Rancangan Undang – undang Perguruan Tinggi
  3. Cabut Undang – undang nomor 20 tahun 2003, Peraturan Perundangan Nomor 66 tahun 2010, dan Peraturan Perundangan nomor 77 tahun 2007.
  4. Hapus sistem Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi kampus
  5. Pendidikan Gratis Sepenuhnya, Ilmiah, Demokratis dan Bervisi Kerakyatan.


Pendidikan sejatinya adalah untuk mencerdaskan kehidupan setiap Manusia, dan siapapun berhak mendapatkan pendidikan tersebut tanpa terkecuali. Jika pendidikan menjadi barang dagang dan pembodohan saat ini, sudah sepantasnya kita untuk tidak tinggal diam, bangkit dan melawan! Selamat hari Pelajar Sedunia!


Jaringan Gerakan Mahasiswa Kerakyatan
Yogyakarta, 17 November 2011


Ketua                                                      

Daniel Pay Halim                                              

Sekertaris 

Nalendro Priambodo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar