Aksi JGMK Menuntut Pendidikan Gratis, Ilmiah, Demokratis dan Berwatak Kerakyatan

Jumat, 18 November 2011

Beberapa organisasi Mahasiswa yang tergabung dalam Jaringan Gerakan Mahasiswa Kerakyatan (JGMK) melakukan aksi secara serentak di berbagai daerah dalam rangka memperingati Hari Pelajar Sedunia (kamis, 17/11/11), diantaranya Yogyakarta (Resista), Sumbawa Besar (Barisan Pemuda dan Mahasiswa Progresif), dan Polewali Mandar (Sentral Gerakan Mahasiswa Progresif). Dalam aksi kali ini JGMK menyerukan kepada kaum intelektual di Indonesia untuk menuntut pendidikan  gratis, ilmiah, demokratis, dan berwatak kerakyatan.

Di Yogyakarta, Resista melaksanakan aksi longmarch bersama dengan Aliansi Mahasiswa Menggugat. Aksi dimulai dari Abu Bakar Ali hingga Gedung Agung, Malioboro, Yogyakarta. Koordinator aksi sekaligus Ketua JGMK tersebut mengungkapkan, dunia pendidikan saat ini berada dibawah cengkraman Kapitalisme. Mayoritas rakyat menjadi tidak dapat menikmati pendidikan hingga jenjang perguruan tinggi. Bahkan berdasarkan data badan pusat statistik (BPS), jumlah anak yang rentan putus sekolah masih sekitar 4,5 juta jiwa. "Rancangan Undang–Undang Perguruan Tinggi (RUU PT) yang sedang dirancang oleh pemerintah juga tidak menjawab problematika pendidikan saat ini, karena itu tidak lain adalah pembalikan wajah dari Undang–Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang mengembangkan privatisasi dan komersialisasi pendidikan yang menyebabkan harga pendidikan akan terus melonjak tinggi”, ujarnya.

Menurutnya, terdapat pula instrumen hukum yakni UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan RPP pendidikan dasar menengah, dimana kesemua produk hukum tersebut membuktikan bahwa pemerintah tidak patuh terhadap aturan diatasnya, yaitu UUD 1945 yang mengharuskan rakyat mengenyam pendidikan yang diselenggarakan negara, ditambah lagi pemangkasan biaya pendidikan yang seharusnya minimal 20% dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara.

Aksi ini juga ditandai dengan pembakaran simbolisasi RUU PT di depan Gedung Agung, Yogyakarta, sebagai bentuk penolakan terhadap kebijakan yang akan dikeluarkan Pemerintah.

Dari Sumbawa Besar, mahasiswa dari Barisan Pemuda dan Mahasiswa Progresif menggelar aksi demonstrasi di depan kantor DPRD, Sumbawa. Dalam orasinya, Supratman, menyuarakan soal pendidikan yang masuk dalam ranah kapitalisme. Mengingat, sekitar 60 persen pelajar setingkat SMU tidak mampu melanjutkan pendidikan mereka ke tingkat yang lebih tinggi. Undang–Undang pendidikan yang ada, dinilai tidak mampu menjawab persoalan yang terjadi. Dicontohkan, RUU Perguruan Tinggi yang tidak jauh beda dengan UU Badan Hukum Pendidikan yang memprivatisasi dunia pendidikan. “Ada privatisasi dan komersialisasi pendidikan, yang tertuang dalam RUU PT,” Teriaknya. Dengan begitu, kami dari JGMK menyatakan  menolak RUU PT dan segala bentuk komersialisasi dunia pendidikan. “Pendidikan gratis sepenuhnya, ilmiah, demokratis dan bervisi kerakyatan adalah solusi yang terbaik”, sambungnya. Aksi demonstrasi tersebut mendapat pengawalan ketat dari aparat kepolisian dan Pol PP Sumbawa Besar.

Sementara itu di Polewali Mandar, mahasiswa dari Sentral Gerakan Mahasiswa Progresif juga membagikan selebaran, brosur, dan pamflet di tiga kampus yaitu STAI, UNASMAN, STIKES, dan juga didepan lapangan pancasila. Kurang lebih sekitar empat ratusan lembar pamflet dan selebaran dibagi–bagikan oleh mereka, yang menyatakan “menolak RUU PT dan menuntut pendidikan gratis, ilmiah, dan bervisi kerakyatan”. Turunnya hujan yang sangat deras pada saat itu, ternyata tidak mengurangi semangat mereka untuk tetap membagi–bagikan selebaran yang berisikan perlawanan mereka terhadap privatisasi dunia pendidikan.

Daniel Pay Halim (ketua JGMK) menyatakan, “bahwa persoalan pendidikan saat ini sungguh sangat komplit”. Selain akan ditetapkannya RUU PT yang melahirkan privatisasi dan komersialisasi di sektor pendidikan, terdapat juga penutupan ruang demokratisasi kampus. Dapat dilihat dari maraknya DO dan Skorsing sepihak serta kebijakan – kebijakan lainnya yang dikeluarkan oleh pejabat kampus. Organisasi–organisasi Mahasiswa yang melakukan perlawanan terhadap kebijakan pejabat kampus, kini diberantas total bahkan dengan mudahnya di DO dari kampus atau di skorsing. Bahkan penutupan ruang demokrasi tersebut juga dilakukan dengan kekerasan secara fisik oleh preman maupun orang-orang suruhan birokrat kampus. Kebijakan kampus yang dikeluarkan juga tidak pernah melibatkan mahasiswa secara langsung, ujarnya. Ditambah lagi kurikulum yang berdasarkan kepentingan pasar, yang menyebabkan persaingan, individual, dan apatis. Teori dikelas juga sangat jarang ditemui yang sesuai dengan kondisi sosial rakyat hari ini. Oleh karena itu kami dari Jaringan Gerakan Mahasiswa Kerakyatan menyerukan kepada kawan – kawan pelajar sedunia untuk merebut pendidikan yang gratis, demokratis, ilmiah dan berwatak kerakyatan, tegasnya. (Pay)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar