Seminar Reposisi Gerakan Mahasiswa Kontemporer

Jumat, 25 November 2011

Pada hari Jumat, 18 November 2011 diselenggarakan Seminar bertemakan “Reposisi Gerakan Mahasiswa Kontemporer” oleh Korps Mahasiswa Politik dan Pemerintahan 2011 Universitas Gadjah Mada. Seminar tersebut menghadirkan pembicaraan yaitu: Mahendra Kusumawardhana (Ketua KPO PRP), Hendra Nainggolan (Aktivis Repertoar), Oce Madril (PUKAT UGM) serta Diasma Sandi Swandaru (Aktivis GMNI).
Seminar tersebut dibagi menjadi dua sesi, sesi pertama mengambil tema “Refleksi Sistem Politik Nasional terhadap Gerakan Mahasiswa”. Didalam sesi tersebut Mahendra menjelaskan bahwa tatanan ekonomi politik sekarang kita dapat melihat bahwa mahasiswa bukanlah sebuah klas. Mereka dapat dikatakan sebuah lapisan sosial yang berada dalam transisi menuju sebuah klas serta mereka tidak memiliki hubungan khusus dengan alat produksi. Oleh karena itu untuk membawa sebuah revolusi atau perubahan mendasar didalam sistem masyarakat, mahasiswa tidak bisa melakukannya secara sendiri. Dia harus mendasarkan dirinya pada menyokong perjuangan klas buruh, sebagai satu-satunya klas yang memiliki potensi revolusioner.
Disisi yang lain sistem pendidikan kapitalis selalu memberikan tekanan kepada mahasiswa. Dimana mahasiswa sama sekali tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan sistem dan metode pendidikan yang ada. Demikian juga pembungkaman terhadap mahasiswa-mahasiswa kritis. Sementara jaminan masa depan juga tidak pasti dimana tiap tahun menunjukan peningkatan jumlah sarjana yang menganggur. Dan jika mendapatkan pekerjaan, jaminan terhadap masa depan yang layak tidak ada karena sistem labor market flexibility. Demikian juga akses terhadap pendidikan juga semakin lama semakin sempit akibat privatisasi dunia pendidikan.
Namun mahasiswa juga sedikit banyak diuntungkan dengan sistem pendidikan kapitalis. Mereka memiliki akses yang lebih besar terhadap informasi yang memungkinkan mereka relatif mudah memahami dan menganalisa kondisi sekitar. Demikian juga konsentrasi sejumlah besar mahasiswa dalam universitas atau institusi pendidikan memungkinkan penyebaran secara massif ide-ide politik. Demikian maka mahasiswa dapat memiliki posisi sosial yang lebih kuat ketimbang jumlah mereka dan sering lebih cepat teradikalisasi ketimbang kelompok rakyat lainnya. Sehingga dapat menjadi pemicu dari kebangkitan revolusioner.
Sepanjang sejarah, sejumlah besar massa kaum intelektual berdampingan dengan gerakan demokrasi dan nasionalis melawan kolonialisme, kediktaktoran atau rejim fasis. Dukungan mereka terhadap gerakan revolusi sosial bersifat tidak kekal, bertentangan, dan terbatas. Bagian terbesar dari kaum intelektual Rusia beroposisi terhadap Revolusi Oktober, seperti para kaum intelektual Cina, Vietnam dan Kuba, seiring revolusi-revolusi tersebut berbelok ke arah kebijakan-kebijakan egaliter dan berkonfrontasi dengan serangan imperialis AS.
Kondisi diatas merupakan sebuah kesalahan ketika kemudian gerakan mahasiswa disempitkan hanya pada isu-isu kampus dan mahasiswa. Karena mahasiswa tidak bisa merubah sistem ini sendirian. Namun disisi yang lain juga tidak tepat ketika kemudian memaksakan agar gerakan mahasiswa menempatkan kampus hanya sebatas tempat untuk rekruitmen dan kemudian terjun ketengah-tengah buruh, petani, kaum miskin kota atau rakyat tertintas lainnya. Demikian maka membawa isu-isu yang tidak berhubungan dengan mahasiswa ataupun kampus. Karena ini berarti mencabut gerakan mahasiswa dari akar basis massanya sendiri.
Pembicara yang kedua yaitu Hendra Nainggolan, berbicara bahwa sistem politik sekarang adalah sistem Res Privata dimana yang terbangun adalah individualis. Dalam masa Orde Baru sistem tersebut tercermin dalam budaya diam yang ditekankan ke mahasiswa. Perubahan yang terjadi sekarang ternyata tidak banyak membawa perubahan dikalangan gerakan mahasiswa. Sementara itu yang harus dibangun adalah sistem politik Res Publika dimana kepemimpinan ditujukan untuk kepentingan publik dan terdapat kolektivitas untuk kepentingan serta kesejahteraan bersama.
Dalam sesi kedua diambil tema “Strategi Gerakan Mahasiswa Kotemporer”, Oce menjelaskan bahwa pemerintah sekarang belum mampu membersihkan korupsi, masalah kemiskinan masih meraja lela, dsb. Demokrasi seperti apa yang kita impikan? Begitu pertanyaan yang dia lontarkan. Gerakan mahasiswa memiliki ciri-ciri sebagai anti tesis dari pemerintah. Oleh karena itu tidak ada yang perlu dirubah secara signifikan dari gerakan mahasiswa sekarang. Gerakan mahasiswa hanya perlu mencari dan kembali ke jati dirinya. Hal itu dilakukan dengan refleksi gerakan mahasiswa agar benar-benar menjadi gerakan bukan mahasiswa yang bergerak.
Pembicara berikutnya, Sandi menjelaskan bahwa sejarah gerakan mahasiswa mengalami tiga tahap yaitu didukung oleh militer, didukung oleh pengusaha dan didukung oleh rakyat. Peran dari gerakan mahasiswa dapat diartikan sebagai kekuatan intelektual, moral, sosial dan politiknya. Kondisi bahwa sekarang gerakan mahasiswa terkotak-kota, isu yang disuarakan reaksioner, parsial dan sporadis karena ideologi dari organisasi mahasiswa tersebut dipahami secara tekstual bukan kontekstual. Demikian juga karena tawaran yang menggiurkan dari globalisasi juga melemahkan gerakan mahasiswa serta minimnya kegiatan-kegiatan sosial mahasiswa. Sekarang kecenderungan yang ada di mahasiswa adalah mahasiswa akademis, hedonis, pragmatis dan aktivis. Karena minimnya ideologi yang berkualitas dan kuantitas maka peran gerakan mahasiswa dibajak oleh LSM.
Sayangnya waktu diskusi sangat tidak memadahi sehingga banyak persoalan, pertanyaan serta tawaran yang belum terjawab. Beberapa yang muncul adalah argumentasi dari Oce yang meletakan fungsi gerakan mahasiswa hanya untuk membuat demokrasi yang sudah ada sekarang di Indonesia tidak menjadi buas. Ini adalah sebuah kesalahan besar seperti di awal sudah dijelaskan oleh Mahendra bahwa demokrasi saat ini adalah demokrasi bagi pemilik modal. Kebuasannya sudah kita lihat di Irak, Afganistan, Palestina dan Papua bahkan dalam demokrasi yang paling mumpuni seperti demokrasinya Amerika Serikat. Sementara itu Hendra tidak juga menjelaskan apa yang harus dilakukan mahasiswa dalam kerangka membentuk apa yang dia sebut sebagai Res Publica.
Sementara itu tawaran muncul dari Sandi dalam kerangka pembangunan gerakan mahasiswa. Dia menawarkan agar gerakan mahasiswa mengembalikan Pancasila dan semangat tujuan untuk menegakkan HAM serta supermasi hukum. Melakukan kajian ilmiah mendalam,membentuk kelompok-kelompok diskusi, membentuk jejaring gerakan mahasiswa, serta kembali ke rakyat untuk melakukan pendidikan politik, advokasi, penyadaran hak serta kewajiban. Tawaran yang sedikit banyak menyombongkan diri sebagai gerakan mahasiswa, seolah-olah rakyat tidak memiliki gerakan dan kesadarannya sendiri. Disisi yang lain Mahendra menawarkan gerakan mahasiswa harus membangun budaya intelektual organik, merebut hak-hak ekonomi, sosial dan politik mahasiswa serta mengintegrasikan dirinya dalam perjuangan klas buruh. Namun sayang tawaran-tawaran tersebut belum dielaborasi lebih lanjut dalam seminar karena keterbatasan waktu.(pita) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar