Wawancara dengan Max Lane : Apakah Sukarno Bisa Main Peran Simbolis sama dengan Bolivar?

Kamis, 03 November 2011



Banyak hal yang kita ketahui mengenai sosok Sukarno, tapi sekaligus juga tak mengetahui banyak hal lainnya. Propaganda hitam rezim orde baru Suharto menciptakan tirai samar-samar, sekaligus jarak yang lebar, dengan tokoh paling bernilai yang pernah dimiliki bangsa ini. Walhasil, ketimbang mampu mencerna pemikiran Sukarno secara kritis dan mendalam, mitos-mitoslah yang kemudian lebih tampil ke permukaan.

Sedikit menyingkap tirai samar itu, Bintang Rakyat mewawancarai Max Lane, aktivis cum pemerhati Indonesia dalam dua kesempatan terpisah. Berikut petikan wawancaranya.

Mengenai sosok Soekarno, mulai kapan Bung Max giat ‘mempelajari’-nya dan adakah alasan khusus ketertarikan Bung terhadap Beliau?

Sebagai mahasiswa Jurusan Studi Indonesia di Universitas Sydney 1969-72 dengan sendirinya harus mempelajari peranan Sukarno dalam sejarah Indonesia. Pada zaman itu, di Australia dan di Barat, yang selalu ditekankan ialah kejawaan Sukarno. Ada juga, tentu saja, yang menekankan kedekatannya dengan PKI, mengingat bahwa tahun 1969 masih banyak propaganda menjustifikasikan pembunuhan massal 1965-66 terhadap orang komunis dan Sukarnois di Indonesia.

Tetapi semakin saya sendiri tertarik pada analisa dan ideologi politik kiri, memang semakin juga ada kewajiban untuk lebih memperdalami dan lebih mengkritisi peranan dan pemikiran Sukarno. Pertama, sudah jelas dia adalah pemikir kiri yang makin berpengaruh di Indonesia sampai sekarang, apalagi 20-an hingga 1965. Kedua, pada puncaknya gerakan kiri Indonesia, melalui berbagai organisasi, terutama PKI, mencapa 20an juta pengikut, dan semuanya adalah pengikut Sukarno.

Ketiga, sudah jelas dengan melihat apa yang terjadi pada 1960-1965, kemudian 1965-1970, bahwa memang seluruh negeri Indonesia terbelah pro dan anti-Sukarno, sampai sebagian besar dari yang anti-Sukarno membenarkan pembunuhan massal terhadap yang pro-Sukarno. Keempat, sebagai pemimpin politik yang pendukungnya puluhan jutaan orang, Sukarno gagal total mencapai cita-citanya. Justru kekuatan kiri dikalahkan total oleh kekuatan kanan di Indonesia. Mengapa? Apa ada juga kelemahan atau kekeliruan dalam pemikiran ataupun praktek Sukarno?

Bagi Bung, sepenting apa sosok Sukarno ini, baik bagi Indonesia, Australia, bahkan dunia?

Sukarno, terutama penting buat Indonesia. Pemikiran Sukarno adalah sebagian dari warisan ideologis gerakan anti-kolonial dan gerakan sosialis Indonesia. Menurut pendapat saya, banyak yang bisa didapat dari mempelajari Sukarno, sebagai pemikir kiri yang memang berusaha merespons situasi Indonesia yang unik. Banyak idenya masih bermanfaat. Tetapi ide-ide Sukarno yang bermanfaat itu hanya akan bisa dipergunakan dengan baik kalau sekaligus semua kontradiksinya juga dibongkar, termasuk dalam praktek politiknya.

Juga harus dibongkar, bukan saja kontradiksinya Sukarnoisme itu sendiri, tetapi bagaimana implikasi perubahan situasi masyarakat Indonesia dan dunia sejak kontra-revolusi Indonesia 1965, yang merupakan sebuah kemenangan besar buat kelas kapitalis Indonesia maupun imperialisme; dan sebuah kemenangan yang sudah berhasil berlangsung selama 56 tahun tanpa putus. Sukarnoisme adalah sebuah warisan historis, warisan masa lalu, tidak bisa menggantikan keharusan menemukan jawaban-jawaban anak zaman, yaitu anak ideologi zaman sekarang.

Di artikel, Bung menyebut ketimbang sosok pemersatu, sebetulnya Sukarno justru membelah rakyatnya sendiri, maksudnya?

Seingat saya, saya tidak pernah bilang bahwa Sukarno membelah rakyatnya sendiri. Saya kira itu merupakan rumusan yang agak kasar. Sukarno memang memperjuangan persatuan semua kekuatan revolusioner dan dalam usaha itu dia merumuskan, melalui berbagai tulisan, sebuah basis persatuan. Basis persatuan ini tentu saja, pada zaman Hindia Belanda, mengandung tujuan perjuangan Indonesia merdeka. Tetapi Sukarno juga mengusahakan sebuah pendekatan revolusioner dalam perjuangan kemerdekaan.

Dia berusaha menyakinkan orang dengan penjelasannya bahwa seorang nasionalis sejati dan seorang muslim yang sungguh-sungguh akan bisa bekerjasama dengan seorang Marxis karena semua dalam posisi butuh menolak kapitalisme. Tentu saja di zaman Hindia Belanda, penekanan utama adalah meraih kemerdekaan, mendirikan negara Indonesia sendiri, tetapi propaganda antikapitalis terus dibangkitkan oleh Sukarno. Dan bukan hanya itu, dalam menganalisa kekuatan utama yang bisa membebaskan Indonesia dari kolonialisme, Sukarno selalu menunjukan kebutuhan persatuan rakyat marhaen dan proletar, sebagai satu-satunya lapisan masyarakat yang tak berkepentingan membela kapitalisme pada saat itu. Tentu saja, ketika “jembatan emas” kemerdekaan sudah dilewati, cita-cita sosialisme ala Indonesia bersatu dengan penuntasan revolusi nasional sebagai cita-cita.

Saat ini Bung Karno banyak dimitoskan sebagai tokoh terbesar yang dimiliki bangsa ini, tapi Bung malah menyebut Sukarno sebenarnya pecundang dalam dinamika politik 1960-an, apa alasannya?

Memang, buat saya, Sukarno adalah figur dalam sejarah Indonesia yang sangat memesonakan, setarif Kartini dan Tirto Adhisuryo. Buat saya, tiga orang ini adalah figur pemikir politis yang paling meninggalkan warisan bernilai (dalam sastra, Chairil Anwar, Rendra dan Pramoedya, mungkin?). Di antara pemimpin politik yang bergiat sepanjang zaman Hindia Belanda, saya kira Sukarno meninggalkan paling banyak ide yang menarik dan berguna. Dia juga yang pernah berhasil membangun partai yang paling besar, sesudah Sarekat Islam, meski juga kemudian direpresi. Dan dia, bersama banyak orang lain juga, memang memimpin sebuah proses kemerdekaan yang berhasil mendirikan sebuah Republik Indonesia yang merdeka.

Sesudah kemerdekaan, semakin lama, Sukarno mengfokuskan politiknya pada dua sasaran. Pertama, tuntaskan revolusi nasional Indonesia, dengan mengalahkan neo-kolonialisme dan membangun kepribadian nasional. Kedua, dan sekaligus, mencapai sosialisme ala Indonesia, berdasarkan mobilisi gerakan massa marhaen dan proletar. Kenyataan ialah bahwa kedua-dua sasaran ini gagal tercapai dengan munculnya Orde Baru dan tergulingkannya Sukarno serta pembasmian PKI dan semua gerakan Sukarnois kiri lainnya.

Untuk mereka yang tetap inginkan pembebasan nasional Indonesia (dari kecengkraman imperialism) maupun tercapainya sosialisme buat Indonesia, menjadi sangat penting untuk mengakui kegagalan gerakan kiri ini dan kemudian analisa sebab kegagalannya. Apakah kegagalan ini karena kelemahan dan kontradiksi di pemikiran dan praktek kaum kiri sendiri, termasuk Sukarno dan PKI? Dan kalau ya, apa kontradiksinya, karena analisa itupun pasti akan ada versi-versi berbeda-beda? Atau apakah sebuah tragedi kebetulan saja, kecelakaan? Atau bagaimana?

Apakah Sukarno mengira lebih besar dari kekuatan politik manapun, dan akhirnya tidak mampu mengambil keputusan yang tepat dan malah menjadi korban permainan politik?

Sukarno memang pegang peran kunci dalam perpolitikan di Indonesia sejak tahun 1920an, meski tak pernah menguasai “state power”, kekuasaan negara. Kekuatan Sukarno sejak awal ialah popularitas dia sendiri dan ide-idenya. Dan di dalam hal ini saya kira tak ada bandingnya, termasuk di partai terbesar tahun 60-an, PKI. PKI pun tak ada yang sama bobotnya dengan Sukarno. Dan kalau membaca Harian Rakyat zaman itu –1962-1965 – tetap artikel yang paling menarik di HR ialah artikel-artikel Sukarno dari tahun 20an. Dalam posisi ini, Sukarno – dan menurut saya ini sebuah kelemahan besar – membiarkan dirinya dianggap “Penyambung Lidah Rakyat”. Ini menumbuhkan ambiguitas dalam politik massa.

Secara riil Sukarno memang penyambung lidah 10 atau 20 jutaan rakyat Indonesia – tidak semua, karena banyak juga yang belum menyetujui politiknya dan juga ada yang tak akan pernah menyetujuinya. Tetapi buat 20 jutaan yang memang pendukung Sukarno, seharusnya Sukarno memberi lebih banyak tekanannya pada kebutuhan akan mereka jangan tergantung pada dia sendiri. Memang siasat Sukarno tahun 60-an membuat gerakan kiri sangat tergantung pada keberhasilan manuver-manuver dia sendiri.

Katakanlah Sukarno kalah, tapi imejnya direproduksi terus-menerus secara politik oleh anak-anaknya, apakah memang Bung Karno masih cukup sakti dimanfaatkan pamornya untuk menarik minat orang saat ini?

Saya meragukan apakah nama Sukarno masih memiliki daya tertarik seperti masih ada pada tahun 90an atau tahun 2001. Rekor Megawati sangat mengecewakan sehingga, saya mengira, akibatnya daya tarik nama Sukarno juga berkurang, meski belum habis total. Saat ini ada juga kelompok-kelompok yang dulu dari latar belakang kiri yang berusaha memakai “Sukarnoisme” untuk membangkitkan sebuah nasionalisme sebagai basis gerakan politik, meski tidak jelas mau ke mana secara konkrit.

Mereka menafsirkan Sukarno sebagai terutama nasionalis – sosialisme dinomor-duakan. “Sukarnoisme” kanan ini dipakai untuk mengagitasikan “kesatuan nasional” dalam menghadapi “asing” yang mungkin diperkirakan bisa dapat dukungan sebagian massa di era yang resah akan kebuntuan pembangunan ekonomi ini dan merajalelanya kapitalis imperialis di berbagai sektor di Indonesia. Ini sebuah kecenderungan berbahaya, saya kira. Indonesia abad 21 ini bukan Hindia Belanda lagi. Meski Indonesia masih di dalam kecengkraman ekonomi imperialis, kontrarevolusi 65 juga sudah melahirkan sebuah kelas kapitalis dalam negeri Indonesia yang menguasai negara Indonesia (Indonesian state).

Kelas kapitalis dalam negeri ini sepenuhnya menyetujui strategi pembangunan yang menggantungkan diri pada mencari investor asing sebanyak mungkin. Hanya memang, masing-masing dari kapitalis dalam negeri ini, juga sering tak puas dengan porsi mereka dalam bekerja sama dengan investor imperialis ataupun investor dari negeri nonimperialis. Seruan “kesatuan nasional” saat ini sangat gampang bisa menjelma menjadi seruan untuk kaum rakyat miskin Indonesia “bersatu” dengan kelas kapitalis Indonesia yang lagi mengeksploitasinya habis-habisan; sebuah kelas kapitalis yang gandrung bekerja sama dengan modal imperialis, biarpun kadang-kadang main demagogi “antiasing”.

Ada masalah lain juga. Selama 55 tahun sejak Orde Baru, dan dengan membesaranya ekonomi Indonesia, lapisan kelas menengah atas (bahkan lapisan tengah dari kelas menengah pula) sudah berhasil akumulasi uang cukup banyak untuk mulai menciptakan sebuah dunia sendiri. Realitas-realitas sosial, budaya dan ekonomi lapisan-lapisan ini mulai – baru mulai, mungkin bisa disebut bibit – memiliki ciri khas sebuah nation. Apakah Indonesia akan semakin berkembang sebagai satu negeri dua bangsa: bangsa kaya dan bangsa miskin?

Bisakah sosok Sukarno ini dibandingkan dengan Simon Bolivar di Venezuela untuk membangkitkan sentimen politik tertentu? Lebih jauh, apakah bangsa Indonesia memerlukan ‘Sukarno’ lebih daripada sekedar citranya saja?

Ini pertanyaan menarik yang jawabannya ribet.  Mungkin juga penting. Pertanyaan anda memakai istilah “sentimen politik tertentu”, tetapi kita harus lebih spesifik. Hugo Chavez yang begitu giat mengagitasikan supaya rakyat Venezuela mempelajari dan belajar dari Bolivar adalah pemimpin yang sedang berusaha mensukseskan sebuah revolusi sosialis. Dia juga sedang membelah bangsanya – yang kemudian kelihatan sekali dengan betapa bengis perlawanan kelas kapitalis Venezuela – juga sebuah elemen bangsa Venezuela – terhadap Chavez. Apa fungsinya mempelajari Bolivar dalam rangka memperjuangkan sosialisme?

Dalam sejarah perjuangan sosialisme, apalagi sosialisme yang megikuti hasil analisa Karl Marx, pemikiran dan analisa sosialis berkembang sesudah ditumbangkannya feodalisme baik secara ekonomi dan politik maupun secara budaya. Revolusi-revolusi borjuis Eropa di Belanda, Inggeris dan terutama di Perancis merupakan motor politik-ekonomi perubahan radikal tersebut. Enlightenment atau ”pencerahan” merupakan motor budayanya. Sosialisme akan berdiri di atas keberhasilan positif  revolusi-revolusi borjuis sebelumnya – (keleberhasilan positif yang kemudian berbalik semakin lama membusuk menjadi kebuntuan, yang membawa sejuta horor buat manusia dan bumi).

Di Venezuela – dan di Indonesia – sebuah proses perubuhan revolusioner yang bisa memajukan kebudayaan maupun kesejahteraan rakyat harus sekaligus menuntaskan dua revolusi bersama meluncurkan (kembali) dan meneruskan sebuah revolusi yang ketiga. Revolusi – termasuk revolusi kebudayaan – antifeodal yang bisa mendirikan modernitas (revolusioner) dan demokrasi harus tuntas, padahal baru dimulai secara serius di periode zaman gerak, mulai dengan Tirto Adhisuryo dan Sarekat Islam. Revolusi antikolonial juga belum tuntas. Sekaligus revolusi sosial yang bisa menggulingkan kekuasaan negara kelas kapitalis dalam negeri dan menyelenggarakan kekuasaan rakyat miskin juga dibutuhkan untuk menuju sosialisme. Tiga revolusi jalan sekaligus.

Di Venezuela, di sanalah peran mempelajari, menghayati, mencintai dan mengkritisi Bolivar karena Simon Bolivar sendiri adalah seorang anak englightenment serta pemimpin revolusi antifeodal dan antikolonial. Tetapi seperti Chavez dan teman-temannya sering menekankan, Bolivar tak bisa menjadi landasan teoritis seluruh proses. Chavez juga anjurkan orang mempelajari banyak ide lain, terutama Lenin dan Castro.

Dalam kasus Indonesia memang banyak yang bisa dipelajari, melalui proses mengkritisi sebagai bagian daripada proses belajar dari sejarah dari Sukarno – tetapi juga, menurut saya Kartini dan Tirto Adhisuryo (mungkin juga Dewantara). Apakah Sukarno bisa main peran simbolis sama dengan Bolivar? Itu saya ragukan – mungkin tergantung juga sejauh mana sebuah penggalian kembali yang kritis, yang membongkar dan mengobrak-abrik sejarah Sukarno bisa memperkenalkannya kembali pada massa secara menggairahkan.

Max Lane, penulis buku "Unfinished Nation: Indonesia before and after Suharto", Verso (2008); “Catastrophe in Indonesia”, Seagull (2011); “Paradigma-paradigma untuk Sejarah Alternatif: Ketiadaan Analisa kelas dalam Studi-studi Sejarah Kontemporer”, (pp 421-491) dalam “Sejarah Alternatif Indonesia” by Malcolm Caldwell and Ernst Utrecht, Jogjakarta (2011), dan juga penerjemah novel-novel Pramoedya Ananta Toer dan drama dan sajak WS Rendra. Max Lane berbasis di Australia dan sudah 40 tahun aktif di gerakan sosialis dan progresif Australia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar